Matahari perlahan turun dari balik cakrawala, sinarnya yang lembut perlahan menipis hingga permukaan laut yang dihiasi kilauan senja bergetar di setiap gelombang kecil, tak lagi menemani pelayaran kapal besar di tengah-tengah samudra. Angin berhembus kasar, menampar permukaan laut dan menghasilkan ombak-ombak pemarah.
Suara deburan ombak yang menabrak lambung kapal menjadi pendamping perjalanan panjang mereka, para bajak laut, sementara burung-burung laut perlahan bubar mengosongkan langit malam, menambah suasana yang suram sebelum badai datang menerjang.
"Bagaimana keadaanmu, Jake? Apa kau baik-baik saja?" Suara lembut sekaligus gusar itu mengusir kesunyian dalam kabin. Arienne turun dari tangga, membawa lampu minyak dan menghidupkan lampu yang tergantung di tengah-tengah kabin. Tampak para awak kapalnya sedang beristirahat. "Apa yang lain sudah merasa lebih baik?" tambahnya, memastikan satu persatu dari awak kapalnya masih bersamanya.
Penuh lebam, pun tubuhnya dibungkus perban. Jake mengangkat pandangannya, cahaya lampu menyinari wajahnya yang lusuh. Arienne menaruh lampu minyaknya di sisi meja, kembali mendekat pada wajah Jake yang babak belur. Ketika Jake hendak membuka mulutnya, rasa nyeri sekaligus perih mencekik lehernya, sehingga ia memejam kesakitan sembari memegang lehernya.
"Khawatirkan dirimu dulu, Kapten. Kau tahu tidak ada satupun dari kita bertujuh yang baik-baik saja. Semuanya kacau balau." Di pojok ranjang, wajah Demian dibalut luka yang masih basah.
Juward bangun, pelan-pelan menggiring punggungnya bersandar di dinding ranjang. "Kita sama-sama tidak pernah menyangka kejadian ini akan terjadi. Masih beruntung kapal ini tidak hancur, kalau iya ... kita takkan selamat dari cengkraman Chimera. Sepulang dari itu, dikejar Angkatan Laut pula. Benar-benar hari yang sial dan melelahkan."
"Maaf, teman-teman. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya menemukan kakakku, sampai nekat ke sarang monster. Aku pemimpin yang ..." Arienne mengepalkan tangan erat-erat. Tanpa mau melanjutkan kalimatnya, Arienne pamit dari kabin. Meninggalkan para awak dengan perasaan yang sulit diungkapkan.
Pierre yang melirik sejak tadi, mengabaikan suasana yang keruh dengan menguap sembarangan. "Memangnya seorang pemimpin tidak boleh membuat kesalahan, ya? Kan masih manusia juga."
Carsein memainkan lampu minyak yang digantung dengan aliran sihirnya, sehingga seisi ruangan jadi berwarna ungu. "Kita hampir mati karena gadis itu, loh." Penyihir itulah yang pertama merespon ucapan Pierre. "Tapi rasanya menegangkan, aku suka sensasinya!"
Tidak ada pilihan lain selain merotasikan matanya, Demian lantas menghela napas. "Dasar orang-orang gila."
"Hei, dia tidak gila. Maksudku, Nona itu keren. Dia berani mengambil risiko apapun demi mencari kebenaran tentang kakaknya," cerca Jake, kemudian terbatuk-batuk dengan ekspresi kesakitan. Suaranya serak. Meski tahu pita suaranya sedang tidak baik-baik saja, Jake merasa perlu mengatakan itu pada Demian. "Kalau," Jake memicing, merasakan perih, "tidak nekat, dia tidak akan menemukan apa-apa."
Juward dapat melihat ekspresi wajah Demian berubah. Meski tidak mengungkapkannya secara langsung, Juward setuju dengan Jake. Kalau ia waktu itu tidak nekat meninggalkan mereka di Romani, ia takkan bertemu kawanan Siren lagi, dan mungkin menentang kuat Caspian sebagai rumah barunya. Ia rasa nekat telah melekat pada nadi mereka.
"Kurasa kesalahan diciptakan untuk menemukan kebenaran. Kalau ceroboh, kita masih punya satu sama lain untuk saling melindungi." Tanpa sadar kalimat itu keluar dari mulut Juward.
Jake berkedip, kemudian ia tertawa tanpa suara. "Apa kepalamu terbentur begitu keras, Ju? Kau sangat manis!" Sedetik kemudian Jake batuk darah karena Juward tahu-tahu mencekiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCYLLA'S WAY
Fantasy[Telah diterbitkan] Sepuluh tahun yang lalu, tepat saat Ethan pergi berlayar. Meninggalkan harta karun berharganya, Sang Adik. Ia membuat janji, bersumpah ia akan kembali. Sayang sekali, janji tersebut hanya omong kosong semata. Ethan tak pernah kem...