Wooyoung membuka kedua matanya perlahan. Pemandangan langit-langit kamar yang familiar membuatnya berakhir kembali mendesah kecewa.
Mengapa Tuhan begitu menyayangi nyawanya ? Wooyoung rasa ia sudah cukup menyiksa diri, tapi mengapa setiap kali memejamkan mata ia akan kembali terbangun ke dunia nyata. Padahal, besar harapan Wooyoung kalau ia akan mati mendadak saat pingsan atau bahkan yang lebih buruk dari itu.
Netra redup Wooyoung menyisiri seluruh penjuru ruangan, mencari identitas seseorang didekatnya namun yang ia dapat hanya kekosongan. Dirinya berada diatas ranjang dan dalam keadaan sedikit rapi—mungkin ? Sepotong baju menutupi tubuh kurusnya. Sudah pasti Changbin karena tidak ada lagi manusia di rumah ini kecuali bajingan itu.
Ah, Changbin pasti panik ketika ia menemukan Wooyoung terkapar dilantai lagi begitu pria itu pulang selesai membeli bahan makan malam.
Pintu yang terbuka menarik perhatian Wooyoung. Benar saja, Seo Changbin ada disana dengan memegang sebuah nampan penuh makanan.
Changbin tersenyum ketika melihat Wooyoung yang sudah sadar diranjang, dan itu adalah senyum paling tulus pertama yang Wooyoung lihat setelah sekian lama ia hanya bisa mengumpati sisi gelap dari pria itu. Entah apa yang salah disini. Sesaat, hanya sesaat Wooyoung seolah kembali merasakan sisi hangat yang telah lama hilang dari Changbin.
"Sudah bangun ? Kau membuatku khawatir sekali, bagaimana bisa kau tiba-tiba pingsan dilantai saat aku tidak ada ?" Pria itu meletakkan satu nampan makanan disamping ranjang. Tangannya berada pada dahi Wooyoung, menyisir anak rambut yang menutupi wajah pemuda itu. "Kau pasti lelah. Aku sudah memanggang steak untukmu, makan ya ?"
Nada bicara Changbin begitu lembut.
Ini mungkin terdengar gila, tapi Wooyoung seolah kembali terbawa pada masa lalu mereka. Waktu dimana Seo Changbin pernah memperlakukannya seperti seorang kekasih. Wooyoung rindu masa itu, dan jujur, hingga detik ini ia masih tidak mengerti apa yang membuat Changbin berubah seperti ini.
Andai saja ini semua tidak pernah terjadi, pasti mereka sudah hidup bahagia layaknya pasangan-pasangan lain diluar sana. Mereka pasti bahagia.
"Young-ie ? Kenapa hanya diam ? Kau tidak mau steak ? Apa perlu aku belikan makanan lain ?"
Pemuda itu menggelengkan kepala pelan. Ia mencoba mendudukkan dirinya, namun rasa remuk disekujur tubuh membuatnya kesusahan.
"Arhh !" Wooyoung merintih kesakitan dan dengan refleks Changbin mencoba ingin menolongnya.
"Mana yang sakit ? Apa aku sudah terlalu kasar ?"
Changbin memperhatikan tubuh Wooyoung dari atas kebawah. Wooyoung bisa melihat penyesalan terpancaran dari mata Changbin. Mungkin saja pria itu akhirnya merasa bersalah pada Wooyoung dan perlahan menyadari semua kebodohannya.
Kalau Wooyoung tidak salah tangkap, ada setetes cairan bening mengalir dipipi kiri Changbin. Tidak, tidak mungkin Changbin menangisi perbuatannya. Pria itu secara sadar menyakiti Wooyoung dan tega menyiksanya, menghujaninya dengan pukulan, dan menghujam tubuhnya terus menerus dengan kasar.
Tapi tunggu—Changbin memang menangis.
"Maafkan aku ... harusnya aku memperlakukanmu lebih baik lagi. Young-ie, tolong, maafkan aku."
Wooyoung hanya bisa terdiam, tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa untuk membalas.
Ini pertama kalinya Changbin menunjukkan sisi kemanusiannya setelah sekian lama menjadi anjing gila. Wooyoung tidak ingin mengatakan ini, tapi rasa simpati berhasil mengambil alih semua akal sehatnya. Tangan lemah Wooyoung terangkat, telapak hangatnya menyentuh wajah Changbin, menghapus jejak basah air mata dipipi pria itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Desire || Woosan [END]
FanfictionWooyoung tidak pernah menyangka hubungan satu malam pada akhirnya membawanya bertemu dengan San-seorang pria terlampau sempurna yang menawarkan kata 'cinta' untuknya. My desire for you is so selfish.