Bab 88

2.1K 29 0
                                    

SIANG-KOAN KIE tiba2 mengerutkan alisnja dan berkata:

"Ada satu hal jang selama itu selalu tidak dapat siaote petjahkan."

"Urusan apa?"

"Walaupun toako tidak gemar ilmu silat, tetapi tentunja mengerti bahwa beladjar ilmu silat itu berguna untuk kesehatan manusia, apabila toako mempunjai sedikit dasar kepandaian itu, kesehatan toako rasanja tidak sampai sedemikian lemah."

"Aku adalah seorang jang sudah hampir mati, aku beritahukan padamu djuga tidak halangan, pertumbuhan badanku kurang sempurna, tulang dan urat2ku terlalu lemah, kondisi badan sematjam ini tidak tjotjok untuk beladjar ilmu silat, apabila kita paksakan diri, bahajanja lerlalu besar. Dulu suhu sendiri masih tidak berani memaksaku beladjar ilmu silat, apalagi orang lain?"

"Oh, demikiankah halnja?"

"Itu adalah keadaanku jang sebenarnja, saudara, didalam dunia tidak ada orang jang sempurna seratus persen, setiap orang mempunjai tjatjatnja sendiri2."

"Utjapan toako memang benar."

"Saudara, kau harus tahu, sebagai manusia, kita tidak dapat mengelakkan kodrat alam, sesuatu jang kita anggap sudah baik, memuaskan, kadang2 terbentur dengan kebaikan lain lagi. Betapapun tjerdik pandainja seseorang, djuga tidak akan dapat mengadakan pemilihan, apabila berhadapan dengan dua hal jang sama baiknja, djuga tidak dapat memiliki kedua-duanja. Sama halnja dengan terputarnja bumi, ada waktu siang, ada waktu malam. Seorang jang namanja sangat terkenal dan hampir diketahui oleh setiap orang, dalam kehidupan pribadinja, mungkin penuh kesunjian....."

Siang-koan Kie dapat merasakan bahwa dalam utjapan Teng Soan ini mengandung penuh rasa duka, hingga diam2 hatinja tergerak, ketika ia mengawasinja, sepasang mata toakonja itu ternjata sudah mengembang air mata.

Ini adaiah suatu kedjadian jang belum pernah terdjadi sedjak ia berkenalan dengan Teng Soan. Sebagai seorang pintar dan berpikiran luas, meski-pun dalam keadaan bagaimana, ia selalu menundjukan muka berseri-seri, tetapi sekarang, agaknja tidak dapat mengendalikan kesedihan dalam hatinja, sehingga mengutjurkan air mata.

Teng Soan agaknja menjadari sikapnja jang tidak sewadjarnja itu, sambil memesut air matanja ia melandjutkan kata2nja.

"Apabila kondisi badanku tidak mempunjai tjatjat seperti aku katakan tadi, apabila aku bisa beladjar ilmu silat, maka keadaan rimba persilatan pada dewasa ini, barangkali akan lain tjoraknja..."

Siang-koan Kie mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak menjelak.

"Waktu itu," berkata pula Teng Soan, "mungkin aku tidak bisa berlaku tenang seperti sekarang ini, mungkin djuga tidak sudi bernaung dibawah pengaruh siapapun djuga dan mungkin sudah lama aku mentjari djalan sendiri untuk membunuh Kun-liong Ong."

"Utjapan toako benar," berkata Siang-koan Kie sambil menghela napas, "setiap manusia memang ada tjatjatnja."

"Kau dapat berpikir demikian, itu bagus sekali, saudara, kini kita sudah angkat saudara, dalam hubungan pribadi, kau adalah satu2nja saudaraku dalam dunia ini, meskipun dengan Auw-yang Pangtju aku sudah berkumpul sepuluh tahun lebih, tetapi itu merupakan pergaulan umum, kita satu sama lain saling mempertjajai, tetapi antara aku dengannja belum pernah berbitjara urusan pribadi."

Siang-koan Kie jang mendengarkan perkataan itu, merasa setengah mengerti setengah tidak, terpaksa ia kerkata:

"Toako ingin perintahkan apa, katakan sadja."

Teng Soan melongok keluar djendela, mendadak berdiri dan berkata:

"Djalan! Mari kita ketaman bunga, nanti kutjeritakan lagi. Dengan setjara bebas ini kita berbitjara urusan dunia Kang-ouw, waktunja hanja setengah hari ini sadja."

Irama Suling Menggemparkan Rimba PersilatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang