Bab 110

1.1K 26 0
                                    

SELAGI Siang-koan Kie hendak menjawab, Thian-bok taysu tiba2 berkata: "Kita lekas sembunyikan diri!"

Mendengar seruan Thian-bok taysu, semua orang segera sembunyikan diri ke dalam semak2.

Siang-koan Kie pasang mata, dari jauh tampak beberapa ekor kuda lari ke arahnya, ia diam2 mengagumi ketajaman mata paderi tua itu.

Dua kacung merayap keluar dan berkata kepada Siang-koan Kie: "Bagaimana kalau kita berdua pergi menangkap salah satu diantara penunggang kuda itu?"
"Boleh sih boleh, tetapi harus hati2." menjawab Siang-koan Kie.

Dua kacung itu keluar dari tempat sembunyinya, mereka geser kakinya ke tempat yang agak jauh, supaya kalau serangannya tidak kena, tak akan diketahui tempat sembunyinya oleh musuh.

Tidak lama kemudian, empat atau lima penunggang kuda yang semuanya mengenakan pakaian warna hitam, sudah tiba di tempat sembunyi dua kacung itu.

Thio Hong memperhatikan keadaan penunggang kuda itu, lalu berkata kepada Lie Sin dengan suara pelahan: "Kita serang mereka dengan senjata dan tangan kosong dengan berbareng, tangan kiri untuk menotok jalan darah salah satu diantara lima orang itu, sedang pedang ditangan kanan kita gunakan untuk menikam orang lain. Mungkin, sekaligus kita bisa membereskan lima orang, ini."

Lie Sin menerima baik usul itu, dua2nya melesat tinggi, kemudian menyerang turun.

Pedang mereka ditujukan kesasarannya yang agak jauh, tangan kiri menotok jalan darah orang yang paling dekat.

Orang2 berbaju hitam itu adalah sebagian dari pengawal Kun-liong Ong, diantara mereka, ada juga yang berkepandaian tinggi sekali, tetapi karena sudah diberi makan obat melupakan dirinya sendiri oleh Kun-liong Ong, maka keadaannya sudah seperti linglung, dengan demikian gerakannya juga kurang gesit, reaksinya sangat lambat.

Serangan mendadak dua kacung itu berhasil baik, dua musuhnya yang diserang dengan pedang mati seketika, dua orang lagi tertotok jalan darah mereka, hanya seorang saja yang ingin melarikan diri.

Tetapi Thio Hong tidak memberikan kesempatan padanya untuk melarikan diri, dengan cepat sudah menyerang dengan pedangnya.

Orang itu juga menghunus pedangnya, hingga terjadilah suatu pertempuran dahsyat dengan Thio Hong.

Mendapat perlawanan gigih, Thio Hong agak cemas, karena itu berarti menunjukkan tempat sembunyinya sendiri. Thio Hong melakukan serangan lebih hebat, tetapi orang itu tetap melawan dengan gigih.

Siang-koan Kie yang menyaksikan itu lalu minta Thian-bok taysu dan lain2nya supaya tetap berdiam ditempat sembunyinya, ia hendak memberi bantuan pada Thio Hong.

Ia lompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil berseru: "Saudara Thio, minggirlah dulu, siaute hendak mengambil jiwanya."

Thio Hong lalu mundur setelah mendepak lawannya. Siang-koan Kie menyerbu dengan senjata pusakanya.

Orang itu menggunakan senjatanya untuk menangkis serangan Siang-koan Kie.

Senjata Siang-koan Kie adalah senjata pusaka yang luar biasa tajamnya, tidak ampun lagi orang itu lantas terpapas kutung bersama senjatanya.

Sementara itu terdengar pula suara terompet tadi, ternyata masih tetap dari atas pohon.

Siang-koan Kie lalu minta dua kacung membawa dua orang yang masih hidup, ke tempat sembunyinya Thian-bok taysu dan lain2nya, sedang ia sendiri hendak pergi menengok Kim Goan To.

Tanpa menantikan jawaban dua kacung, Siang-koan Kie sudah bergerak menuju keatas pohon.
Terpisah sejarak kira2 dua tiga tombak, tampak Kim Goan To datang menghampiri.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Siang-koan Kie pelahan.
"Serombongan pengawal baju hitam yang jumlahnya kira2 beberapa puluh orang, datang dengan menunggang kuda."
"Bagaimana dengan musuh yang berada di atas pohon?"
"Aku sudah totok jalan darahnya, aku sebetulnya hendak menanyakan dari mana suara terompet itu, tak disangka ia tidak mau memberi keterangan, bahkan sikapnya keras sekali, terpaksa kutotok jalan darah kematiannya."
"Dan suara terompet tadi siapa yang meniup?"
"Aku. Meskipun aku tidak tahu kode mereka, tetapi aku pikir hendak menghalau pikiran mereka, maka kutiup sekenanya, mungkin dapat mengacaukan pikiran mereka."
"Dan, bagaimana reaksi musuh?" tanya Siang-koan Kie sambil bersenyum.
"Sungguh tak disangka pengawal baju hitam itu setelah mendengar suara terompetku, nampaknya seperti bingung. Mereka berhenti dan berkumpul disatu tempat, agaknya sedang mengadakan perundingan."
"Mungkin mereka tidak mengenali tanda bunyi terompet, sehingga perlu mengadakan perundingan, selagi mereka dalam kebingungan, mari kita serbu."
"Aku tadi ketika berada di atas pohon besar itu telah melihat sebuah rimba bambu."
"Di mana?"
"Di sebelah timur, tetapi harus melalui pengawal baju hitam itu."

Irama Suling Menggemparkan Rimba PersilatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang