Bab 10

1.8K 41 0
                                    

DALAM keadaan demikian, terdengar pula suara irama seruling, yang mengandung penuh rasa gembira, sungguh aneh, irama seruling itu tiba-tiba membangkitkan perasaan keinginannya untuk hidup lagi.

Semangat Siang-koan Kie yang sudah runtuh, telah terbangkit pula oleh pengaruh irama seruling itu.

Ia berdiri dan berjalan ke lamping gunung, kemudian duduk menyandar untuk mengatur pernapasannya.

Karena ia sudah tahu, apabila mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, urat2nya yang terluka segera terasa kejang, hingga menimbulkan penderitaan hebat. Kali ini ia tidak berani mencoba lagi. Perlahan-lahan ia mengatur penapasannya, sedapat mungkin menghindarkan penderitaan yang hebat itu.

Betul saja penderitaan itu banyak berkurang, tidak sehebat seperti yang sudah-sudah. ketika kekuatan tenaga dalamnya mulai terpusat, uratnya yang terluka sekonyong-konyong dirasakan kejang pula, terpaksa ia buru-buru menghentikan usahanya untuk memusatkan kekuatan tenaga dalamnya.

Sewaktu kekuatan tenaga dalam itu buyar lagi rasa sakit diuratnya segera berhenti.

Penemuan itu segera menimbulkan pengharapan untuk hidup lagi, pikirnya, "Asal dengan cara demikian perlahan-lahan aku mengatur pernapasanku, mungkin dapat menyembuhkan sendiri lukaku."

Ia menghitung-hitung mungkin sanggup menahan lapar tiga hari tiga malam, apabila selama waktu itu ia dapat mengendurkan urat-uratnya yang terluka, masih ada sisa tenaga yang dapat digunakan untuk memanjat ke batu karang tempat menghilangnya burung raksasa tadi, mungkin dapat menggunakan tenaga burung raksasa itu keluar dari tempat ini.

Apa bila dalam waktu tiga hari tidak berhasil meringankan luka-lukanya, di bawah keadaan haus dan lapar, tenaganya perlahan-lahan pasti berkurang dan akhirnya pasti akan mati kelaparan di dalam lembah itu.

Ia mulai duduk lagi, untuk bersemedi dan mengatur pernapasannya.

Tak disangka setelah dua hari dua malam ia berusaba menyembuhkan lukanya, bukan saja urat2nya tidak menjadi kendur, bahkan semangkin berat. Ia merasakan urat-uratnya telah terjadi perobahan, hingga terperanjat, ia berusaha hendak berdiri, ia baru mengetahui bahwa paha kiri dan lengan kirinya sudah tidak bisa bergerak lagi.

Berada di dalam tempat lembah mati dalam keadaan luka berat tidak bisa bergerak, sekalipun bagi orang yang mempunyai hati kuat dan perasaan teguh juga akan merasa berada didalam keadaan putus pengharapan.

Siang-koan Kie mulai merasa kehilangan kepercayaan terhadap jiwanya sendiri, bayangan maut yang menakutkan, karena merasa sudah putus harapan sudah bukan suatu ancaman yang menakutkan lagi baginya.

Ia mendongakkan kepala mengawasi awan di langit sambil berpikir, "Sekarang kecuali setindak demi setindak mendekati ajalku, aku sudah tidak ada jalan lain lagi, sisa waktu yang tinggal tidak seberapa ini alangkah besar hatinya bagai seorang yang sudah akan meninggalkan jiwanya, maka aku akan menggunakan sebaik-baiknya...."

Selagi hendak rebah untuk menikmati pemandangan alam dengan tenang, sekonyong-konyong mulutnya dirasakan haus, hatinya lalu berpikir, "Sebelum mati aku tidak boleh menderi kehausan, meskipun di lembah ini tiada barang makanan untuk dimakan, tetapi masih ada air danau yang dapat kugunakan untuk menghilangkan rasa haus."

Maka, ia lalu berusaha menuju ke pinggir danau.

Meskipun jarak itu tidak jauh, tetapi dengan susah payah baru ia mencapai tempat tersebut. Oleh karena paha kiri dan lengan kirinya sudah tidak dapat digunakan, ia hanya dapat menggunakan paha kanan dan lengan kanan untuk merangkak di atasnya batu2 itu.

Pakaian di bawah tangan kanan dan kaki kanan sudah terkoyak oleh batu2 bundar itu, tetapi ia agaknya tidak merasa sakit, sebaliknya ia merasa gembira dengan pengalaman barunya itu.

Irama Suling Menggemparkan Rimba PersilatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang