44) Kenalan :)

14 3 1
                                    


Tok! Tok! Tok!

Bunyi ketukan pintu tiga kali berhasil membuat dua orang yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara.

"Masuk," titah sang laki-laki berjas hitam, sedikit mengedikkan dagu ke arah deretan kursi yang disusun melingkari meja.

Devan segera berjalan, lalu duduk di salah satu kursi kosong yang dekat dengan kedua orang yang tengah berdiskusi.

"Jadi," mulai Devan. "Agenda buat lomba, gimana?"

Kedua orang yang semula saling berkomunikasi, kini kembali menoleh ke arah Devan.

"Baik-baik aja," jawab Dimas sekenanya.

"Nggak ada kendala?"

"Nggak."

"Terus, sekarang gue harus narik sumbangan dari anak-anak?"

Dimas menggeleng, ia nampak kembali sibuk dengan buku yang masih ada di tangannya. "Nggak perlu. Tugas lo sekarang, cuma beresin barang-barang milik lo yang mungkin ketinggalan di ruang ini."

Dahi Devan berkerut. "Kenapa lo nggak ngasih tugas lain aja?"

Buku bersampul tebal yang ada di tangan Dimas, ditutup hingga menimbulkan bunyi. Laki-laki berjas itu menatap ke arah gadis yang berdiri di hadapannya. "Tolong minta tanda tangan ke Pak Amir, ya."

Gadis itu mengangguk, menerima buku yang disororkan oleh sang ketua OSIS, kemudian ia pun keluar.

Sepeninggal gadis itu, kini Devan kembali menatap Dimas, seolah menunggu penjelasan darinya.

Dimas menghembuskan napas berat. "Nggak ada tugas lain buat lo."

"Oh, ya udah kalau gitu gue balik ke kelas aja. Soalnya nggak ada barang gue yang ketinggalan di sini," ujar Devan tersenyum lebar, kemudian memundurkan kursinya hingga berderit.

Ketika laki-laki berambut klimis itu hendak keluar, suara dari Dimas berhasil menghentikan langkah kakinya yang belum sempat keluar dari ruangan. "Iya, lo balik aja ke kelas. Dan nggak usah balik lagi ke sini."

Devan berdecih. "Ya, kalau lo manggil lagi gue pasti bakalan balik. Kan gue anggota."

"Udah nggak ada tugas lagi buat lo."

"Iyalah, kan bentar lagi PAS," balasnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Kaki kanan Devan bersiap melangkah, namun kembali dihentikan oleh suara dari Dimas. "Setelah PAS pun lo nggak akan ada tugas. Walaupun ada, bakalan gue kasih ke anggota, bukan ke lo."

Air muka Devan berubah, laki-laki berambut klimis itu menoleh ke belakang. "Maksud lo?"

"Dengan berat hati," ujar Dimas menggantung. Embusan napas panjang keluar dari hidungnya dengan mulus. "Mulai detik ini juga lo di keluarin dari OSIS."

Tubuh Devan membeku, jantungnya berdebar karena terkejut. Kemudian, laki-laki itu berjalan lagi ke belakang untuk menghampiri Dimas yang masih menatap dirinya tanpa rasa bersalah.

"Lo bercanda kan, Dim?" tanya Devan, memastikan bahwa apa yang ia dengar itu salah. "Kalau iya nggak lucu."

Dimas mengangkat kedua kelopak matanya ke atas. "Nggak. Kepalanya menggeleng pelan. "Gue nggak bercanda, gue serius, Dev."

"Tapi kenapa gue tiba-tiba dikeluarin tanpa alesan gini? Gue bahkan nggak melakukan kesalahan sama sekali."

Dimas tercengang dengan pembelaan dari Devan. "Lo jelas-jelas bikin kesalahan yang mencoret nama baik OSIS, tapi lo nggak mau ngaku?"

Parangga [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang