Dengan ragu-ragu, kaki Darrel perlahan mulai bergerak, tubuhnya yang semula menghadap Anna, mulai bergeser -kembali menatap ke arah butiran-butiran air yang berjatuhan.Dada pemuda berhodie mint tersebut kembali merasakan nyeri yang terasa cukup hebat. Bagaimana tidak? Perkataan Anna memang singkat, namun begitu ampuh menampar jiwanya yang masih dipenuhi rasa bersalah.
Darrel menggusah napasnya, kepalanya menunduk menatap botol hijau kecil yang tutupnya terbuka di tangan.
Sesungguhnya, Darrel tidak tega melihat Anna kedinginan, tapi karena gadis itu menolak ketulusannya dengan kasar, Darrel jadi merasa, tidak ada gunanya lagi untuk membujuknya.
Darrel segera menuang isi botol dan membentur-benturkan botol di atas telapak tangan kirinya, hingga dirasa seluruh isinya telah keluar.
Setelah menutup tutupnya, Darrel mengedarkan pandangannya mencari keberadaan tempat sampah. Begitu melihat benda yang ia cari berdiri disamping bangku besi panjang di depan kelas, ia pun berjalan menghampirinya.
Anna menggosok kedua tangannya yang semakin dingin. Ia tidak tahu lagi harus melakukan apa selain menunggu keberuntungan datang. Bukan dari Darrel, melainkan kakaknya. Semoga saja Genta bisa datang sebelum suhu Anna semakin turun.
Dari belakang, Darrel melihat tubuh Anna bergetar. Tadinya ia bertekat ingin mengajaknya pulang bersama,namun ia urungkan karena sudah memprediksi konsekuesi yang akan dihadapinya.
Sekarang pemuda itu menjadi bimbang. Ia bingung harus mengambil tindakan apa. Bukan memilih antara membujuk lagi atau lebih baik pergi dan langsung pulang ke rumah, tetapi dia bingung harus memilih yang mana, antara harus menetap untuk menemani, atau pergi untuk mengacuhkan.
Ini benar-benar pilihan yang sulit. Darrel tak yakin akan meninggalkan gadis berambut hitam bergelombang itu sendirian, jika nanti tiba-tiba terjadi sesuatu, siapa yang akan menolongnya?
Semetara, langit mulai menggelap, pertanda akan segera petang dan sekolahan juga sudah sepi. Di sekitar koridor yang mereka berdua pijaki, tidak ada satu pun orang yang lewat.
Sepertinya, semua warga sekolah telah kembali ke kediamannya masing-masing.
Darrel tahu, Anna sedang menunggu jemputan. Mengingat, tempo hari lalu Darrel sempat mempergokinya sedang sendirian di halte bus seperti orang hilang. Jika dirinya tidak menyapa, entah bagaimana nasib Anna waktu itu.
Mungkin sebaiknya, Darrel tetap disini dan menjaga Anna dari kejauhan. Hal ini ia lakukan semata untuk menghindari perkataan pedas yang tidak diinginkan. Ya, sepertinya itu tindakan yang sangat tepat.
Angin kencang kembali menyapa, hujan pun berbelok karena saking kencangnya angin meniup. Syukurlah, Darrel mengenakan hodie lembut yang cukup membuat dirinya merasa hangat.
Hodie tersebut adalah kado dari Anna saat ulang tahunnya semalam. Siapa sangka, benda sederhana ini cukup berguna untuknya saat ini.
Darrel duduk sembari bersedekap dada memperhatikan Anna dari belakang. Kedua matanya mulai sayu melihat derasnya air hujan yang berkolaborasi dengan angin. Melihatnya membuat Darrel merasa ngantuk dan ingin sekali tidur.
Saat Anna menoleh, Darrel tidak sengaja melihat asap tipis yang keluar dari mulut Anna yang setengah terbuka. Dan kedua tangan gadis itu mengepal kuat. Sontak, Darrel langsung bangkit, mengampirinya dan mengambil tangan Anna secara paksa, setelah itu ia menggenggam kedua tangan gadis itu.
Mata Darrel melebar begitu ia merasakan tangan yang ia genggam sedingin es. Perasaan risau, kembali menyelimuti Darrel. Ia semakin menguatkan genggamannya, sembari menggosok-gosoknya secara berkali-kali sambil meniupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...