Pagi telah tiba. Saat ini di dalam ruang makan, keluarga Edwin sedang melaksanakan rutinitasnya dengan sarapan bersama.Atmosfer di sekitar Darrel terasa dingin. Tidak ada canda gurau yang membuka paginya agar terasa cerah.
Bunyi sendok yang berbenturan dengan piring keramik mendominasi ruangan tersebut.
"Ael?" panggil Edwin tiba-tiba.
Darrel menegakkan pandangannya pada sang Ayah. "Iya, Pa?"
"Nanti pulang sekolah cari jas sama mama kamu. Pilih yang paling terbaik, tidak usah hiraukan soal harga."
Darrel memelankan gerakan mengunyahnya. "Jas buat apa, Pa? Jas Ael masih banyak."
"Buat pertunangan kamu minggu depan. Meskipun, hanya mengundang anggota keluarga saja, tapi papa mau kamu tampil sempurna."
Roti yang sudah halus di dalam mulut, dengan susah payah Darrel telan.
Secepat itu ayahnya mengambil keputusan, tanpa berdiskusi terlebih dulu dengannya?
"Dan ingat." Darrel menatap manik mata ayahnya. "Jangan melakukan kesalahan sedikit pun."
"Iya, Pa," Pasrah Darrel pada akhirnya.
Lagi, untuk yang kesekian kalinya Darrel kembali dibodohkan untuk menuruti keinginan ayahnya yang terkesan egois. Sedangkan, keraguan dalam hatinya harus diabaikan begitu saja.
Erika datang dari dapur, membawa kotak makan berwarna hijau lalu meletakkannya di samping sikut Darrel. "Ini cumi tumis yang kamu minta."
Darrel mendongak, tersenyum pada sang ibu. "Makasih, Ma."
Ibu dua anak itu mengelus pelan rambut putranya sembari tersenyum lebar. "Tumben minta dibawain bekal."
"Pengen, Ma." Kemudian Darrel pun menyambar kotak makan di meja, lalu berdiri menyalami tangan ibunya kemudian menunduk memberikan hormat kepada Edwin yang masih sibuk menyantap sarapannya. "Kalau gitu Ael berangkat, Ma, Pa."
"Eh susunya diminum dulu dong," teriak Erika melihat susu di atas meja masih penuh.
"Nggak Ma. Ael udah terlambat."
🌻🌻🌻
Kanaya berjalan dengan tatapan kosong, melewati kelas demi kelas. Isi pikirannya masih mengarah pada pertunangannya dengan Darrel.
Gadis itu bingung harus melakukan apa. Pasalnya, dia sudah kehabisan cara untuk mengagalkannya, apalagi ayahnya mengatakan bahwa pertunangan mereka akan diselenggarakan pada minggu depan.
Tersisa 6 hari, dan dalam waktu sesingkat itu mustahil rasanya untuk bisa mengagalkannya.
"Kayaknya emang hidup gue ditakdirin bakalan hancur," gumam Kanaya tertawa miris, mentertawakan dirinya sendiri.
Dari belakang, seseorang memegang bahunya, yang sontak membuat dirinya langsung menghentikan langkah kakinya kemudian berbalik badan.
"Kelas lo kelewatan," ucap Arya memberi tahu.
Mata Kanaya melihat ke belakang Arya, lebih tepatnya ke arah kelasnya.
Lihatlah sekarang, bahkan pikirannya ini berhasil mempengaruhi fokusnya.
"Masuk ke kelas," titah Arya menatap bingung pada gadis di depannya yang malah hanya diam saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...