🌻💚🌻
Sudah 35 menit lebih Anna mengkucek rambutnya yang terkena permen karet dengan sabun. Tetapi dia tak kunjung jua mendapatkan hasil.
Tekstur permen karet yang lengket, apalagi jika sudah terkena sesuatu seperti rambut, menghilangkan jejaknya akan menguras banyak waktu dan juga tenaga yang cukup melelahkan.
"Ish!" Anna mengucek rambutnya semakin brutal.
"Nyebelin banget sih!!" Wajah Anna kini sudah merah padam terbawa emosi.
Gadis cantik itu berhenti mengucek rambutnya yang masih tertempel permen karet.
Ia mendesah berat, memperhatikan penampilan dirinya di pantulan cermin wastafle yang kini terlihat tidak karuan seperti gelandangan.
Anna berdecak sebal. "Masa harus digunting sih?"
Tapi sepertinya memang hanya itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini. Dan mau tidak mau, Anna harus ikhlas kehilangan rambut yang berada di dekat telinganya.
Mata Anna turun, memandangi gunting di atas wastafle yang ia pinjam dari adik kelasnya.
Dengan sedikit pertimbangan, akhirnya Anna memutuskan untuk mengambil gunting tersebut.
Kresss!
Anna menatap potongan rambut di tangan kirinya. Ia kembali menatap ke arah cermin.
Kini sebelah kiri rambut Anna terlihat ada yang pendek.
🌻💚🌻
"Lo pengen makan apa?"
Parangga menatap aneh pria berjas putih yang sedang sibuk dengan berkas-berkasnya.
"Lo lagi ada maunya, ya?" tebak Parangga mencurigai.
Dokter Hendra menoleh ke arah Parangga yang kini sedang duduk di tepian brankar.
"Niat gue baik aelah, lo negatif thinking mulu!"
Parangga memincingkan matanya. "Tumben baik."
"Jadi, maksud lo gue biasanya kejam, gitu?" ujar Hendra dengan nada nyolot.
"Eh, santai dong. Maksut gue, tumben-tumbenan lo gini, Dok. Biasanya mah kerjaan lo selalu nistain gue."
Kedua bahu Hendra merosot seketika. Setelah menutup stopmap berwarna hijau di mejanya, ia segera berjalan menghampiri Parangga yang menatapnya polos seperti anak kecil.
Sesampainya di depan laki-laki berseragam sekolah itu, Hendra langsung memengang kedua pundaknya.
Tatapan matanya menelisik wajah Parangga yang tidak memperlihatkan tanda-tanda kemirisan.
"Gue tau hidup lo tinggal dua bulanan lagi, jadi selagi lo_" ucapan Hendra terhenti ketika melihat perubahan yang terjadi pada sorot mata Parangga yang sekarang memperlihatkan kepedihan.
"Gue masih pengen hidup, Dok. Gue juga pengen jadi kayak lo," lirihnya, berhasil membuat hati Hendra tersentil.
Hendra menunduk, matanya rasanya panas sekali mendengar ucapan Parangga barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...