44. (J-H) Bending to Your Wishes

1.1K 88 6
                                    

Author's Note: 

Yang team Jeremy-Helen. This is for you.

Awalnya sedih, tengahnya manis sedikit, akhirnya tebak-tebakan wkkk.

Berani naik kapal ini berarti berani sakit yaaa.

********************************************

Jeremy dan Helen berdiri di ruang tamu depan mansion keluarga Ranggatama.

"Len, lo kok mutusin sendiri sih, mau tinggal lima tahun di UK?"

"Kenapa? Lo nggak setuju? Itu kan kesempatan yang bagus, Jer."

"Gue nggak bisa tinggal di luar negeri. Kelar S1 gue harus langsung kerja di perusahaan Papa gue."

"Ya nggak apa-apa. Kita ketemu pas libur aja."

Jeremy tertegun sejenak, sebelum tertawa pahit.

"Kalo lo jarang ketemu gue sih nggak masalah, ya?"

"Kok gitu?"

"Buktinya cuma gue yang bingung mau pisah lima tahun."

"Kita kan bisa ketemu tiap liburan."

"Lo bisa, Len. Gue nggak."

"Maksudnya?"

"Boleh nggak, nggak usah S2 di UK? Di sini aja Len, temenin gue. Gue nggak bisa ninggalin perusahaannya papi."

"Tapi sayang, Jer. Gue nggak mau kehilangan kesempatan ini. Mumpung Gio juga di UK, gue mau coba sekolah dan kerja di situ."

"Kita nikah aja deh, setelah selesai S1, bisa nggak? Biar gue ada hak ngelarang lo pergi."

"Kenapa harus lo larang sih?"

"Gue nggak mau kita beda negara, Len. Gue nggak bisa."

"Buat apa nikah, kalo cuma buat batesin kebebasan gue? Itu bukan alasan yang tepat buat nikah, Jeremy!"

"Bukan buat batesin lo, gue yang nggak bisa kalo lo nggak ada, Helen! Dan gue harus ngurus perusahaan Papa! Tolong, jangan tinggalin gue."

"Nggak bisa. Nggak mau. Kesempatan ini nggak akan datang dua kali. Gue mau sekolah dan kerja di sana. Gue nggak mau pisah sama Bluey. Gue merasa aman kalo di deket dia. Dia di UK, gue juga mau di UK. Dia pulang, gue juga bakal ikut pulang."

Sebetulnya Jeremy paham kalau Helen tak bisa jauh dari Gio. Penyakitnya membuat Helen bisa saja sakit secara tiba-tiba, dan dia harus dekat dengan keluarganya untuk merasa tenang.

Helen tentunya lebih dekat dengan Gio daripada dengan orangtuanya sendiri. Dia mengerti. Tapi mengetahui kalau dia bukan prioritas Helen rasanya sungguh menyakitkan.

"Gue juga belum siap nikah, Jer. Gua mau S2 dulu, terus coba manggung teater, coba bikin skenario teater. Jadi sutradara dan produksi theater performance. Gue mau achieve itu semua dulu, baru nikah. Gue nggak bisa nikah muda kayak Gio."

Jelas sudah. Prioritas utama hidup Helen saat ini adalah cita-citanya. Bukan Jeremy, atau jadi istrinya Jeremy. Sama sekali bukan. 

"Oh, gitu ya? Gue bukan prioritas lo," Jeremy berkomentar dengan pahit.

Wajah Helen sudah pucat pasi. Emosi yang ekstrim bisa membuatnya sakit. Tapi rahangnya mengeras tanda dia sedang marah, persis sekali dengan Gio bila marah.

"Lo penting buat gue, Len. Lo mau ke UK lima tahun? Fine. Gue harus bertanggung jawab sebagai anak pertama Tanuwijaya. Gue udah janji sama Papa mau mulai kerja di perusahaan kelar kuliah. Gue nggak bisa nemenin lo setiap hari di UK. Tapi gue bakal datengin lo sebulan sekali."

Never Say NeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang