53. The Prewedding Photoshoot Part 2

846 82 3
                                    

Jeremy melihat Dharma duduk di ranjang Helen. Dari posisinya, Dharma terlihat seperti akan mencium Helen.

"Mas Dharma?" Jeremy memanggil dengan nada tegang dan was-was.

Dharma buru-buru bangun dari ranjang. "Sorry, saya cuma nemenin Helen yang lagi sakit, soalnya Gio lagi sibuk."

Dharma tak ada niat sama sekali untuk membuat Jeremy cemburu.

"Dia di sini karena ngurusin pembayaran outfitnya Gio dan Rere," Helen menjelaskan sambil duduk. Dia agak mengernyit sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri di bagian kiri, di atas jantungnya.

"Jangan duduk, Len. Nanti lo capek,"  kata Jeremy sambil melangkah mendekati ranjang.

"Karena udah ada Jeremy, saya keluar dulu, ya. Nanti saya kabari kalau dokter kamu sudah datang."

Dharma bicara pada Helen, sebelum beranjak pergi dari kamar itu.

Jeremy hanya mengangguk. Biarpun dia cemburu melihat Dharma ada di kamar tidur Helen, dia menghormati Dharma sebagai orang baik dan cerdas, juga karena Dharma selalu baik pada Gio. 

Setelah Dharma keluar, Jeremy berjalan lebih dekat lagi ke ranjang Helen. 

Dia datang untuk melihat sebentar prewedding photoshoot Gio dan Rere, memastikan semuanya berjalan lancar. Dia kaget sekali ketika dikabari Pak Rudi kalau Helen baru saja kena serangan jantung ringan. 

Karena itu dia langsung berlari ke kamar Helen. 

"Kok bisa tiba-tiba sakit? Kenapa? Kurang tidur?"

"Nggak, bukan itu."

"Terus kenapa? Kemarin lo baik-baik aja."

Helen tak menjawab.

Lama dia diam, hingga Jeremy akhirnya duduk di ranjangnya. 

"Len? Nggak bisa cerita sama gue? Katanya pacaran, tapi masih tertutup sama gue. Terus gunanya gue jadi cowok lo apa?"

"Gue mikirin Bluey," kata Helen akhirnya.

"Hm? Emangnya Gio kenapa?"

"Dia sama Rere itu.....tapi lo jangan cerita sama siapa-siapa, ya? Jangan cerita sama dia juga kalo gue curhat."

"Sure. Nggak mungkin juga, dia masih marah sama gue."

"Dia sayang banget sama Rere, tapi Rere nggak sayang sama Bluey."

Air mata Helen jatuh lagi, dan dia buru-buru menghapusnya. 

"Maksudnya gimana, Len? Nggak ngerti gue."

"Ya gitu. That's the truth. Rere dan Bluey itu punya kesepakatan. Bluey yakin banget Rere itu pantes jadi the next Madam Ranggatama. Mereka janji buat nikah, dan dia bakal biayain kuliahnya Rere sampai PhD, tapi gue tahu Rere nggak sayang sama Bluey."

Semakin lama, suara Helen semakin sedih, dan akhirnya dia tengkurap untuk menangis sesenggukan. 

Jeremy jadi bingung melihatnya, dan mengusap-usap punggung Helen. 

Ini hal baru di antara mereka. Helen biasanya tak pernah menunjukkan sisi lemahnya di depan Jeremy. Dia bisa menangis biasanya hanya di depan keluarganya.

Sungguh sulit melihat Helen menangis. Hati Jeremy terasa ikut sakit melihatnya. 

Tapi dia membiarkan Helen menangis sampai puas, karena menurut dia emosi tak boleh ditahan. Kalau ditahan malah akan tambah sakit. 

Setelah puas menangis, Helen duduk, lalu membersihkan hidungnya dengan tissue, tak peduli dengan imagenya di depan Jeremy. 

"Kalau boleh komentar, gue juga merasa Rere cocok jadi the next Madam Ranggatama. Dan mungkin lo bener. Ya, lo emang yang paling ngerti Gio. Dan secara logika, gue tahu kalau Rere itu punya pacar lain enam bulan lalu. Wajar aja kalau dia belum suka sama Gio. Tapi Rere kan setuju buat berkomitmen sama Gio, jadi gue berharap mereka bisa baik-baik aja."

Never Say NeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang