Di bawah langit suram, Anna berjalan seorang diri dengan pikiran kosong, menyusuri jalan pintas menuju komplek perumahannya.Sejak kejadian di cafe tadi, semangatnya jadi mengikis. Entah mengapa, rasanya tidak ada setitik semangat pun, di dalam jiwa raganya.
"Kenapa lama sekali pulangnya?" suara Maya, menyambutnya pertama kali, saat kaki Anna baru sampai di depan gerbang.
Anna masih menunduk, enggan untuk menatap sang Ibu. "Aku baru dari_"
"Terry saja sudah pulang dari tadi, masa kamu terlambat?" Nada ketus dengan diselingi nama 'Terry' langsung membuat Anna mendongakkan kepalanya.
Matanya melebar seketika, kala menjumpai Ibu, Ayah, Genta, Nelly, dan juga Terry sudah ada di depannya. Ia terkejut bukan main melihat keberadaan Terry.
"Kok, Terry ada di sini?" tanya Anna bingung.
"Memangnya, anak kandung saya tidak boleh tinggal di sini?" lontar Maya tajam, hingga membuat dada Anna nyeri seketika.
Anna mengerjapkan matanya, tak paham. "Maksut Ibuk gimana?"
"Kamu tidak paham?"
Anna menggeleng lemah.
Maya menarik kedua bahu Terry, lalu membawanya ke hadapan Anna. "Perempuan yang berdiri di depan kamu ini, adalah anak saya yang sesungguhnya. Kamu bisa paham, maksutnya apa?"
Anna terdiam, tatapannya menatap lekat pada Terry.
"Kamu bukan anak saya. Dan saya bukan Ibu kamu," ucap Maya memperjelas.
"Tapi, gimana mungkin?" tanya Anna tak percaya. "Ibuk lagi nggak bercanda kan, Buk?"
"Tidak!"
Arah tatapan Anna beralih menatap Ayahnya, Genta dan juga Nelly secara bergantian. Ketiga orang itu sama-sama diam mematung di tempat.
"Bang Genta.." lirih Anna dengan suara parau. "Ini semua bohong kan bang?"
Genta meneguk ludahnya dengan susah payah. "Maaf, tapi ini bener."
Anna semakin merasakan nyeri di dadanya menjadi lebih sakit dari sebelumnya.
Mata Anna mulai berkaca-kaca. "Ayah.."
"Maaf nak, tapi kamu bukan anak saya," ucap Raharja seolah tau apa yang akan ditanya oleh Anna.
Sekuat hati, Raharja berusaha untuk menahan agar tidak menangis. Jujur saja, dia sangat menyayangi Anna. Namun, kenyataan berkata lain. Mau tidak mau, dia harus bisa melepasnya mesti memilukan.
Kini arah mata Anna tertuju pada gadis berkucir dua yang menangis memeluk kaki Genta. Anna ingin bertanya juga, tetapi sepertinya percumah, karena Nelly hanyalah gadis kecil polos, yang tidak tahu apa-apa.
Suara dari ban diseret terdengar mendekat. Dari arah belakang, seorang bodyguard berjas hitam datang menyeret koper berwarna putih.
"Kenapa koper aku dibawa?" mata Anna menatap koper yang dibawa sang bodyguard bertanya-tanya.
"Mulai detik ini, saya mengusir kamu dari rumah!" ucap Maya dengan suara lantang.
"Tapi kenapa aku nggak bisa tinggal di sini? Emang kalian udah yakin, dan ada bukti kalau memang Anna bukan anak kandung dari keluarga ini?"
"Kamu masih berharap?" tanya Maya masih dengan nada dinginnya. "Memang belum ada DNA resminya, tapi pengakuan langsung dari Ramida selalu saya percaya."
Bruk!
Maya menjatuhkan koper Anna, tepat di bawah kakinya. "Cepat pergi!"
Dengan berat hati, Anna berjongkok mengambilnya. Arah pandangannya terangkat untuk menatap keluarganya yang kini membisu di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...