64. The Painkiller

1K 95 6
                                    

Author's Note: 

Ini censored version yaaa. WP 900 kata, KK 1,400 kata. 

Link KK-nya ada di komentar.

Walaupun part ini udah kubuat safer, tetep aku berharap yang under 18 yo gak usah baca ya.

************************************

"Nggak usah sedih karena omongan dia," Gio berusaha menenangkan.

"Tapi emang bener gue lonte, kok. Gue emang ngewe sama lo demi uang," Rere menjawab, menghapus air mata kemarahan yang turun ke pipinya terus-menerus.

"Re, lo itu calon istri gue. Gue nggak nganggep lo lonte, dan gue biayain lo dengan sukarela, karena gue sayang sama lo. Jangan jadi berantakan cuma karena Max."

"Tetep aja, gue tidur sama lo karena uang. Gue tahu gue nggak bener, gue kotor. Tapi kenapa harus Max yang ngatain gue sekejam ini???"

Semakin lama, Rere menangis semakin keras, dan Gio maju untuk memeluknya.

Rere tersedu-sedu di dada Gio, sampai gemetaran satu badan. Gio mengusap punggung Rere, berusaha mengurangi sedikit rasa sakit yang dirasakan gadis itu.

Tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu tangis Rere selesai.

Gio juga tahu rasanya menangis. Punya kembaran seperti Helen, dia sering menangis dulu. Dan memang obat rasa sakit yang paling mujarab adalah menangis sampai puas. Tempat di mana Gio biasa menangis adalah di toilet rumah sakit langganan Helen di London.

Gio selalu menangis sendiri, karena dia tak ingin keluarganya semakin sedih.

Namun dia juga yang paling tahu, sakitnya menangis sendirian. Setidaknya Rere tak sendiri. Gio tak ingin Rere merasakan kesepian yang menikam hati seperti itu.

Di semua titik terendah hidup Rere, Gio ingin menemaninya.

"Gue nggak nyangka.....gue nggak nyangka Max bisa ngatain gue kayak gitu......."

"Udah. Jangan lo percaya apa yang dia bilang. Lo calon istri gue. Calon CEO anak perusahaan gue. Kalo lo lonte, lo lonte termahal sedunia."

Rere jadi tertawa sambil menangis. Dia melepaskan diri dari pelukan Gio untuk mengambil tissue dan membersihkan hidung.

Gio membukakan botol air mineral (Evian tentunya) dan menuangkannya ke gelas (pastinya dari kristal.)

"Kenapa dia bego, ya?" Gio bertanya. "Kalo gue jadi dia sih gue bakal sok baik. Sok ikhlas. Biar lo makin galau. Kalo kayak gini kan lo jadi benci sama dia."

"Emang. Gue nggak mau lihat muka dia lagi."

"Bener. Lihat gue ajalah. I'm hotter than him anyway."

Rere memasang ekspresi malas.

"You worth more to me than everything I own. If I lose all my money but I still have you, I know I'll survive."

Gelas yang Rere pegang hampir jatuh dari tangannya. 

Dia lebih sanggup menghadapi Gio yang flirty daripada Gio yang tulus dan berbicara setinggi langit seperti ini. 

Yang paling menakutkan adalah dia mulai mengerti kalau Gio tidak bohong.

Rere tidak buta dan bisa membedakan ketulusan Gio dan Max.

Gio melakukan apapun untuk mendapatkannya.

Max hanya tantrum seperti balita ketika tahu Rere tak bisa jadi miliknya.

"Mau dibantuin biar lupa nggak, kalo lo lagi sedih?"

Never Say NeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang