22. Menghadiri Pesta :)

25 9 0
                                    


"Kenapa, Gen?" tanya Edo penasaran.

Genta melotot menatap wajah Edo dengan sangat serius. "Gue lupa kalau masih nonton drama India!"

Pemuda itu turun dari ranjang dengan tergesah-gesah, lalu lari -pergi begitu saja meninggalkan kamar adiknya.

"Lo kalau mau nyusul Bang Genta tinggal nyusul aja," kata Anna yang peka membaca ekspresi wajah Edo.

"Seriusan?" tanya Edo yang mendapatkan anggukan kecil dari Anna. "Emang lo nggak jadi dansa?"

Anna menggeleng kaku. Seketika air muka Edo berubah bahagia, ia berteriak kegirangan dan segera pergi meninggalkan kamar menyusul Genta sebelum muridnya itu berubah pikiran.

Ternyata sesuatu yang tidak disukai Anna tidak sepenuhnya menjadi petaka, malahan ada hikmahnya juga. Berkat hujan, Anna jadi mempunyai alasan yang jelas untuk tidak pergi ke pesta.

Anna terduduk lesu di sisi ranjangnya. Dia terdiam sejenak memikirkan tentang pesta yang terkesan egois. Setelah dipikir-pikir, mengadakan pesta sesudah kematian salah satu anggota keluarga, bukankah sama saja seperti merayakan kematiannya? Memang sudah hampir seminggu, tetapi masih bisa dikategorikan belum lama ini.

Memang benar, yang namanya pesta ulang tahun itu hanya dirayakan sekali dalam satu tahun, tetapi jika kondisinya begini, kenapa ulang tahunnya tidak private saja? Dan hanya dihadiri oleh satu rumah.

Dengan begitu mereka bisa menghormati arwahnya, bukan?

Anna mengembuskan napas panjang setelah tubuhnya amburuk di atas kasur empuknya. "Kenapa, ya? Semakin gue menjauhi Darrel, dia muncul secara tiba-tiba?"

"Kenapa harus dia yang muncul?"

"Ini pertanda sesuatu, bukan sih?" Anna menatap kosong langit-langit kamarnya yang bercat polos.

Konyol sekali, Anna malah sibuk bertanya-tanya mengenai Darrel, padahal jelas-jelas hatinya sedang berduka untuk saudara kembar laki-laki itu. Entah mengapa Anna bisa memikirkan cowok itu, mungkin karena akhir-akhir ini ia sering bertemu dengannya.

Anna mengacak rambutnya frustasi. "Agrh! Kenapa malah mikirin Darrel, sih? Seharusnya kan gue mikirin Parang!"

"Ayo, An. Pikirin Parang, pikirin Parang," gumam Anna fokus seraya memejamkan matanya.

Sejurus kemudian, kedua kelopak matanya terbuka lebar, menyadari sesuatu.

"Ah! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Anna menabok keningnya secara bertubi-tubi, menyadari kebodohannya.

Anna memang aneh, padahal ia sudah berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan kepergian temannya itu. Tetapi sekarang malah ingin mengingatnya lagi.

Saat ini Aanna sadar, dengan terus-terusan dia bersedih dan merasa hampa sekalipun, orang yang sudah ada di tanah tidak akan bisa kembali lagi. Justru perbuatannya itu hanya sia-sia, serta membuang banyak waktu.

Anna mengembuskan napas gusar, sembari memijit pelipisnya.

Tetapi tekatnya itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Sulit baginya untuk bisa melupakan Parangga, terlebih lagi malah ada orang yang serupa dengannya. Lebih parahnya lagi dia adalah saudara, sekaligus orang yang telah membunuhnya. Rasanya berat sekali bagi Anna menjalani nasib hidupnya ini. Sungguh sangat miris!

Krsek! Krsek!

Kepala Anna menoleh ke arah kiri, begitu telinganya mendengar bunyi plastik. Terlihat ada seorang oknum yang menyengir memperlihatkan deretan giginya kepadanya sambil sibuk mencomoti snack yang tergeletak di atas meja.

"Senek gue ketinggalan, sat!" celetuk Edo sambil tertawa kecil menatap dengan gugup wajah sang empunya kamar.

"Anna!" ketus Anna membenarkan.

Parangga [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang