Rasa bersyukur akan dirasakan, ketika orang lain merasa iri dengan apa yang kita miliki.~🌻🌻🌻~
"Tolong, jangan sakiti gue. Kita ini saudara, bahkan kembar. Emang kita nggak bisa saling menyayangi seperti dulu?"mohon Parang bertekuk lutut di bawah kaki saudara kembarnya.
"Nggak!"tolak Darrel menaikkan nada bicaranya."Gue benci sama lo, Parang!"
Parang mendongak, menatap dari bawah raut wajah Darrel yang berjarak kurang lebih satu meter darinya.
"Tapi,kenapa?"
Kedua tangan Darrel mengepal kuat."Gue iri sama lo, dan gue nggak suka lo jadi saudara gue!"
Parang menatap Darrel dengan tatapan tidak percaya."Tapi ini udah takdir, El. Sebelum gue lahir, gue nggak pernah minta semua ini terjadi. Lo harusnya bisa menerima kehendak dari Tuhan."
"Halah! Omong kosong! Pokoknya gue nggak terima semua ini!!" tekan Darrel menentang argumen Parang.
Mata Darrel menatap tajam netra hitam milik Parangga. Matanya yang kini berwarna merah berpadu dengan air mata yang tertahan di bawah kelopak matanya, terus memandang netra hitam yang bergerak tak beraturan dengan tatapan menusuk.
"Kenapa lo nggak mati aja?" lanjut pemuda bermata coklat, yang berhasil membuat waktu seakan berhenti.
"Parang!"
Sepasang mata yang semula tertutup oleh kelopaknya, seketika terbuka ketika indera pendengarannya yang tajam menangkap suara teriakan dari suara yang begitu familiar.
Mulut pemuda yang rambutnya tertata rapi itu mengeluarkan asap tipis. Rintik-rintik gerimis berjatuhan dan mendarat di bulu matanya yang lentik. Dari radius lima meter, dia melihat dua orang yang terdiri dari seorang gadis dan satu orang laki-laki, tengah berlari kecil melewati satu persatu makam yang berjajar rapi.
"Anna?" lirih Darrel, pandangnya mengikuti arah kemana gadis itu berlari.
Ditemani oleh Fahmi, gadis berusia 17 tahun itu memberanikan diri untuk datang ke pemakaman kota. Tentu saja untuk sekedar menyapa lelaki yang sudah tertidur lelap di liang lahat.
Matanya terus memandangi gadis itu dari kejauhan. Tubuh Darrel masih bersandar di pohon mangga. Ia mulai merasakan getaran hebat pada dadanya kala melihat Anna bertekuk lutut di sebelah makam sambil menangis keras. Ada rasa bersalah yang kembali menghantui Darrel, namun dirinya tidak tahu harus menebus kesalahannya dengan apa lagi.
Fahmi berhenti di belakang Anna, setelah lelah berlari mengejar gadis yang kini berteriak di samping nisan bertuliskan Parangga Algusafa Javinataka.
"Nggak usah teriak-teriak An," kata Fahmi masih berusaha menetralkan napasnya. "Kita di makam, bukan di stadion."
Anna memilih untuk tidak acuh pada pemuda yang masih berdiri di belakangnya.
Untuk kesekian kalinya, dadanya kembali terasa sesak luar biasa, air matanya mengalir dengan sangat deras menangisi kenyataan, bahwa orang yang dulu pernah menolongnya kini hanya tersisa nama dan kenangannya saja. Itu sungguh membuat air matanya turun dengan semakin deras dan rasa sesak pada dadanya semakin bertambah berkali-kali lipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...