Anna bungkam karena terkejut dan tidak mempercayainya. Apa jika diposisi Anna kalian akan seperti itu juga?Parangga menjentikkan jarinya di depan mata Anna. Gadis itu terpelonjak, memandangi pemuda di depannya dengan bingung. Ah! Anna baru sadar dirinya baru saja berhalusinasi.
"Kenapa kamu liatin terus?" tanyanya dengan kedua alis tebalnya yang nyaris bertaut.
Anna menggeleng sesegera mungkin. "Ng-gak papa kok."
Parangga kembali tersenyum, membuat Anna tidak mengerti mengapa cowok yang satu ini gemar sekali tersenyum.
Layaknya sebuah kacang yang lupa pada kulitnya. Ya begitulah Parangga seolah melupakan rasa sakitnya begitu saja, padahal jelas-jelas lukanya saja masih ada.
"Jangan senyum," sinis Anna, melirikya dengan tidak suka.
"Kenapa?" tanyanya dengan muka polos.
Anna mendengus sebal, demi apa pun, tolong siapa saja yang mau jadi sukarelawan, ayo marahi Parangga. Anna benar-benar sudah muak mengingatkan perihal luka memarnya itu, tetapi malah diabaikan begitu saja oleh Parangga.
"Itu.." Anna meringis ngeri melihat sudut bibir Paranggam."Masih ada luka memar di sudut bibir kamu," kata Anna sambil menyentuh pelan luka memarnya dengan jari telunjuk.
Perlahan senyum Parangga mengembang. Jujur saja Anna merasa kesal, ingin memukul, pergi dan menutup roftoop dengan sangat keras, karena saking gregetnya dengan laki-laki yang satu ini.
"Kamu kok dibilangin malah bandel banget, sih?!" dumel Anna tidak suka melihat senyuman Parangga.
"Senyum itu ibadah," ujarnya tanpa beban.
"Ck, tau tapi sadar diri lah!"
"Aku udah sadar kok," elaknya kembali tersenyum hangat dan membentuk kembali smile eyesnya.
Anna mengembuskan napas pasrah. "Berarti kamu ngerasain kan, kalau itu sakit?"
Parangga menggeleng pelan. "Ini nggak sakit."
Tercengang!
Apa-apaan ini? Luka yang membuat Anna meringis hanya dengan melihatnya saja -Parangga malah bilang tidak sakit? Sungguh, kepala Anna yang tadi ditekan kuat dengan ujung sepatu Davina saja masih terasa nyut-nyutan, tetapi pemuda ini malah? Parangga sepertinya sedang tidak waras.
Bukannya merasa tenang melihat senyuman seperti biasanya. Kali ini Anna terus terbawa emosi gara-gara cowok di sampingnya yang entah asal-muasalnya darimana.
Tapi mau melawan dengan kata-kata apa lagi? Orang keras kepala dilawan. Ngajak berantem? Maaf bukannya mau ngiklan, tapi Anna sudah kadung emosi.
Anna memilih menyerah, iq tidak mau lagi mengurusinnya, toh tadi Anna sudah menasihatinya terapi malah ucapannya hanya didengar melalui telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri saja.
Sekalipun gadis bersurai lurus itu akan mengatakan bahwa dirinya sangat khawatir, cemas, atau semacamnya pun, mungkin cowok itu malah akan menyuguhkan senyumannya kembali.
"Oh iya, ayo kenalan dulu," telapak tangan kotor miliknya kembali terulur pada Anna. Kali ini untuk mengajak berkenalan.
Anna menghela napas pelan, lantas menjabat tangannya. "Aku udah tau nama kamu. Parangga kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...