45) Dia?

18 2 1
                                    


Mata pelajaran terakhir sebelum bel pulang berbunyi adalah ekonomi. Sejak setengah jam terakhir, Anna terus menatap ke depan, bukan untuk memperhatikan guru yang sedang mengajar, tetapi melamun dengan pikiran yang kacau.

Hari ini Devan terlihat aneh. Anna tidak mengerti mengapa pemuda berambut klimis itu terus menyuguhkan wajah datarnya sejak Anna menemukan kacamatanya.

Sial!

Kenapa Anna jadi memikirkan tentang laki-laki sinting itu? Padahal seharusnya ia senang, karena sekarang dirinya tidak terusik.

Kringgggggg!

Bel pulang telah berbunyi, dan saat itu juga Anna menggelengkan kepalanya, menampis sesuatu tentang Devan dari benaknya.

Ia mencangklong tas-nya lalu berdiri dari bangku. Saat hendak keluar, tanpa sengaja Devan menubruknya tepat di depan pintu. Laki-laki itu hanya menoleh sebentar, kemudian melangkah keluar dari kelas, seolah ia baru saja tidak melakukan apa-apa.

Anna dapat menangkap tatapan tajam yang sebelumnya baru ia lihat sekali.

Lagi, Anna mencoba untuk tidak terus memikirkan tentang hal itu. Ia yakin pasti ada hal lain yang perlu dipikirkan.

Oh shit!

Gadis beransel mint tersebut hampir saja melupakan sesuatu. Anna berbalik badan, berlari melintasi orang-orang di koridor dengan cepat.

Anna membungkukan tubuhnya ke bawah sambil memegang lututnya dengan kedua tangannya. Akhirnya, dia sampai juga di depan kelas Xl IPA2.

"Terry!" gadis yang Anna cari, saat itu baru saja keluar. Dengan cepat Anna menghampirinya.

"Bal_ikin kamera gue!" titah Anna, dengan dada masih naik turun.

Terry diam, menatap Anna dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kenapa lo minta gue balikin ni kamera? Bukannya lo bisa beli sebanyak yang lo mau?"

"Masalahnya kamera itu berharga, Ter."

"Ohhhh." Terry mangut-mangut. "Ya udah nih," dia pun menyidorkan kamera tersebut pada Anna.

Ketika Anna hendak menerimanya, Terry sudah lebih dulu menjatuhkannya, hingga ada beberapa bagian yang pecah.

Anna menatap Terry dengan tatapan tidak percaya. "Lo kenapa sih?"

Gadis berambut hitam bergelombang itu segera berjongkok dan memunguti serpihan-serpihan yang pecah di lantai

Terry tertawa sinis. "Harusnya gue yang nanya itu ke lo."

Anna mengangkat kepalanya ke atas. "Maksut lo apa? Kenapa lo harus nanya gitu ke gue?"

Seulas senyum miring tercetak di bibir Terry, gadis itu berjongkok dan menatap gadis di hadapanya dengan tatapan penuh kebencian.

"Jadi, lo udah lupa sama mama? Lo udah lupa kalau kami itu susah? Lo lupa, kalau lo dulu pernah tinggal di rumah kami? Dan lo lupa kalau lo hidup sampai sekarang itu karena keluarga gue?"

Anna menelan ludahnya yang terasa pahit dengan susah payah. "Gue masih inget..Ter."

"TERUS, KENAPA LO NGGAK PERNAH BERKUNJUNG, HAH?" tanya Terry dengan nada tinggi hinga beberapa orang berseragam identitas yang melintas, menoleh ke arah mereka.

"Maaf Ter, Tap_"

"Lo emang egois, An. Lo udah ngelupain kami, cuma gara-gara sekarang hidup lo udah terjamin," kata Terry yang berhasil membungkam mulut Anna.

Dengan cepat, Terry mengambil alih kamera yang ada di tangan Anna, lalu membantingnya dengan sangat keras.

Anna terkejut, saat itu juga Terry lari -pergi meninggalkan saudara tirinya. Anna ingin mengejar Terry, tetapi kamera ini jauh lebih penting baginya untuk saat ini, kalau semisal ia mengejar Terry lalu melupakan kamera ini, bisa-bisa tukang kebun sekolahan akan membuangnya ke tempat sampah.

Hati Anna ikut hancur, saat kamera itu hancur lebih parah dari sebelumnya, bahkan lensanya saja retak. Padahal, baru tadi malam ia diberi amanat untuk menjaganya baik-baik. Anna benar-benar menyesal tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik.

Untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan, Anna pun memasukkan kamera beserta serpihannya ke dalam ransel. Ia ingin menangis, tapi tidak bisa, yang ia rasakan saat ini hanya sesak di dada yang benar-benar sangat dalam. Bagaimana ia akan mengatakan pada kakek itu kalau kamera milik Parang rusak?

"Ah, hei!" sebuah tangan, tiba-tiba menepuk bahu Anna dari belakang, yang membuat gadis yang sedang berjongkok itu menoleh. "Ruang guru ada dimana, ya?"

Dia? Batin Anna, masih diam -memperhatikannya dengan intens.

Wajah berkulit putih susu yang dihiasi oleh make up ringan, namun tidak terlalu tipis, serta warna merah gelap di bibirnya memancarkan aura  elegan milik gadis itu, hingga Anna diam tak berkedip.

Gadis elegan tersebut, melambaikan tanggannya di depan Anna. "Apa ada yang salah?"

Anna mengerjapkan matanya berkali-kali, kemudia tersenyum kikiuk. "Eh, maaf tadi gue malah hilang kesadaran."

"Lo yang kemaren minjemin sweter ke gue, ya?"

Butuh waktu berapa detik untuk gadis elegan itu mengingat-ingat. "Oh, kamu cewek yang di makam itu." dia mengangguk-anggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya iya, aku ingat."

"Eum." Anna tersenyum canggung. "Maaf ya, sweternya nggak gue bawa. Soaknya gue bingung gimana cara balikinnya. Gue kira lo nggak sekolah disini."

"Nggak papa, kamu balikin kapan-kapan aja. Aku sebenarnya emang nggak sekolah di sini. Tapi, aku baru aja pindah. Makannya aku nanya ruang guru."

"Kalau gitu, sebagai balas budi. Mau, gue anter ke ruang guru?" ucap Anna memberi tawaran.

Gadis itu mengangguk mengiyakan. "Ngomong-ngomong, namaku Kanaya," ujarnya mengulurkan tangan.

Anna lantas menjabat tangan tersebut. "Gue Anna."

"Hai, semoga kita bisa berteman baik, ya?"

Seulas senyum lebar tercetak di bibir Anna. "Semoga."

~ 🌻🌻🌻🌻~

Maaf bab ini pendek, sebenarnya pengen dipanjangin, tapi aku lagi capek. Jadi gpp lah ya pendek sesekali.

Parangga [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang