Tak sanggup dan tak mau membendung perasaan sendiri, Helen akhirnya mengajak Rere bertemu hanya berdua dengannya.
Rere datang ke cafe Helen saat Gio sedang bimbingan skripsi.
Keduanya duduk berhadapan di depan kopi pilihan masing-masing dan seiris cake.
"Kayaknya lo udah tahu ya, apa yang mau gue bilang," Helen memulai.
"Gue nggak jago tebak-tebakan, Helen. Tolong langsung bilang aja."
"Re. Gio cinta banget sama lo. Empat hari lagi kalian nikah. Gue cuma minta satu hal. Karena he is my only brother, I need him to be happy. Gue bisa tanggung apapun itu, asal jangan Gio sakit. Tolong hargai pernikahan lo sama dia. Kalian bakal nikah sah secara agama dan hukum. Tolong ditepati janji akad nikahnya. Apa lo bisa, Re?"
"Iya. Gue nikah sama Gio serius, kok. Biarpun gue tadinya nggak terpikir nikah semuda ini, tapi Gio udah kasih mimpi gue. Gue akan berusaha jadi istri yang baik buat Gio."
Helen mengangguk.
"Gue minta satu hal juga boleh?" tanya Rere.
"Whatever that is, kalo bisa gue kasih buat istrinya Gio, gue kasih."
"Tolong, yang sehat. Yang panjang umur. Ya?"
Helen tiba-tiba tertawa, lalu menangis. Suaranya terdengar seperti tersedak. Helen buru-buru mengambil tissue.
"Gue jujur aja, ya. Gue nggak bisa ngomong manis, Hel. Tolong ingat kalo badan lo dan badan orang lain beda. Memang ada hal-hal yang harus lo korbankan. Memang akan ada hal-hal yang nggak bisa lo lakukan, kalau lo mau tetap sehat. Gue lihat tiap hari tiga kali sehari Gio itu pasang alarm cuma buat ngingetin lo minum obat. Setiap hari dia ketok apartemen lo jam 9 malam untuk pastiin lo udah pulang dan lo sehat-sehat aja."
"Hidup sama Gio itu artinya juga hidup sama lo. Gue tahu itu dan gue paham. Tapi tolong lo sendiri harus sadar sama batasan. Mungkin nggak adil rasanya. Mungkin mimpi lo ada banyak. Masalahnya gue curiga satu hal. Lo khawatir hidup lo nggak akan lama, makanya lo kadang kayak nekat mau melakukan semuanya. Dan menurut gue itu mindset yang salah."
"Gio cerita, kesehatan lo itu bergantung di lo capek atau nggak, lo makan yang sehat atau nggak, dan pikiran lo terganggu atau nggak. Kalau semua dalam batas wajar, lo bisa sehat dan umur lo bisa panjang. Gue minta tolong banget, lo jaga diri lo baik-baik. Karena Gio bisa hancur kalau lo nggak ada. Gue bersyukur nanti di Oxford kita bertiga bakal tinggal bareng, karena kita jadi bisa saling jaga. Gue berharap kita bisa jadi seperti keluarga."
Helen memandang Rere lekat-lekat.
Satu-satunya perempuan yang bisa membuat kembarannya jatuh cinta.
Satu-satunya orang yang berani bicara seperti ini padanya. Bahkan keluarganya pun tak berani bicara seperti ini padanya.
Helen sadar, Rere memang akan menjadi bagian dalam hidupnya.
Tanpa kata, Helen meraih tangan Rere, dan keduanya bergenggaman tangan erat.
The Ranggatama Princess and The Future Daughter In-Law.
Semoga semua baik-baik saja. Namun hidup itu harus diusahakan memang. Semua tergantung pilihan dan keputusan kita sendiri. Jangan salahkan takdir atau nasib.
If we want happiness, we must build it ourselves.
************************************************
Gio sedang ngemil buah pir dengan selai kacang sekitar jam 10 malam di hari Kamis, tiga hari sebelum wedding day mereka. Sementara Rere sedang duduk melamun di meja makan. Dia sedang merapikan proposal tesis yang kelak akan dibuatnya di Oxford.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Say Never
RomansRebecca adalah mahasiswi paling cerdas di kampus. Pemenang berbagai penghargaan, ketua angkatan, dan dijuluki kampus queen. Populer, cantik dan smart. Pacarnya ganteng, sahabatnya juga keren. Tapi dunianya runtuh ketika dia tahu pacarnya selingkuh...