...
"Aria? Kenapa sendirian di jembatan? Katanya takut dimakan paus!"
Sudah dua bulan sejak kakaknya kembali dari perjalanan. Kapal kecil yang awalnya hanya dihuni tiga orang, kini sudah ramai ditumpangi para awak. Langkah yang bagus untuk seorang kapten muda sepertinya.
Sudah tiga malam Ethan menginap di tanah kelahirannya. Laki-laki itu nampak bersedih karena senyum adiknya itu tidak bertahan lama. Padahal kapten muda itu siap mendengar tangisan dan rengekannya karena kepergian ibu yang tiba-tiba. Herannya, tidak ada satu tetes pun yang jatuh dari matanya.
Ia duduk di samping Arienne. Membiarkan kakinya diselimuti air.
"Kak," panggil perempuan itu. Raja Malam menerangi keduanya. Mata hazelnya bersinar kala menatap rembulan yang berada di langit berbintang.
"Iya, aku di sini." Ethan menoleh. Memperhatikan pahatan Tuhan paling indah.
"Ibu pergi karena aku cengeng, ya, kak? Apa sikapku mengganggunya?" Pandangan mata Arienne turun pada lautan gelap jauh di seberang sana.
Mata hitamnya tersentak. Dari mana adiknya itu belajar berpikir seperti sekarang?
"Aku janji tidak akan takut air, tidak akan takut pada serangga, dan tidak akan takut untuk buang air kecil sendirian." Bibir kecil itu terbuka tipis-tipis, seperti tak yakin dengan ucapannya sendiri. "Lalu, jika aku seperti itu. Apa ibu akan kembali?"
Puk
Tangan yang lebih besar darinya menepuk kepalanya. Mau tak mau perempuan itu menoleh, jatuh dalam pandangan Ethan. Ombak berdesir menabrak kulit kaki keduanya. Angin menyapu rambut Ethan.
Malam itu, tiada lagi yang lebih indah dari wajah teduh kakaknya.
"Kakak saja dulu digigit lebah pun menangis. Karena apa? Karena rasanya sakit." Bibir tipisnya terbuka. Ethan mengayunkan kakinya pada perairan asin di bawahnya.
Namun, perkataan itu tak bisa menjawab kegelisahan adiknya. Arienne memiringkan kepalanya. "Tapi, aku tidak digigit. Justru aku sehat, dan aku tidak terluka, Kak. Bukannya cengeng jika menangis tanpa alasan?"
Kakaknya menggeleng. "It's not like that."
Arienne semakin dibuat bingung. Tanda tanya muncul di dalam kepalanya. Kakaknya itu merapikan anak rambut merah kecoklatannya agar tidak menusuk mata hazelnya.
"Rasa sakit itu tidak selalu dengan luka fisik," Tangan Ethan menunjuk dada Arienne. "Seperti hatimu. Kau sakit, kan, ketika ibu yang selama ini menyayangimu pergi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SCYLLA'S WAY
Fantasi[Telah diterbitkan] Sepuluh tahun yang lalu, tepat saat Ethan pergi berlayar. Meninggalkan harta karun berharganya, Sang Adik. Ia membuat janji, bersumpah ia akan kembali. Sayang sekali, janji tersebut hanya omong kosong semata. Ethan tak pernah kem...