Ada rasa lega yang Anna rasakan siang ini setelah dia dan Darrel menangani perlihal berita hoax yang tersebar di setiap mading yang ada di SMA Trisatya.Yang dilakukan oleh laki-laki itu begitu mudah dalam menyelesaikan masalahnya, hanya dengan merobek keseluruhannya, membakarnya, lalu menggantinya dengan kertas berisi fakta yang dapat menguatkan bahwa berita sebelumnya benar-benar bohong.
Anna bertopang tubuh pada palang jembatan yang menghubungkan gedung di lantai tiga, mengamati siswa-siswi yang berlalu-lalang di bawah.
Saat ini sudah memasuki istirahat kedua, tadi Anna sempat ke masjid yang sekolahan sediakan untuk beribadah. Dan seharusnya sekarang ia harus ke kantin untuk makan siang. Tapi ia rasa, dirinya membutuhkan udara segar untuk menjernihkan pikirannya, dibandingkan mengisi perut untuk memenuhi energinya, meskipun sebenarnya ia butuh.
Angin berembus, mengakibatkan daun-daun di pepohonan yang Anna lihat bergoyang. Mentari pun ikut menerangkan sinarnya, bahkan awan putih di langit biru juga nampak tebal seperti sebuah gumpalan kapas yang empuk. Anna menyukai suana ini, karena dengan menikmatinya otaknya akan ikut termanipulasi.
"An?" suara panggilan itu terdengar dari kiri telinga Anna. Secara sepontan gadis bersurai hitam bergelombang itu pun menoleh. Terlihat ada seorang gadis sebaya dirinya tengah berjalan mendekat ke arahnya.
"Tara?" tidak asing lagi kalau Tara sering mendatanginya. Karena hanya gadis bersurai coklat itulah yang menjadi satu-satunya teman yang benar-benar akrab dengannya.
Tara tersenyum tipis. "Tumben lo ke lantai atas, lagi ngapain?"
"Lo sendiri ngapain di lantai atas?" tanyanya balik. "Pertanyaan lo, kayak bener-bener nunjukin kalau lo udah biasa ke lantai atas dan nggak pernah nemuin gue."
Tara justru tertawa. "Apaan sih lo."
"Anjir lo, jawab Ra. Bukan malah ketawa." Anna menyipitkan matanya curiga pada gadis yang masih tertawa di sampingnya. "Eum, gue tau nih. Lo habis dari kelasnya kak Rizqi, ya?"
"H..hah? Enggak, orang gue habis dari perpustakaan. Lo kan tau sendiri kalau gue pustakawan."
Cengiran kecil Anna lempar pada Tara. "Eh, iya juga. Maaf maaf."
Kalau kalian berpikir Anna langsung percaya dengan alasan itu, tentu saja kalian salah besar. Anna agak ragu, dilihat dari gelagat Tara, pasti ada yang disebunyikan. Tapi Anna memilih pura-pura percaya agar tidak memperpanjang masalah, karena kali ini level penasarannya sedang tidak berada di atas rata-rata. Toh, kalau benar gadis bersurai coklat itu baru dari kelas Rizqi, bumi pasti akan tetap berputar, bukan?
Gadis bersurai coklat hanya menggelengkan kepala, menanggapi ucapan sahabatnya. Disela gelengannya, tiba-tiba Tara melihat sebelah kiri tangan Anna terbungkus perban.
Tangan Tara meraihnya, lalu mengangkatnya ke atas untuk melihatnya dengan lebih jelas. "Ini kenapa?"
"Ah ini." Anna menjatuhkan tanganya dari cekalan tangan Tara, ia kemudian tertawa garing. "Cuma luka lecet doang."
Dahi Tara berkerut. "Luka lecet doang, kenapa dipakein perban?"
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
"Woy, An?" Tara menjentikkan jarinya ke udara, hingga bunyinya berhasil membuyarkan lamunan Anna. "Kok, lo malah bengong sih?"
Mata Anna mengerjap. Apa ini waktu yang tepat untuk berbagi cerita pada Tara? Jujur, Anna ragu untuk bercerita mengenai dirinya yang dekat dengan Darrel, ah ralat! Maksudnya tiba-tiba didekati oleh Darrel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...