Bab 13

3K 46 0
                                    

Siang-koan Kie lari menghampiri, mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya ke kedua tangannya, memisah dua ekor orang hutan yang sedang bergumul itu.

Dua ekor orang hutan itu telah merasakan terdorong oleh semacam kekuatan yang amat dahsyat, masing-masing mundur dua langkah dan mengawasi Siang-koan Kie, kemudian ke-dua2nya perlahan-lahan jatuh roboh ditanah.

Kiranya dua orang hutan itu bergulat sudah sekian lamanya, masing-masing kehabisan tenaga, hanya karena satu sama lain tidak ada yang mau menyerah, sehingga bertahan mati2an, dalam keadaan demikian, terdorong oleh Siang-koan Kie yang menggunakan kekuatan tenaga dalam, sehingga seketika itu juga habislah tenaga mereka dan tidak mampu bertahan lebih lama lagi.

Kejadian itu merepotkan Siang-koan Kie, ia harus berusaha menolong dua ekor orang hutan yang sudah amat pajah itu, meskipun orang hutan itu mirip manusia, tetapi keadaan urat2 dan jalan darah agak berlainan dengan manusia, setelah repot hampir setengah harian, ia masih belum berhasil menyadarkan dua ekor orang hutan itu.

Terdorong oleh perasaan perikemanusian, sekalipun ia sendiri harus mengejar waktu untuk pulang keloteng kuil tua, tetapi ia tidak dapat membiarkan dua orang hutan itu tinggal dalam keadaan demikian. Maka ia terus berusaha sekuat tenaga, akhirnya dua ekor orang hutan itu perlahan-lahan bisa bangun tetapi setelah masing-masing bisa berdiri,

segera lari pulang masing-masing ketempatnya tanpa menengok kepada Siang-koan Kie lagi.

Dalam hati Siang-koan Kie merasa heran, apakah kedua ekor orang hutan itu harus bertarung sampai ada salah satu yang binasa?

Tertarik oleh perasaan ingin tahu, diam-diam ia mengikuti kemana larinya dua orang hutan itu.

Pada saat itu tanah pegunungan timbul kabut putih, semakin lama semakin tebal, kabut itu ternyata sudah membasahkan muka dan baju Siang-koan Kie, meskipun dalam hati Siang-koan Kie merasa heran takut, tetapi karena melihat dua ekor orang hutan itu yang lari ter-birit2 setelah roboh dalam keadaan pajah, membuat ia tiada berkesempatan untuk berpikir lagi, perasaan aneh yang ingin tahu membuat ia melupakan bahaya.

Tanah yang keadaannya mirip dengan baskom itu, luasnya hanya kira-kira dua bau saja, dua ekor orang hutan itu meskipun sudah luka parah dan tidak bisa lari cepat, tetapi dalam waktu sebentar saja sudah tiba ke satu sudut penghabisan, diantara kabut putih yang tebal, samar2 tampak lamping gunung yang berdiri menjulang ke langit.

Dalam keadaan tidak jelas bagi pandangan mata, telinga Siang-koan Kie tiba-tiba mendengar suara dua ekor orang hutan yang kecebur kedalam air, tatkala Siang-koan Kie mengawasi ke tempat itu ia hanya mendapatkan suatu pemandangan putih bagaikan asap mengepul ke atas, jikalau bukan karena dua ekor orang hutan itu ke cebur ke dalam air, sehingga membuyarkan kabut putih itu, Siang-koan Kie juga tidak dapat melihat bahwa dihadapannya itu adalah permukaan sungai, nampaknja kabut putih yang mengarungi tempat bagaikan baskom ini, timbul dari dalam air sungai itu.

Selagi otaknya masih memikirkan soal itu, dua ekor orang hutan itu sudah tertutup lagi sekujur badannya oleh kabut yang tebal itu, kalau bukan karena suara air yang terbit karena dibuat mandi oleh dua ekor orang hutan itu, ia tidak dapat menemukan dua ekor orang hutan tersebut.

Kabut sedemikian tebal, adalah pertama kali ini Siang-koan Kie menjumpainya, walaupun daya pandangan matanya cukup tajam, tetapi juga tidak berhasil menembusi kabut itu sampai sejarak tiga kaki.

Tanpa banyak berpikir lagi, Siang-koan Kie berjalan dengan tindakan lebar, sehingga dengan demkian ia juga kecebur ke dalam air sungai itu.

Berada dalam air, sekujur badannya terasa panas kiranya air sungai itu adalah yang mengeluarkan mata air panas.

Irama Suling Menggemparkan Rimba PersilatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang