Bab 84

1.9K 39 0
                                    

ORANG TUA BONGKOK itu yang seolah-olah sudah tidak sabar menunggu, ketika mendengar perkataan Teng Soan, segera berkata: "Lekas-lekas!"

Tukang buah itu juga segera memberi hormat kepada Teng Soan, kemudian berpaling dan mengucapkan terima kasih kepada Siang-koan Kie, setelah itu keduanya berlalu meninggalkan gubuk itu.

Sebentar kemudian, orang tua bongkok itu berjalan mundar mandir di dalam rimba di atas bukit, saban2 menarik napas.

Teng Soan berdiri menyandar dibawah pohon, mengawasinya, kemudian berkata sambil tertawa: "Paman tidak usah cemas, saudaraku itu bisa berjalan seperti terbang, sebentar pasti akan kembali."

Benar saja, baru saja Teng Soan menutup mulut, Siang-koan Kie sudah berada disampingnya.
Orang tua bongkok itu agaknya sangat kagum, kembali ia mengucapkan terima kasihnya.
"Kau jangan mengucapkan terima kasih saja, lekas bawa kita!" berkata Siang-koan Kie.

Orang itu lalu mengunci pintu gubuknya mengajak mereka berjalan. Tidak antara lama tibalah disebuah gardu peranti minum teh yang berada ditepi sungai, di dalam gardu itu juga terdapat seorang tua bongkok, dua orang tua itu agaknya telah saling mengenal, begitu bertemu muka keduanya berbicara dengan sangat gembira, hingga seperti sudah lupa kepada dua tetamunya.

Gardu itu terletak ditepi sungai yang terdapat perahu nelayan, yang saat itu sedang mundar mandir di atas air.

Siang-koan Kie yang menunggu sekian lama, belum melihat tanda2 orang tua tukang kayu itu pergi melanjutkan perjalanannya, maka segera menegurnya: "Tugas paman sudah selesai, sekarang boleh pulang untuk beristirahat."

Sebelum orang tua tukang kayu menjawab, orang tua lainnya memelototkan matanya dan berkata: "Apakah dia minum teh dulu juga tidak boleh? Kau siapa? Mengapa mencampuri urusannya?"

Siang-koan Kie melongo, ia tidak bisa berbuat apa2, terpaksa menunggu orang tua itu yang sudah minum teh dan mengobrol lagi. Setelah itu baru berlalu, sedang mulutnya masih menggumam: "Ya Allah, lain kali aku tidak mau melakukan pekerjaan semacam ini lagi."

Siang-koan Kie tersenyum getir sambil menggelengkan kepala, bersama Teng Soan berjalan ketepi sungai dan berseru: "Aku mau beli ikan!"

Perahu nelayan dipermukaan air, benar saja segera menghampirinya, Siang-koan Kie memperhatikan semua nelayan yang menghampiri itu, untuk mencari nelayan bermata satu dan tidak berbaju, benar saja ia menemukan nelayan yang dicarinya itu, lalu bertanya dengan suara nyaring: "Berapa harganya tujuh ekor ikan?"

Nelayan bermata satu itu, kulit badannya berwarna coklat, meskipun bentuk badannya pendek kecil tetapi padat, ketika mendengar suara Siang-koan Kie, sesaat agaknya juga tercengang, tetapi dengan cepat ia menyahut: "Delapan ekor ikan harganya tiga tail perak."

Karena perkataan itu diucapkan sangat cepat sehingga Siang-koan Kie hampir tidak dengar jelas, Teng Soan segera tertawa, tetapi kemudian berkata sambil menghela napas: "Kembali seorang yang sangat jujur, Sumoy-ku itu sebetulnya seorang yang tidak banyak akalnya tetapi dibawah permainan nasibnya yang buruk ia telah memperkembangkan kecerdikannya, untuk mengatur rencana demikian rapi."

Setelah perahu itu merapat kepantai, Siang-koan Kie lalu bimbing Teng Soan naik kedalam perahu, tanpa lanyak bicara tukang perahu bermata satu itu mendayung perahunya menuju keselatan.

Berlayar kira2 setengah jam, perahu itu menuju kesuatu jalan persimpangan, beberapa buah perahu nelayan ditambat dipantai, pantai itu ternyata merupakan pantai nelayan.

Tukang perahu bermata satu itu setelah merapatkan perahunya dipantai, juga segera meninggalkan tetamunya dan berlalu lagi. Orang2 itu agaknya mengetahui tugas masing2 yang dipikulnya sangat misterius, maka mereka agaknya tidak ingin terlibat dalam persoalan yang sangat misterius itu, maka setelah tugasnya selesai, buru2 berlalu.

Irama Suling Menggemparkan Rimba PersilatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang