"Jadi, kau sudah renungkan kesalahanmu ?"
Suara tegas dari lelaki tua di depannya menyentak kesadaran Yunho. Pergerakan tangannya terhenti seolah terintimidasi dengan nada sarkas barusan.
"Demi teman tidak bergunamu, kau sampai tega membuat Ibumu khawatir, apa dia lebih penting daripada orangtuamu ini ? Kau masih beruntung karena Ibumu menerimamu kembali setelah apa yang kau lakukan. Aku harap setelah ini kau tidak melakukan sesuatu yang memalukan kami lagi."
Tuan Jung menyumpitkan sepotong kimchi keatas nasi putih setelah selesai menceramahi Yunho.
Suasana pada ruang makan sangat menegangkan. Hubungan antara orangtua dan anak laki-lakinya mereka tidak kunjung membaik dari hari ke hari.
Usai kejadian Yunho yang tiba-tiba saja pulang di tengah malam tanpa memberi kabar sebelumnya, pemuda itu lebih banyak memilih diam, atau lebih tepatnya di paksa diam. Sang Ayah sangat murka hari itu, bahkan hampir memukulnya kalau tidak ada sang Ibu yang datang dengan cepat melerai.
Yunho tidak punya pilihan lain selain kembali.
Yunho sempat berkeliaran saja tanpa arah setelah pertengkarannya dengan Mingi. Pikirannya terlalu kalut dan pada ujungnya mengantarkan Yunho ke persinggahan terakhir yang ia punya. Yunho tidak mengabari siapapun perihal kepulangannya yang mendadak ini—termasuk pada Wooyoung. Yunho yakin sahabatnya itu pasti tengah panik dan kalang kabut mencari dimana keberadaannya sekarang.
Entahlah, Yunho hanya sedang tidak ingin bertemu atau bercerita pada siapapun. Yunho tidak bisa.
Rasa sakit itu masih ada, bahkan hingga detik ini ketika Yunho sedang makan siang bersama Ayah dan Ibunya. Raga Yunho mungkin berada di sini, tapi nyawanya sedang melayang jauh, berkelana entah kemana. Bohong kalau Yunho bilang ia baik-baik saja. Setiap malam Yunho merenung, tapi ia hanya menangis untuk alasan yang sama sendirian.
Yunho merindukan Mingi, meskipun ia juga yang meminta pria itu untuk tidak lagi menahannya.
"Sudahlah, berhenti merengut, makanlah yang banyak. Kau belum makan apapun dari kemarin."
Sang Ibu meletakkan sepotong daging panggang keatas sendok makan Yunho, namun pemuda itu tidak terlihat tertarik. Ia bahkan tidak tahu apa itu artinya kata lapar untuk saat ini karena sungguh, nafsu makannya sama sekali tidak ada sedikit pun.
"Jangan memasang wajah seperti itu, harusnya kau ucapkan terima kasih pada Ibumu," bentak Tuan Jung saat menyadari ekspresi datar dari putranya.
"Yeobo, hentikan." Nyonya Jung menepuk sang suami pelan. "Biarkan dia makan dengan tenang."
"Tsk, anak laki-laki mana yang terus merajuk dan menangis seperti seorang perempuan ? Apa terlalu lama tinggal sendirian di kota besar membuatmu bergaul dengan orang-orang yang salah ? Mungkin pria itu sudah terlalu banyak memanjakan anak ini sampai dia menjadi keras kepala dan merasa kalau dia harus selalu dimengerti," amuk Tuan Jung lagi.
Tanpa Yunho sadari ia meremas ujung sumpitnya begitu kuat menahan emosi. Tidak ada perubahan raut ekspresi yang kontras di wajah Yunho, namun sesuatu rasanya akan pecah dari puncak kepalanya.
Sesuatu yang disebut amarah.
Saat sang Ayah tahu tentang hubungan Yunho dan Mingi, lelaki tua itu sangat marah besar. Berbagai sumpah serapah Yunho dengar hingga olokan dari sang Ayah yang berkata beliau malu memiliki anak seperti dirinya. Sampai batas itu Yunho masih bisa menerima lapang dada caci maki itu, tapi saat ini ?
Yunho rasa sudah cukup sang Ayah mengumpati dirinya dengan kata-kata kasar. Mengatai Yunho menjijikkan dan sebagainya. Tidak bisakah sang Ayah sedikit saja mencoba mengerti kalau Yunho tidak baik-baik saja saat ini. Ia juga lelah berusaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire || Woosan [END]
FanfictionWooyoung tidak pernah menyangka hubungan satu malam pada akhirnya membawanya bertemu dengan San-seorang pria terlampau sempurna yang menawarkan kata 'cinta' untuknya. My desire for you is so selfish.