48 : Son of Poseidon

2.3K 708 181
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

Sebuah rumah dari kayu tua lapuk tinggal di tepi pantai. Meski sudah diterjang ombak beberapa kali, penghuni rumah tersebut tidak juga kunjung mencari tempat baru.

Rumah yang tidak seberapa itu hanya dihuni oleh dua orang, seorang ibu yang tengah sakit dan anaknya. Tenang saja, meski anak laki-laki itu terlihat manja dengan ibunya, ia merupakan pribadi yang cukup mandiri. Buktinya, ia sudah mencari makanan dan kebutuhan untuk kesehatan ibunya sendiri.

Hari ini ia membawa barang kesukaannya, kelapa. Katanya air kelapa mengandung khasiat yang bermanfaat. Jadi, ibunya harus meminumnya setiap hari.

"Es kelapanya enak, sayang." Sang Ibunda dibawa duduk dengan hati-hati. Bersamaan dengan kain hangat yang menyelimuti, ibunya tersenyum.

"Ibu suka air kelapa, kan?" Anak itu memandangi wajah ibunya, tak lupa membalas senyum dari malaikat yang telah melahirkannya. Sang ibunda hanya mengangguk lesu, anak laki-laki itu menyuapi daging kelapa dengan telaten. "Kalau ibu suka, aku juga suka."

Setelah beberapa menit mengurusi waktu makan ibunya, anak itu membaringkan beliau dengan penuh kasih sayang. Anak pemilik mata lautan yang indah itu berjongkok di samping ranjang ibunya, mengelus tangan kurus Sang Ibu. "Aku sudah menyiapkan makanan selama seminggu, aku pergi dulu ya, Bu."

"Pierre, hentikanlah."

Anak itu, Pierre, mencium punggung tangan ibunya. "Ibu sangat mencintai Ayah, makanya dia harus kuberitahu tentang keadaanmu."

"Dengar, nak ... ketika manusia dan Dewa mencintai lalu dikaruniai seorang anak, maka keduanya tidak lagi ditakdirkan bersama. Harus berpisah karena kehidupan keduanya memang berbeda." Kalimat panjangnya sempat terhenti karena wanita itu terbatuk. "Makanya, Ibu sudah ikhlas. Tidak ingin apa-apa lagi selain menikmati hari tua dengan anak kesayangan."

"Jangan begitu. Ibu akan sehat lagi, aku akan menarik telinga Ayah ke mari." Pierre memainkan jemari ibunya, tak peduli larangan yang terus wanita itu katakan. Ibunya menghela napas, tidak akan pernah menang berdebat dengan anak semata wayangnya. Wanita paruh baya itu menyisir rambut Pierre dengan lembut, "Memangnya kau yakin ibu akan sehat kembali?"

Pierre tersentak, ia menggeleng pelan.

"Ibu, aku tidak akan memotong rambutku sampai kau sembuh."

Harapan memang tidak semanis realita. Kini ia hanya menatapi gundukan yang baru dibuat. Yang tersisa hanya kenangan belaka, bahkan takkan bisa ia kembalikan.

"Setidaknya Pak tua itu harus tahu kabarmu, aku tidak peduli seberapa banyak dia menghindari, aku akan tetap datang padanya. Ya ... setidaknya dia juga berdoa atas wanita yang pernah ia cintai."

SCYLLA'S WAY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang