80. Adapting to The New World

667 89 17
                                    

Dunia Gio terasa suram setelah Rere pergi. Untungnya dia kembali ke mansion orangtuanya, jadi ada teman saat sarapan dan makan malam. 

Bukannya Gio tak pernah bisa sendiri, tapi karena dia sudah terlalu mencintai Rere, semua tanpa istrinya itu terasa sepi. 

Teman-temannya memberi dukungan moral. Mereka sama-sama tahu seberapa berartinya Rere untuk Gio, jadi mereka sering menemani Gio, lebih dari biasa. 

Gio yang kini rajin kuliah dan bahkan punya kelas ekstra lewat zoom agar dia bisa cepat lulus, jadi terlihat seperti mahasiswa teladan, beda sekali dengan dirinya setahun yang lalu. 

Mungkin semua orang punya momentum untuk bangkit dari rasa malas dan merapikan hidupnya. 

Untuk Gio, Rere-lah titik balik itu. 

**********************************

Seminggu berlalu.

Rere sudah mulai kuliah. Dia menyukai kelas-kelasnya dan bisa mengikutinya dengan baik. 

Kelasnya adalah kelas kecil yang hanya terdiri dari 20 mahasiswa. Ada sekitar 200 mahasiswa MBA yang diterima dari berbagai negara, dan dibagi ke kelas-kelas kecil agar pembelajaran bisa lebih efektif. Hanya ada dua mata kuliah yang diadakan di great hall, yang dihadiri 200 orang. Lainnya adalah kelas kecil. 

Rere dan Nathan ke mana-mana bersama di kampus, karena memang mereka sekelas. Tapi mereka tak hanya berdua. Rere juga berkenalan dengan Chieko, gadis asal Tokyo yang sangat Harajuku style, part time di cafe dekat Oxford, dan juga jago nail art. 

Suatu hari mereka satu kelompok untuk diskusi, dan mereka sama-sama setuju soal investasi paling bagus di negara yang sedang berkembang. Resikonya memang lebih tinggi, tapi profitnya juga jauh lebih tinggi, daripada bila investasi ke negara yang sudah maju. 

Sejak itu, Rere dan Chieko jadi dekat. 

"Why did you marry so soon?" Chieko bertanya dengan terheran-heran. "I mean, I saw your husband on your IG. He's gorgeous. But damn, you're not even 22 yet. You even feel too young to learn in a graduate program like this."

Rere tersenyum. 

"My husband and I......let's just say, we were both at the right time and the right place. Besides, he really likes me. I could wait for another decade. When I'm 32, I would feel more ready to marry. But he might not be available anymore."

"Huh," Chieko kaget. 

"Plus," Nathan melanjutkan, "He's also from the richest family in Indonesia. Hard to reject someone like that."

Mereka sedang makan siang di cafe tempat Chieko bekerja part time, sambil mengerjakan tugas mereka. Rere hanya beli minum, makanannya lunch box dari Ranggatama Cuisine Oxford, yang sangat setia mengiriminya makanan tiga kali sehari.

Tidak hanya nasi kotak. Ada juga sup, irisan buah, dan jus.

Rere tertawa, "Well, why should I reject him? He's good-looking, rich and loves me. Everyone would want a husband like that."

"Sure, Rebecca, whatever you say," Nathan mengangkat tangan tanda menyerah. 

**********************************

Rere lapor pada Gio ke manapun dia pergi, dengan siapa saja. Mayoritas, hari-harinya dihabiskan bersama Nathan dan Chieko. 

Gio sebetulnya terganggu dengan Nathan, tapi dia tak mau jadi suami yang cemburu buta sampai membatasi pergerakan dan kehidupan sosial istrinya. 

Tapi tetap saja, dia sempat bilang, walau dengan nada bercanda, "Ingat ya, Baby. Seganteng-gantengnya Nathan, aku lebih kaya dari dia."

"Ck. Iyaaa. Nggak usah mikir aneh-aneh. Aku sama dia cuma temen sekelas."

Never Say NeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang