"Gue...bakal turutin satu permintaan dari lo. Kalau lo bisa kembaliin nama baik Parangga, hari ini juga!" tutur Anna memberikan tawaran dengan penuh penekanan.Jelas Darrel tahu, itu adalah sebuah keinginan dari Anna. Ia dapat melihat dengan jelas dari sorot mata gadis itu yang berubah dari kebencian menjadi penuh harapan.
"Iya gue mau terima tawaran dari lo," ucap Darrel mensetujui. "Tapi pertama-tama, luka lo harus diobati dulu, biar nggak infeksi."
Rasa puas menguasai rongga dada Anna, setelah mendengar keputusan dari Darrel yang tidak meleset dari perkiraannya. Gadis itu tahu, Darrel pasti tidak akan menolaknya, karena ia ingat tentang hari di mana pemuda ini meminta sebuah utang budi darinya. Jadi, dia pun menyimpulkan bahwasannya apa pun bisa ia dapatkan asal ada syarat untuk memenuhinya.
"Gimana ceritanya, tangan lo bisa lecet gitu, An?" tanya Darrel, berusaha mengajak gadis itu untuk berbincang, agar suasana canggung di antara mereka bisa terpecahkan.
"Kepo lo!"
Darrel hanya menanggapinya dengan kekehan pelan, seolah sekarang ia sudah terbiasa dengan sikap jutek yang selalu dia dapatkan dari gadis itu.
Sampai di depan pintu. Darrel memegang gagangnya, lalu mendorongnya ke depan. Pintu pun terbuka lebar. Lelaki itu menoleh, menatap Anna -mengisyaratkan agar gadis itu masuk duluan.
Malas berdebat, Anna lantas menuruti kode yang Darrel isyaratkan.
Gadis itu masuk, ia duduk di tepi salah satu brankar bersprai biru langit. Sementara, berapa detik kemudian Darrel masuk, dan menutup pintu dari dalam.
Laki-laki itu berjalan menghampiri kotak P3K yang terpajang di tembok brankar paling ujung. Tangannya bergerak membukanya, lalu mengacak-acak isinya untuk mencari sesuatu.
"Jangan pake obat merah," ucap Anna bersuara. "Perih. Gue nggak suka."
Kepala Darrel menoleh ke belakang. "Oke."
Tak lama kemudian, Darrel pun datang dengan membawa perban dan salep di tangannya.
Anna memincingkan matanya, melihat kain putih yang dipegang oleh pemuda yang duduk di depannya.
"Gue cuma kegores njir, bukan patah tulang. Ngapain diperban segala?" sewot Anna. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa Darrel seribet ini dalam menangani luka kecil di tangannya. Entah karena sok-soan, atau mungkin karena dia tidak bisa mengobati luka.
Darrel tersenyum kecil. "Ini bukan buat tangan lo, An."
"Terus buat apaan?"
"Buat balut hati gue yang patah karena lo," tuturnya sedikit menyengir.
Hah? Apa, apa? Tadi Darrel mengatakan apa? Kata-kata Darrel kali ini membuat Anna sangat tercengang, bahkan seolah-olah pendengarannya telah tuli, saking tidak percayanya dengan kata-kata Darrel tadi.
Ini gombalan atau apa? Seperti gombalan, tapi, kok...?
"Sejak kapan gue bikin lo patah hati? Emang lo suka sama gue?" pertanyaan kedua Anna meluncur begitu saja dengan ringan dan tanpa beban.
Bahu Darrel terangkat ke atas. "Iya patah karena lo nolak gue."
Anna mengerutkan kening. "Perasaan, gue nggak pernah nolak lo. Nembak aja belum pernah."
"Oh ya?" Anna mengangguk sebagai respon atas keraguan Darrel.
Sejurus kemudian, Darrel mendekatkan wajahnya pada Anna, hingga batas jarak di antara mereka hanya berkisar 5 sentimeter.
"Berarti kalau gue nembak lo. Lo nggak akan nolak dong?"
Nada suara itu terdengar santai, hampir sama seperti ketika ada orang yang memesan cilok. Tanpa keraguan, tanpa ketakutan, dan tanpa berpikir berkali-kali. Pertanyaan itu terucap begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...