90. Anak Yatim Luntang Lantung

936 27 1
                                    

"Orang sepertimu tidak akan bisa membalas dendam, malah hanya mengorbankan nyawamu sendiri!" seru Nona Gongsun.

Setelah dihina begitu perasaan tidak suka kepada Nona Gongsun jadi bertambah tapi Ruan-wei tetap berusaha menahan diri dan berkata:

"Ruan-wei bisa mengurus diri sendiri, silah-kan Nona jalan sendiri."

Setelah berkata seperti itu dia berlari kembali ke tempat Gongzi Shi-san-tai-bao.

Lampu sudah dipadamkan, bayangan Gongzi Shi-san-tai-bao sudah tidak terlihat, yang ada hanya rumah kosong.

Ruan-wei mengeluh karena musuhnya sudah pergi tapi dia juga tidak bisa menyalahkan Nona Gongsun karena Ruan-wei adalah orang yang tahu aturan. Ketika itu hatinya penuh api dendam maka sikapnya menjadi tidak sopan kepada Nona Gongsun.

Di bagian timur mulai terang, Ruan-wei teringat pada lukanya Paman Zhang juga mayat ibunya yang belum dikubur, dia segera berlari kembali ke kuil Ling-feng.

Sesampainya di kuil Ling-feng, hari sudah terang. Angin bulan 9 mulai terasa dingin tapi di pagi begitu sepi malah menambah keindahan bumi ini.

Dengan berat hati Ruan-wei naik ke gunung. Di benaknya selalu teringat sewaktu ibunya terluka dan meninggal maka dia pun mempercepat langkah kakinya.

Sesampainya di kuil Ling-feng disana tidak ada siapa pun, mayat seorang perempuan bopeng pun tidak ada, tanah yang penuh dengan darah juga telah dibersihkan.

TANG... ! Lonceng kuil berbunyi. Sekarang adalah waktu membaca kitab suci untuk orang-orang kuil. Di depan ada seorang biksu kecil, kedua tangannya terrangkap menjadi satu. Dia berkata:

"Guru ada di kamarnya, beliau sedang beristirahat!"

Ruan-wei mengangguk, dia segera pergi ke kamar Paman Zhuang. Chi-mei-da-xian perlahan membuka matanya, dengan suara serak berkata:

"Kau sudah datang Wei-er, mayat ibumu sudah dimasukkan ke dalam peti, sekarang berada di belakang kuil!"

"Paman, Anda... luka Anda.. " kata Ruan-wei

Chi-mei-da-xian tersenyum:
"Tidak apa, pukulan Shen Long Zhang tidak mengenai nadi pentingku jadi aku masih bisa bertahan. Untuk kedua kalinya Tetua Xu menolongku, jika bukan karena beliau ada di bawah gunung aku pasti sudah dicincang oleh Gongzi Shi-san-tai-bao."
"Dimana Yun-yun?" tanya Ruan-wei.
Chi-mei-da-xian tertawa:
"Nasib Yun-yun sangat bagus, pendekar tua membawanya pergi. Dari surat yang ditulis pendekar tua itu, aku tahu kalau dia akan mene-rima Yun-yun menjadi muridnya dan 5 tahun kemudian Yun-yun akan bisa membalaskan dendam ibunya."
"Wei-er ingin berkelana di dunia persilatan untuk mencari orang yang membunuh ibu dan... Wei-er ingin mencari ayah kandungku."
Chi-mei-da-xian terkejut, berkata:
"Apakah Ruan Da-cheng bukan ayah kandungmu?"
"Kata ibu aku sebenarnya bermarga Lu, tapi ibu tidak memberitahuku siapa ayahku!" Chi-mei-da-xian menarik nafas:
"Dunia begitu luas, kau akan mencari kemana?" Pelan-pelan Ruan-wei berkata:
"Aku tidak bisa menjaga peti mati ibu, biarlah menunggu ayah pulang baru membereskan jenasah ibu."
"Tenanglah, aku akan menyuruh orang untuk mengurusnya. Tapi kau seorang diri berkelana di dunia persilatan, aku khawatir padamu."
"Wei-er percaya asalkan kita mempunyai niat, di dunia ini tidak ada yang tidak bisa dilakukan.
Aku pasti akan berhati-hati, kecuali mencari ayah kandung dan membalaskan dendam ibu, aku
tidak akan membuat masalah dengan siapa pun. Hanya saja tubuh Paman "
"Kau tidak perlu khawatir padaku!" Dari balik baju dadanya dia mengeluarkan sebuah plakat, terbuat dari perak, di atas plakat terukir 8 huruf: yang memaksa pasti gagal, yang adil pasti sukses! Di sekelilingnya terukir Mei-hua. Chi-mei-da-xian dengan senang berkata: "Aku tidak sangka ternyata Tetua Xu-bai masuk menjadi anggota Zheng-yi-bang. Pendekar tua itu meninggalkan surat berikut plakat, berarti Zheng-yi-bang sudah ikut campur untuk masalah ini. Walaupun Gongzi Shi-san-tai-bao sangat berani tapi mereka akan berpikir untuk melawan Zheng-yi bang."
"Apakah Zheng-yi-bang begitu hebat?" tanya Ruan-wei. Dengan senang Chi-mei-da-xian menjawab:
"Di dunia persilatan ini, di timur ada Wan-sheng-dao, Huang Zheng-guo, dia seorang pelatih silat, dia mempunyai banyak murid. Di selatan ada Ba-gua-zhang Fan Chong-pin, masih ada Mei-hua-jian, Du Chang-qin dan Huo-shen-ye Yao Qing-yu, dan banyak lagi yang lainnya."
Setelah menyebutkan beberapa nama orang terkenal, dia seperti kelelahan dan berhenti sejenak lalu dia menyambung lagi:
"Mereka semua adalah pendekar terkenal tapi dibandingkan dengan Zheng-yi-bang, mereka berbeda."
"Bagaimana pengaruh Zheng-yi-bang terhadap dunia persilatan?" tanya Ruan-wei.
"Semenjak Zheng-yi-bang berdiri 10 tahun lalu, mereka telah melakukan banyak hal untuk dunia persilatan. Tapi ada Zheng-yi-bang juga ada Tian-zheng-jiao, mereka berseberangan maka banyak pendekar Zheng-yi-bang yang mati di tangan Tian-zheng-jiao."
Dia berhenti sebentar lalu berpesan:
"Wei-er, jika kau berkelana di dunia persilatan, kau harus menghormati orang-orang Zheng-yi-bang dan jangan membuat masalah dengan orang-orang Tian-zheng-jiao, kau harus ingat pesanku!"
Lalu Ruan-wei pamit pada Paman Zhang dan membawa barang bawaan yang sangat ringan. Dia tetap berpakaian tipis berwarna putih lalu meninggalkan daerah Xi-hu.
Hari ini dia tiba di Kabupaten Jia-xing. Di jalan di kota Jia-xing, di bawah langit yang gelap, seperti akan hujan tapi tidak hujan, udara seperti ini siapa pun tidak merasa tenang.
Ruan-wei membawa uang cukup. Semua uang itu adalah pemberian Chi-mci d.i-xian. Dia menginap di sebuah penginapan besar.
Walaupun Ruan-wei baru berusia 14 taun, tapi tubuhnya sangat tinggi dan besar, tampak seperti sudah berusia 16-17 tahun. Pelayan penginapan menganggapnya sebagai orang dewasa dan mengira kalau dia seorang pelajar.
Ruan-wei senang membaca buku maka dalam barang bawaannya berisi banyak buku. Begitu dia berada di dalam kamarnya, dia mulai membaca.
Di luar sedang hujan gerimis, Ruan-wei tidak mau keluar dari kamarnya, maka dia bersiap-siap memikirkan tempat yang akan dituju esok hari.
Pelayan mengantarkan makan malam. Melihat Ruan-wei sedang membaca, dia bertanya:
"Apakah Tuan akan pergi ke ibukota untuk mengikuti ujian?"
"Oh, tidak! Tidak!" jawab Ruan-wei.
Dengan aneh pelayan itu bertanya lagi:
"Tuan begitu tampan mengapa tidak mengikuti ujian musim gugur di ibukota?" Ruan-wei menggelengkan kepala, bertanya:
"Apakah di kota Jia-xing ini ada orang dunia persilatan yang terkenal?"
Pelayan itu bertambah aneh mengapa seorang pelajar malah menanyakan orang dunia persilatan, maka dengan sungkan dia menjawab:
"Di kota Jia-xing yang ilmu silatnya terkenal adalah Pendekar Huang Zhen-guo. Murid-nya di kota Jia-xing sangat banyak. Jika Tuan ingin belajar ilmu silat untuk menjaga diri sangat cocok menjadikan Huang Zhen-guo sebagai guru!"
'Paman juga pernah menceritakan orang ini, dia banyak murid berarti dia sangat mengenal dunia persilatan. Lebih baik besok aku pergi ke tempatnya untuk mencari tahu,' pikir Ruan-wei. Ruan-wei memberikan tip kepada pelayan, karena senang pelayan jadi menawarkan diri: "Apakah Tuan ingin diantar? Aku bisa mengatarkan Tuan!"
Melihat Ruan-wei begitu murah hati, dia jadi ingin mendapatkan uang lebih banyak tapi Ruan-wei menolak dan menjawab: "Aku akan mencarinya sendiri."
Hari kedua pagi, setelah berlatih, Ruan-wei segera mencari tempat latihan guru Huang Zhen-guo.
Meskipun Huang Zhen-guo hanya seorang pelatih silat tapi hidupnya sangat mewah. Di depan pintu utama yang berwarna hitam tampak ada dua orang berdandan pelayan sedang berjaga. Setelah mendekati mereka, Ruan-wei dengan suara kecil bertanya: "Apakah pahlawan tua Huang Zhen-guo tinggal di sini." Dengan sorot mata tidak bersahabat, pelayan yang pendek menjawab: "Betul, ini tempat tinggal Pendekar Huang!" Dengan rendah hati Ruan-wei bertanya lagi: "Apakah aku bisa bertemu dengan Pendekar Huang?" Pelayan pendek itu dengan nada tidak sabar menjawab:
"Jika ingin mengunjungi Pendekar Huang mengapa kau begitu tidak tahu aturan?" "Aturan apa?" Tanya Ruan-wei terkejut.
"Kalau ingin menjadi murid Pendekar Huang masa pada kunjungan pertama tidak membawa hadiah atau lainnya, kalau tidak membawa apa-apa, boleh... asalkan kau bisa mengangkat gembok batu sebelah sana, kau boleh bertemu dengan Pendekar Huang!"
Ruan-wei melihat di sisi pintu masing-masing ada gembok setinggi 1.50 meter terbuat dari batu. Gembok itu penuh dengan lumut, kelihatannya sudah lama tidak dibersihkan atau digeser.
Ruan-wei tertawa:
"Maksud kedatanganku kemari bukan untuk menjadi murid Pendekar Huang tapi aku ingin bertanya sesuatu pada beliau."
Pelayan yang pendek tampak lebih marah lagi:
"Apalagi kalau ingin minta tolong pada Pendekar Huang, lebih-lebih diharuskan membawa
hadiah."
Karena Ruan-wei datang tergesa-gesa, dia tidak tahu ada aturan seperti itu, maka dia hanya bisa menjawab:
"Ini... ini "
Pelayan yang pendek itu melihat gembok bat u dan tertawa dingin: "Jika kau tidak sanggup menggeser gembok itu, belilah dulu hadiah untuk Pendekar Huang, baru kembali ke sini."
Pelayan melihat Ruan-wei masih muda, apalagi seperti pelajar, dia merasa yakin Ruan wei tidak akan bisa menggeser gembok batu itu. Apalagi udara begini dingin, dia hanya mengenakan baju tipis, pasti dia hanya pelajar miskin dan dat.inj-, kesana hanya untuk meminta uang kepada majikannya maka nada bicaranya sangat sombong.
Ruan-wei tidak menyangka pendekar yajij begitu terkenal hanya seorang kerdil yang begitu licik. Tapi Ruan-wei juga berpikir mungkin ini hany. i kesombongan penjaga pintu maka dia tetap tersenyum dan berkata:
"Aku hanya ingin menanyakan satu hal kepada Pendekar Huang, aku lupa membawa hadiah, apakah aku boleh kembali nanti?"
Pelayan pendek itu tertawa terbahak-bahak. Dengan nada menghina dia berkata:
"Jika semua orang seperti Tuan, apakah tuanku akan memberitahukan begitu saja?"
Sejak kecil Ruan-wei memang banyak membaca buku tapi dia seorang pemuda, tentu saja lama-lama dia tidak bisa menahan diri. Dalam hati dia berpikir, 'Dari mana datangnya aturan meminta hadiah seperti ini?' Maka dia pun marah. Dengan tenang dia lalu berjalan ke gembok batu itu, sedikit membungkukkan tubuh, dia berhasil mengangkat gembok batu itu.
Ratusan kilogram gembok berhasil diangkat Ruan-wei kemudian pelan-pelan diletakkan kembali ke tempatnya lalu dia berjalan ke arah penjaga pintu:
"Apakah aku sudah boleh bertemu dengan Pendekar Huang?" Penjaga itu segera menjawab: "Boleh, boleh, silakan, silakan!"
Ruan-wei tidak suka dengan orang kerdil sepertiitu maka tanpa sungkan lagi dia pun masuk.
Kedua penjaga itu saling berpandangan dan tidak bisa mengatakan apa-apa.
Ternyata setiap tamu yang ingin bertemu dengan Huang Zhen-guo, tahu kalau Huang Zhen-guo orang yang rakus dengan hadiah maka semua orang selalu membawakan hadiah untuk minta bertemu dengannya dan tidak ada seorang pun yang bisa dan berani mengangkat gembok batu
itu.
Sesudah berjalan di jalan yang terbuat dari batu lalu berbelok. Terlihat ada sebuah tanah lapang seluas 100 meter persegi. Cuma tampaknya akan hujan tapi masih banyak laki-laki yang sedang berlatih silat, tubuh atasnya tidak memakai baju.
Di sisi lapang ada sebuah rumah besar. Ruan-wei berjalan menuju ke sana. Orang-orang yang berlatih silat di lapangan melihatnya masuk, tapi tidak ada seorang pun yang menyapanya. Mereka mengira Ruan-wei datang untuk berlatih silat.
Begitu memasuki rumah itu ada sebuah ruangan besar, ruangan itu dilapisi dengan permadani tebal. Di sekelilingnya ditempeli kertas putih berhuruf hitam. Ternyata kertas itu berisi tulisan tentang jurus-jurus ilmu silat. Di sana ada beberapa pasang pemuda sedang berlatih silat dengan senjata golok.
Di ruangan hanya ada satu jalan masuk mungkin di sana tempat tinggal Wan-sheng-dao Huang Zhen-guo.
Ruan-wei berdiri di depan, segera seorang pemuda yang membawa golok datang menghampirinya dengan nada galak bertanya: "Kau mencari siapa?"
Sebenarnya ketika Ruan-wei datang dia berniat akan bersikap sopan tapi karena tadi di depan pintu dia telah dicegat dengan tidak sopan maka dia pun menaruh sikap tidak hormat. Apalagi orang yang bicara dengannya sekarang, wajahnya penuh dengan hawa membunuh maka dia pun mulai marah, jawabnya:
"Aku ingin bertemu Huang Zhen-guo!"
Tiba-tiba ada yang melintas di dekat Ruan-wei, dia berbisik kepada orang itu. Ternyata orang ini adalah salah satu penjaga yang tubuhnya agak tinggi.
Sesudah mendengar bisikan orang itu, wajahnya segera berubah. Sambil tertawa dia bertanya:
"Umur Tuan masih begitu muda, tapi sudah mempunyai tenaga begitu besar, ada keperluan apa mencari guruku?"
Mendengar dia jadi bertanya dengan sopan, Ruan-wei dengan senyum menjawab:
"Aku mencari Pendekar Huang, ada sedikit hal yang ingin kutanyakan pada beliau."
Dari dalam keluar seorang pak tua yang tinggi dan besar, dia tertawa terbahak-bahak:
"Siapa yang mencariku?"
Nada bicaranya sangat sombong.
Pemuda ini segera mendekatinya lalu berbisik kepada pak tua ini. Mata pak tua itu melihat Ruan-wei kemudian tertawa lagi:
"Masih muda tapi sudah mempunyai ilmu tinggi, benar-benar hebat. Teman kecil, ada apa mencariku?"
Ruan-wei sudah tidak suka kepada Wan-sheng-dao, tapi dia tetap dengan sopan menjawab: "Sudah lama aku mendengar nama besar pahlawan tua dan mengetahui tuan memiliki banyak murid, aku bisa bertemu dengan Tuan benar-benar sangat beruntung."
"Apakah betul sahabat kecil ini mempunyai dendam dengan Gongzi Shi-san-tai-bao?" Ruan-wei tidak menaruh curiga, dia segera menjawab:
"Betul! Memang aku mempunyai dendam yang dalam pada Gongzi Shi-san-tai-bao!" "Apakah hanya karena bisa mengangkat gembok batu jadi bisa mengalahkan Gongzi Shi-san-tai-bao, hmm...kemampuanmu masih jauh."
"Apakah kau tahu ilmu golok Sun-xiao-tian? Dia belajar padaku." Sun xiao-tian adalah salah dari Gongzi Shi-san-tai-bao.
Sebenarnya ilmu golok Sun-xiao-tian, orang yang paling kecil dari Gongzi Shi-san-tai-bao, bukan belajar dari Huang Zhen-guo. Hanya saja ketika Sun-xiao-tian masih remaja dia pernah belajar di tempat Huang Zhen-guo. Dia bisa terkenal di dunia persilatan karena dia belajar kepada seorang pesilat aneh. Huang Zhen-guo dengan muka tebal mengaku-ngaku bahwa dia adalah guru Sun-xiao-tian, sebenarnya ini hanya untuk memasang namanya saja.
Sebenarnya Huang Zhen-guo bisa terkenal, alasan pertamanya karena kulit mukanya tebal. Kedua, muridnya sangat banyak, padahal ilmu silatnya tidak seberapa.
Begitu Ruan-wei tahu, salah seorang Gongzi Shi-san-tai-bao adalah murid Huang Zhen-guo, maka dia segera membalikkan tubuh dan pergi dari sana.
Huang Zhen-guo dengan dingin berkata: "Apakah sahabat kecil akan pergi begitu saja?"
Ruan-wei masih terus berjalan, begitu keluar dari ruangan, dia merasa di belakangnya ada angin kencang menyerang. Maka dengan jurus An-ying-fu-xiang' dia menghindari serangan dari belakang itu.
Pemuda yang menyerang itu tidak melihat cara Ruan-wei menghindar, lalu dia menusuk lagi dari samping. Perlu diketahui, serangan golok biasanya menyabet dulu lalu menusuk tapi pemuda ini melakukannya dengan cara menusuk dulu kemudian diubah menjadi menyabet agar Ruan-wei tidak bisa kabur.
Ruan-wei tidak menyukai pemuda ini, karena dia diam-diam menyerang Ruan-wei dari belakang. Melihat lawan menusuk dengan tenaga lemah, walaupun dia tidak bisa ilmu silat tapi dia mengambil kesempatan ini bersiap-siap memukul wajahnya.
Golok yang ditusukkan lalu ditarik kembali, terdengar BUG... , wajahnya terkena pukulan Ruan-wei. Tenaga yang dikeluarkan Ruan-wei tidak terlalu besar tapi membuat wajah pemuda itu berlumuran darah. Dia jatuh terduduk, goloknya pun terjatuh di samping tubuhnya.
Huang Zhen-guo tidak menyangka muridnya begitu tidak berguna, hanya satu jurus saja sudah dikalahkan oleh orang lain. Jurus-jurus yang digunakan Ruan-wei tampak sangat aneh. Dia sendiri merasa dia belum tentu bisa mengalahkan anak muda ini. Murid-muridnya memang banyak tapi mereka tetap seperti gentong nasi, belajar ilmu silat hanya 1-2 juru s umum. Maka tidak ada seorang pun yang berani mende-kati dan menyerang Ruan-wei.
Wajah Huang Zhen-guo menjadi merah, dia ingin menutupi kekalahan ini.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat, di sisi Huang Zhen-guo berdiri seorang gadis berusia sekitar 15 tahun memakai baju dan celana berwarna kuning.
Gadis itu menarik tangan Huang Zhen-guo dan bertanya:
"Kakek, apa yang terjadi?"
Melihat cucunya datang, Huang Zhen-guo sangat senang karena sejak berusia 6 tahun, dia sudah dikirim oleh ayahnya ke guru Lei yin di E-mei-shan, untuk menjadi muridnya. Setiap tahun hanya pulang satu kali, sekarang sudah tahun kesembilan. Huang Zhen-guo yang tidak enak harus bertarung dengan Ruan-wei, begitu cucunya datang, dia ingin cucunya yang bertarung untuk merebut kembali gengsinya yang sudah hilang. Sengaja Huang Zhen-guo berkata: "Bocah ini telah melukai paman gurumu." Sejak kecil Huang Xiao-ying belajar ilmu silat di gunung, sifatnya sangat keras. Dia membentak kepada Ruan-wei:
"Hei, kenapa kau melukai paman guruku?"
Melihat lawannya adalah seorang anak perempuan, Ruan-wei malas meladeninya maka dia pun segera membalikkan tubuh dan berniat pergi. Huang Xiao-ying kembali membentak: "Berhenti!" Kemudian dia melempar sesuatu ke arah Ruan-wei.
Ruan-wei melihat ada benda yang dilempar ke arahnya, dia mengira itu adalah senjata rahasia. Maka Jurus 'An-ying-fu-xiang' segera dikeluarkan menghindar. Senjata rahasia itu pun terjatuh, begitu dilihat ternyata hanya sebuah gelang tangan.
Dalam hati Huang Xiao-ying berpikir, 'Jurus apa tadi?' Dia segera menyerang mengikuti gelang tangan yang dilemparnya. Ruan-wei tetap menghindar dengan cara tadi.
Tapi Huang Xiao-ying gadis yang pintar, serangan tangan segera diganti dengan tendangan. Ruan-wei yang sedang berusaha menghindar terkena tendangan kaki Huang Xiao-ying.
Ruan-wei tidak bisa ilmu silat, dia tidak bisa lolos dari tendangan Huang Xiao-ying. Pinggang yang tertendang terasa sakit dan dia jatuh terguling-guling. Ruan-wei tertendang dan jatuh terduduk di bawah.
Huang Zhen-guo tertawa terbahak-bahak: "Teman kecil, cucuku saja tidak sanggup kau lawan, masih ingin membalas dendam. Sekalipun kau mempunyai 10 nyawa, itu pun tidak akan cukup."
Terdengar suara petir berbunyi, kemudian turun hujan sangat besar. Huang Zhen-guo dan lain-lain sudah masuk ke ruangan, hanya tinggal Ruan-wei duduk seperti patung di bawah siraman air hujan.
Tubuh Ruan-wei sudah basah kuyup, rambutnya juga basah. Dia terus berkata:
"Dengan cara apa aku bisa membalas dendam, dengan cara apa aku bisa membalas
dendam "
Huang Zhen-guo sudah berpesan kepada pemuda yang telah dipukul Ruan-wei tadi: "Usir bocah tengik itu!"
Karena merasa dendam, pemuda itu segera memanggil kedua temannya, mereka siap mengusir Ruan-wei.
Ruan-wei seperti tidak melihat kedatangan mereka. Dia hanya membuka kedua matanya yang besar. Dari pandangan matanya tampak dia sedang kecewa juga sedih. Tiba-tiba Huang Xiao-ying berteriak:
"Sudahlah, biarkan dia pergi sendiri." kemudian balik berkata kepada Huang Zhen-guo, "kakek, biarkan dia pergi sendiri, dia sudah kutendang sampai terluka."
Huang Zhen-guo sangat menyayangi cucunya ini apalagi dalam satu tahun baru bisa berkumpul sekali. Dia tidak ingin mengecewakan cucunya maka dia membentak Ruan-wei:
"Pergi, cepat! Apakah kau masih ingin dipukul lagi?"
Ruan-wei melihat HuangXiao ying kemudian berusaha bangun. Dengan terhuyung huyung dia meninggalkan lapangan itu.
Sampai sosok Ruan-wei menghilang, Huang Xiao-ying tetap tenggelam dalam lamunannya. Ruan-wei meninggalkan tempat itu, apakah itu dia harus berterima kasih atau membenci, mungkin semuanya telah bercampur menjadi satu.
Salju baru turun, tidak begitu lebat. Pejalan kaki tidak sebanyak musim kemarau. Orang yang berjalan mulai memakai baju tebal dan berat.
Ruan-wei menunggang kuda, di dalam hatinya seperti ada ribuan kuda yang sedang berlari, 'Aku harus belajar ilmu silat tinggi tapi di mana aku bisa mencari guru untuk belajar silat?'
Setelah keluar dari rumah Huang Zhen-guo, dia membeli seekor kuda dan membiarkan kuda membawa berlari entah kemana. Tujuannya hanya satu yaitu bertemu dengan seorang pesilat hebat untuk dijadikan guru.
"Permisi, permisi!" Di belakang terdengar ada yang berteriak, kemudian seekor kuda melintas di depannya.
Ruan-wei menghindar ke pinggir kemudian tetap dengan tidak bersemangat dia menghela kudanya, kuda yang berlari cepat itu kembali lagi ke sisi Ruan-wei, kemudian berhenti, nafas kudanya terengah-engah. Tapi orang yang ada di atas kuda dengan tenang bertanya:
"Saudara kecil, kau mau ke mana?" Ruan-wei melihat orang yang menunggang kuda itu adalah seorang laki-laki sekitar 30 tahun lebih, wajahnya tampan dan sikapnya kuat, dia berpakaian sutra berwarna abu, punggungnya tegak lurus, dia tampak sangat tenang. Ruan-wei merasa aneh dengan kedatangan orang ini. Dia menggelengkan kepala, berarti entah mau ke mana, dia sendiri pun tidak jelas.
Penunggang kuda ini pelan-pelan berjalan beriringan dengan Ruan-wei dan bertanya: "Saudara kecil, kau bermarga apa?" "Aku bermarga Ruan."
Penunggang kuda itu seperti sangat kecewa terhadap sikap pemuda yang begitu acuh kepadanya. Dia merasa aneh karena orang yang di depannya lebih acuh dibandingkan dirinya sendiri. Sebenarnya Ruan-wei sedang berpikir harus pergi ke mana untuk mencari guru belajar ilmu silat, dia tidak merasa aneh jika adaorangyang menanya-kan marganya.
Penunggang kuda ini bicara sendiri: "Aku lihat kau seperti temanku!" Tapi dia juga menertawakan dia sendiri, "di dunia ini orang yang mirip sangat banyak, kenapa aku harus merasa
aneh?"
Dia tersenyum dan berkata lagi:
"Saudara kecil, aku lihat wajahmu penuh dengan rasa khawatir, apayang telah kau alami?"
Karena Ruan-wei sedang berpikir untuk mencari guru silat, maka dia segera menjawab: "Aku ingin mencari guru silat tapi ke mana aku harus mencarinya?"
Karena masalah ini sudah dipikirkan sejak lama maka dia mengungkapkannya dengan sangat alami. Dia seperti mengungkapkan masalah yang sulit dipecahkan.
"Di depan ada seorang guru terkenal, mengapa kau tidak meminta menjadi gurumu?"
"Siapa dia dan tinggal di mana?"
Penunggang kuda itu tertawa:
"Orang ini Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin!"
"Fan Zhong-pin! Fan Zhong pin!" Tiba-tiba Ruan-wei teringat nama ini karena Paman Zhuang pernah bercerita tentang orang ini.
"Apakah dia seperti Huang Zhen-guo? Jika benar lebih baik aku tidak usah pergi ke sana." Kata penunggang kuda itu:
"Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin sangat terkenal di dunia persilatan. Saudara kecil, kalau kau mencarinya pasti tidak salah!"
Setelah bicara seperti itu, dia melarikan lagi kudanya. Lengan baju bagian kanannya beterbangan. Ruan-wei tidak menyangka, orang yang begitu sehat ternyata hanya mempunyai sebelah tangan.
Ruan-wei berpikir, 'Kelihatannya orang itu pun seorang pesilat. Guru yang dikaguminya pasti bukan orang sembarangan.'
Karena itu Ruan-wei sudah menentukan pilihannya, dia berangkat ke kota Qi-men. Di sebelah selatan kota Qi-men ada sebuah rumah besar, karena semalam hujan salju maka sekarang pekarangan tertutup oleh salju putih.
Pintu rumah terbuka, keluarlah seorang pelayan tua, rambutnya putih seperti salju. Dia melihat ke sekeliling, di bawah pohon cemara duduk seorang pemuda berbaju putih.
Pak tua itu bicara sendiri, 'Anak muda yang tidak bisa menjaga tubuh, mengapa hari masih begitu pagi kau sudah ada di sini?'
Begitu mendengar suara pintu dibuka, pemuda itu membuka matanya, dia berdiri untuk melemaskan kakinya yang kaku juga membersihkan salju yang menempel di bajunya. Pelan-pelan dia berjalan ke arah pelayan tua yang sedang menyapu salju.
Sambil membungkukkan tubuh dia memberi hormat dan bertanya:
"Paman, apakah Tetua Fan sudah pulang?" Pak tua itu menggelengkan kepala dan dia menyapu lagi. Remaja berpakaian putih itu tidak banyak berbicara, dia kembali lagi ke tempatnya. Karena tidak tega pelayan itu bertanya:
"Tuan kecil, setiap hari kau datang ke sini menanyakan Pendekar Fan, dan sudah berlangsung selama setengah bulan, apakah kau tidak merasa bosan?"
Remaja berpakaian putih itu sambil tersenyum menggelengkan kepala.
Pelayan tua itu menarik nafas dan berkata: "Entah kapan tuan besar baru pulang, besok jangan datang lagi, udara begitu dingin nanti kau akan sakit."
Dengan penuh berterima kasih remaja ini berulang kali mengucapkan, "Terima kasih." dan dia pun meninggalkan tempat itu.
Pelayan tua itu sungguh tidak mengerti mengapa remaja ini begitu bersikukuh harus berguru kepada tuan besarnya. Sesudah mendapatkan ilmu silat lalu apa gunanya?
Hari kedua pagi, salju turun lebih lebat. Pintu pekarangan rumah dibuka lebih awal setengah jam dari hari biasa. Begitu pelayan itu menoleh, remaja berpakaian putih sudah duduk bersila menunggu di bawah pohon.
Tampak pak tua itu sedikit tidak tenang, tapi dia pura-pura seperti tidak terjadi sesuatu. Dia masih menyapu salju. Dengan hormat remaja itu mendekatinya dan bertanya:
"Paman, apakah Tetua Fan sudah pulang?"
Pak tua itu akhirnya tertawa:
"Kemarin malam beliau sudah puking."
Dengan senang Ruan-wei berkata:
"Apakah Paman bisa memberi tahu kepada beliau kalau Ruan-wei ingin bertemu dengannya?" Pelayan tua itu menggelengkan kepala:
"Tuan besar kemarin malam hai u pulang, tapi segera pergi lagi."
Ruan-wei terlihat kecewa. Pelayan tua itu tertawa:
"Tapi aku sudah menceritakan kepada beliau kalau setiap pagi kau datang ke sini untuk mencarinya. Sepertinya tuan besar terpengaruh dengan ceritaku, beliau mengatakan akan menerimamu menjadi muridnya."
Rvian-wei benar-benar merasa senang, dia ingin memeluk pelayan tua ini.
Kemudian dari balik pintu keluar pelayan itu mengeluarkan setumpuk hadiah yang terikat rapi dan berkata:
"Kata tuan besar beliau akan menerimamu menjadi murid, tapi dia tidak mau menerima hadiah-hadiah ini, kau harus membawa kembali."
Dengan malu-malu Ruan-wei menerima kembali hadiah-hadiah itu tapi dalam hati dia memuji, 'Ini baru benar-benar sikap seorang pendekar, dia tidak mau menerima hadiahku sedikit pun!'
Pelayan tua itu berpesan lagi:
"Tuan besar setuju menjadikanmu sebagai muridnya tapi ada satu hal yang harus kau lakukan." Dengan serius Ruan-wei bertanya: "Tetua berpesan apa, aku yang muda akan sekuat tenaga melakukannya."
Pelayan tua itu tampak agak khawatir: "Aku rasa hal ini bukan hal yang mudah!" Dia membawa Ruan-wei masuk ke pekarangan, di depan rumah sekitar 3 meter dari sana ada sebuah tiang setinggi satu orang dewasa dan lebarnya satu pelukan orang dewasa.
Pelayan tua itu menunjuk tiang batu itu dan berkata:
"Kata tuan besar jika kau ingin belajar ilmu silat darinya, pertama-tama kau harus sanggup mencabut tiang batu ini, kalau tidak beliau tidak mau menerimamu menjadi muridnya." Dengan diam Ruan-wei mencoba-coba memeluk tiang batu itu dan mencabutnya. Tapi tiang batu itu seperti berakar, sedikit pun tidak bergeming.
Dia mundur dan jatuh terduduk di bawah kemudian dia pun duduk bersila untuk mengatur nafas, setelah merasa tubuhnya kembali segar, dia maju lagi mencoba mencabut tiang batu itu. Kali ini dia tidak mencabut tiang batu melainkan menggoyang-goyangkannya.
Salju di atas tiang batu sudah meleleh menjadi air dan salju yang turun menempel memenuhi tubuhnya, kemudian meleleh menjadi air membasahi bajunya. Tapi tiang batu itu tetap berdiri dengan kokoh seperti semula.
Melihat Ruan-wei begitu lelah, pelayan tua itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Tidak lama kemudian Ruan-wei duduk di bawah karena dia merasa terlalu lelah.
Begitu jatuh dia segera duduk bersila untuk mengatur nafas. Sesudah tubuhnya kembali segar, dia berdiri untuk memeluk tiang batu itu, berusaha menggoyangkan tiang batu itu agar bisa dicabut.
Dengan cara seperti itu dia terus melakukannya sampai tiga kali tapi tetap tidak berhasil. Dengan penuh air mata Ruan-wei menurunkan lengan bajunya dan pelan-pelan berjalan keluar.
Ketika pelayan tua itu datang membawakan teh panas dan kue-kue, tapi Ruan-wei sudah pergi entah ke mana. Setengah bulan sudah berlalu, udara semakin dingin. Ruan-wei hanya mengenakan baju tipis. Setiap pagi dia datang untuk mencabut tiang batu sampai lelah kemu dian baru meninggalkan tempat itu.
Setiap hari Ruan-wei hanya menemukan pelayan tua itu. Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin belum pernah terlihat. Dia juga malas menanyakan apakah Ba-gua-zhang sudah pulang atau belum, dia tetap berusaha mencabut tiang batu itu.
Hari ini, pagi-pagi Ruan-wei sudah berada di pekarangan. Dia merasa kelelahan selama 10 hari lebih ini berusaha mencabut tiang itu, hal ini membuat jantungnya seperti tertekan dan merasa tidak nyaman.
Dia juga tidak mengatur nafas lagi. Begitu tiba di depan tiang batu, dia membuka baju dan memeluk tiang itu menggunakan tenaga dalam yang sudah dilatihnya selama 7 tahun. Dia membentak:
"Lepas!"
Tiba-tiba dia merasa tenggorokannya gatal dan tidak tahan, baru saja dia membuka mulutnya darah sudah menyembur keluar membuat tiang batu penuh dengan darah. Tubuh Ruan-wei jadi lemas, dia jatuh terduduk dan air mata terus mengalir. Dia benar-benar sedih, darah masih terus keluar dari mulutnya.
Dalam hati dia berpikir, seumur hidupnya, dia tidak akan bisa mencabut tiang ini maka dia mengambil bajunya kembali, berusaha berdiri dan melangkah keluar. Tiba-tiba dari samping terdengar suara lembut:
"Jangan banyak bergerak!" Dia merasa ada telapak tangan yang menekan punggungnya. Tangan itu keluar hawa panas. Ruan-wei segera duduk dan mengatur nafas agar aliran panas ini bisa menyatu dengan nafasnya.
Kira-kira 20 menit kemudian, Ruan-wei mulai bisa mengambil nafas dengan lancar.
Telapak di punggungnya sudah diangkat. Ruan-wei bersujud:
"Terima kasih, Tetua sudah menolongku, membuat Ruan-wei tidak kehilangan tenaga dalam yang sudah dilatih selama 7 tahun."
Di depan Ruan-wei duduk seorang pendekar tua, alis dan janggutnya sudah memutih, dahinya berkeringat. Sambil tertawa dia berkata:
"Bangun! Bangunlah!"
Ruan-wei menuruti perintahnya dan berdiri. Pendekar tua itu menunjuk tiang batu:
"Benda itu terkubur 3 meter lebih, jika tidak mempunyai tenaga dalam 30 tahun, jangan harap bisa mengangkatnya. Setiap hari kau berusaha mencabutnya, hari ini tiang batu itu bergoyang. Umurmu masih muda tapi tenaga dalammu sudah tinggi, itu sangat sulit didapat."
Ruan-wei merasa senang sekali tapi pendekar tua itu berkata:
"Tapi aku tetap tidak bisa menerimamu menjadi muridku."
Pelan-pelan pendekar tua itu berdiri. Ketika bicara tadi, tenaganya sudah pulih. Dengan senang dia berkata:
"Kau punya semangat pantang menyerah, aku sungguh kagum. 11 tahun yang lalu di Zhong-nan-shan, aku pernah menyadari satu hal. Hal ini membuatku merasa kalau ilmu silatku biasa-biasa saja walaupun aku mempunyai nama tersohor."
Dia melihat Ruan-wei dan berkata:
"Walaupun aku mengajarimu apa yang aku bisa kuajarkan tapi ilmuku hanya begitu-begitu saja. Jika bertemu dengan pemuda yang 11 tahun lalu, tidak perlu 10 jurus kau pasti akan kalah, untuk apa aku mengajarimu ilmu silat?"
Dia menarik nafas, "Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin sangat terkenal di dunia persilatan, tapi 11 tahun yang lalu dia sudah kecewa pada dirinya dan bersumpah tidak akan membanggakan diri dengan ilmu silatnya. Jika ada orang yang ingin belajar ilmu silat kepadanya, kecuali kalau orang itu sanggup mengangkat tiang batu yang 11 tahun lalu dikubur di depan rumah. Jika tidak walaupun dia sangat berbakat, aku tetap tidak akan menerima menjadi muridku."
Hatinya bergejolak karena orang yang sanggup mencabut tiang batu ini mana mungkin akan menjadikan dia sebagai guru. Maksudnya tidak lain adalah menolak permintaan orang-orang yang ingin menjadi muridnya, karena dia menganggap ilmu silatnya tidak pantas untuk diajarkan.
Ruan-wei merasa sangat berterima kasih kepada Fan Zhong-pin karena telah menolongnya, dia juga tidak akan memaksa Fan Zhong-pin menerimanya menjadi murid. Dengan penuh sikap hormat dia berkata:
"Aku sangat kagum dengan sikap Tetua. Sebelum kemari, aku tidak tahu apa kesulitan Tetua, aku mohon maaf. Tapi Tetua telah menolongku, budi ini tidak akan kulupakan." Fan Zhong-pin tertawa:
"Itu masalah kecil, tidak perlu diingat-ingat, sahabat kecil, karena kau terluka maka aku harus membantumu."
"Budi ini tidak bisa diungkapkan dengan ucapan terima kasih. Aku pamit dulu." Fan Zhong-pin mengatar Ruan-wei hingga ke depan pintu, dengan bangga dia berkata: "Dengan bakat begitu besar, sahabat kecil, kau pasti akan mendapatkan ilmu silat yang sangat tinggi."
0-0-0

Terbang Harum Pedang Hujan (Piao Xiang Jian Yu) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang