Anna terdiam sesaat, menatap lekat kamera DSLR yang tergeletak di atas etalase. Camera DSLR berwarna hitam itu, memang terlihat tidak asing di mata Anna. Gadis itu ingat, Parang pernah memotret pemandangan di danau saat sedang bersamanya.
"Kakek kenal Parangga?"tanya Anna penasaran.
"Iya. Dia adalah pelanggan tetap saya. Kalau kameranya ini rusak, pasti dia bawa kesini," jawab sang kakek menjelaskan.
Mata Anna bergerak, memandangi kamera di atas etalase secara sekilas, kemudian kembali menatap sang kakek. "Jadi, dia nggak pernah membawa kamera lain, kek?"
Kepala sang kakek menggeleng. "Nggak pernah."
"Tapi," ujar Anna menggantung. "Kenapa kakek ngasih kamera ini ke saya? Seolah kakek tau kalau saya itu temannya?"
Kedua sudut bibir sang kakek terangkat ke atas. "Karena di dalam kamera tersebut, banyak foto kamu. Dia juga pernah bilang kalau kamu itu sahabat dia yang paling baik."
Sahabat! Lagi, kata itu benar-benar setajam pedang yang mampu menorehkan luka dalam hati Anna saat ini.
Dan tentang foto Anna, bagaimana bisa ada di dalam kamera tersebut? Setahu Anna Parang selalu memotret tentang pemandangan atau sesuatu semacam keindahan lain yang tidak ingin dia lewatkan. Apa mungkin, selama ini Parang diam-diam memotretnya?
Anna terdiam dengan rasa sakit di dada dan pikiran sekilas tentang Parangga.
"Tolong ya kembalikan ini pada Parang, dan sampaikan salam kakek untuk dia," pesan sang kakek pada Anna."Udah lama dia tidak mampir ke toko kakek."
Hati Anna berlipat ganda rasa sakitnya, setelah mendengar penuturan sang kakek yang terdengar begitu tulus.
Anna menelan ludahnya kasar. "Parangga sudah diambil sama Tuhan kek."
Sang kakek kaget, hatinya terasa sakit seperti baru saja di pukul ketika mendengar pernyataan yang disampaikan oleh Anna. Kakek tersebut tidak menyangka, seorang pemuda yang ia sayangi layaknya cucu sendiri kini telah tiada.
"Kamu nggak bercanda kan?" tanya sang Kakek yang ditanggapi dengan gelengan lemah oleh Anna.
Kakek itu langsung menangis, air matanya meluncur begitu saja, membasahi pipinya.
Anna mendesah pelan, melihat pilunya sang Kakek. Ternyata, yang merasa kehilangan bukan hanya dirinya saja, tetapi orang lain juga.
Anna pikir selama ini hanya dia dan Tara saja, orang yang dekat dengan Parang, karena pemuda berambut lebat itu terlihat suka menyendiri. Parang tidak akur dengan Darrel, dan untuk latar belakang orang tuanya seperti apa, Anna tidak tahu. Yang jelas, laki-laki itu nampak selalu kesepian.
"Kakek jangan nangis, Parang udah tenang di alam sana," lirih Anna dengan suara bergetar, menahan rasa sesak yang berkumpul di dada.
"Saya nggak nyangka, orang sebaik dia harus pergi secepat ini." isakan kakek itu, berhasil menohok hati Anna seolah ada pisau tajam yang menusuknya dengan begitu dalam hingga membuat matanya berkaca-kaca karena kesakitan.
Sungguh, perkataan kakek itu benar-benar membuktikan bahwa parangga itu orang baik. Sampai-sampai kepergiannya memberikan bekas duka yang begitu mendalam.
"Tolong nak, jaga kamera ini baik-baik. Kalau rusak kamu bisa bawa ke sini lagi, tapi sebisa mungkin jangan dirusak."
Kepala Anna mengangguk untuk mengiyakan pesan dari kakek itu, tanpa diberi pesan pun, Anna pasti akan melakukannya.
Setelah merasakan hawa pilu di dalam toko kamera kecil itu, Anna pun akhirnya keluar untuk segera pulang ke rumah, takut jika keluarganya mencemaskan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...