Kota Hang-zhou adalah kota terkenal di Tiongkok, banyak pemandangan indah di sana, apalagi Xi-hu (hok: See Ouw). Pemandangan di sana bisa dikatakan sangat terkenal. Ada pepatah Tiongkok yang mengatakan: di atas adalah surga, di bawah adalah Shu-hang (Shu-zhou dan Hang-zhou). Dari sini dapat diketahui kalau Hang-zhou sangat terkenal sejak jaman dulu.
Dari Xi-hu kita bisa menyewa perahu untuk melewati Ye-fen kemudian berjalan ke gunung berliku, dan tiba di kuil Ling-feng.
Kuil Ling-feng tidak begitu terkenal di Hang-zhou, mungkin karena gunung itu sangat tinggi dan kuilnya sangat kecil maka sangat jarang para pelancong yang datang berkunjung. Sebenarnya pemandangan di kuil Ling-feng sangat indah. Di sebelah utara ada gunung kecil, di sana ada sebuah pondok bernama 'Wang-hai-ting' (pondok melihat l.ait). Dari pondok ini kita bisa melihat Sungai Qian-tang juga pemandangan Xi-hu.
Di dalam kuil di bagian barat di sana tamannya banyak ditumbuhi pohon Mei-hua.
Sekarang adalah bulan sembilan musim dingin. Matahari telah terbenam. Seorang remaja berusia 14-15 tahun sedang berjalan mondar mandir ditaman.
Remaja ini sangat tampan, berdahi lebar, mata bagus, apalagi sorot matanya terlihat sangat jernih. Sebenarnya bulan sembilan cuaca biasanya masih dingin tapi dia masih mengenakan baju putih tipis tapi tidak terlihat kalau dia kedinginan.
Dia seperti cemas dan seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Semua sedang belajar membaca kitab suci terdengar suara mereka juga harumnya bunga Mei-hua.
Tiba-tiba remaja ini berteriak:
"An-ying-fu-xiang (jurus bayangan gelap timbul wangi)." Dia berlari hampir seperti terbang.
Ilmu silat An-ying-fu-xiang memang hebat. Di tempat dimana suara itu terdengar, seorang biksu tinggi besar muncul. Sambil tertawa dia berkata:
"Wei-er, jurus 'An-ying-fu-xiang' milikmu lebih bagus dariku!"
Remaja berbaju putih itu memberi hormat kepada biksu tua dan berkata:
"Paman terlalu memuji. Wei-er terus berlatih selama beberapa hari tapi hasilnya tidak begitu memuaskan. Tadi karena aku terdengar ada yang membaca kitab suci dan juga mencium harumnya Mei-hua maka aku tidak sengaja telah memperagakannya tapi aku tidak tahu apakah jurusku betul atau salah?"
Biksu beralis merah ini berkata lagi: "Ilmu meringankan tubuh ini kugunakan ketika aku belum menjadi biksu, karena telah bertindak membela kebenaran maka seorang pendekar tua bermarga Xu mengajariku jurus ini untuk memberi pujian. Tapi selama beberapa tahun ini aku tidak bisa menguasainya dengan baik. Hhhh! Tidak disangka hanya beberapa hari belajar kau sudah mendapat kemajuan begitu cepat!"
Biksu beralis merah melihat remaja itu lagi lalu bertanya:
"Wei-er, apakah kau tahu mengapa aku selalu tidak mau menerimamu menjadi muridku?" Mata besar remaja ini berkedip:
"Paman, sampai sekarang aku terus memikirkan hal ini tapi aku tidak pernah bisa
mendapatkankan jawabannya. Apakah karena Wei-er bodoh dan "
Biksu beralis merah itu menggelengkan kepala:
"Bukan! Bukan itu! Jangan berpikir demikian. Tubuh dan tulangmu sangat baik, bisa dikatakan di antara ratusan remaja pun jarang ada. Karena ini pula aku tidak menerimamu menjadi murid. Aku takut kau akan kehilangan kesempat-an untuk berguru kepada orang yang lebih berbakat. Apalagi...aku... hhhh, yang terpenting kau akan bertemu dengan seorang guru yang ribuan kali lipat lebih baik dariku."
Remaja berbaju putih itu dengan nada tidak senang berkata:
"Paman, menurut orang-orang jika satu hari telah menjadi guru, maka seumur hidup dia akan menjadi guru. Wei-er sejak kecil sudah belajar ilmu silat pada Paman, bukankah Paman telah mengajariku ilmu silat yang bernama 'An-ying-fu-xiang'. Paman tidak mengaku kalau Wei-er adalah murid Paman tapi dalam hati Wei-er selalu menganggap paman adalah guru Wei-er."
Biksu beralis merah itu menarik nafas panjang, dia segera menuntun Wei-er dan berkata:
"Aku sangat ingin menerimamu menjadi muridku tapi aku hanya bisa jurus-jurus silat yang sederhana. Jika aku mengajarimu, itu akan mengganggumu belajar silat. Jurus 'An-ying-fu-xiang' itu tidak sama, jika aku tidak memiliki ilmu meringankan tubuh ini, mungkin aku sudah mati 10 kali
lebih."
Alis remaja berbaju putih ini berkerut karena mendengar kata-kata biksu tadi mengenai kematian.
Dengan lembut biksu beralis merah itu bertanya: "Wei-er, apakah penyakit ibumu kambuh lagi?" Dengan sedih remaja berbaju putih itu mengangguk:
"Tadi siang ibu masih dalam keadaan normal, sore hari ketika ayah pulang entah apa sebabnya ibu marah-marah kemudian penyakitnya kambuh lagi. Ayah terkejut dan pergi. Tadi sewaktu ibu berbaring di tempat tidur dia menangis dan terus memanggil... Nan-ren!... Nan Ren...."
Lu Nan-ren (Nan=selatan, Ren=orang).
Biksu beralis merah itu mengerutkan alisnya dan berkata:
"Penyakit ibumu sangat aneh. Selama beberapa tahun ini aku jarang mendengar dia kambuh.
Menurutku mungkin dulu dia terlalu sedih. Kesedihan ini membuatnya sangat terguncang hingga
sampai sekarang belum sembuh-sembuh "
"Paman, ibuku harus minum obat apa baru
bisa sembuh?"
"Penyakit di hati harus diobati dengan hati. Jika hati ibumu sudah terbuka tidak perlu minum obat apa pun, dia pasti akan sembuh."
Remaja berbaju putih itu meneteskan air mata:
"Harus... dengan... cara... apa... baru bisa membuat ibu membuka hatinya?" Biksu beralis merah itu mengelus tangan Wei-er, dia menghibur:
"Tidak perlu terburu-buru, nanti tidak akan ada gunanya. Asalkan ibumu bisa bertemu dengan orang ini dia bisa sembuh. Tapi aku kira kapan kita bisa mencari orang ini, ayahmu mungkin sudah mencarinya terlebih dulu bila ibumu sekali lagi terguncang mungkin pikirannya bisa sembuh."
Remaja ini menghapus air matanya dan berkata:
"Paman, aku pulang dulu!"
Dari balik bajunya biksu ini mengeluarkan sebungkus obat dan memberikannya pada Wei-er: "Obat ini berikan kepada ibumu supaya pikirannya tenang."
Remaja ini sepertinya terbiasa menerima obat itu. Dia mengangguk dan membawa obat itu pergi dari kuil Ling-feng.
Kuil Ling-feng mempunyai sebuah lapangan, bila berbelok ke kiri akan menuju gunung. Di sana ada sebuah rumah beratap merah yang berhadapan dengan Xi-hu.
Setiba di pekarangan, dia mendorong pintu pekarangan. Baru saja membuka sebelah daun pintu, dari dalam terlihat ada bayangan merah, Kemudian dia bersembunyi di balik tubuh remaja berbaju putih, dari dalam keluar lagi seorang anak laki laki berumur sekitar 8-9 tahun. Anak laki-laki ini bermata besar dan beralis tebal. Dia tampak terlihat seperti seekor kerbau. Melihat yang datang adalah remaja berbaju putih, dia berteriak:
"Kakak Tertua, kakak perempuan merebut pedang kayuku!"
Dengan tertawa remaja berbaju putih berkata:
"Kerbau yang baik, nanti Kakak akan mengambil pedang kayu itu, kalian jangan bertengkar Dia memegang gadis berbaju merah yang bersembunyi di belakangnya. Gadis itu berteriak: "Kakak licik, Kakak berpihak pada kerbau air, tidak membantu Xuan-uan. Xuan-xuan akan
membuat kacau, Xuan-xuan akan...."
Remaja berbaju putih itu mengerutkan alis. Melihat adiknya begitu galak entah apa yang harus
dia lakukan.
"Kakak Xuan, nanti ibu akan terbangun padahal ibu baru saja tertidur. Jika dia bangun pasti akan marah-marah lagi...." dari pekarangan muncul lagi seorang anak gadis berbaju hijau. Begitu melihat gadis berbaju hijau itu, dia berkata:
"Kau tidak perlu mengurusku, aku tidak takut kepada ibu. Ibu hanya membenciku, tidak ada orang yang sayang kepada Xuan-xuan!"
Kemudian dia melihat pemuda berbaju putih, dia juga menangis.
"Adik Xuan, jangan menangis, jika menangis Kakak akan marah." kata remaja itu "Kakak harus membantu Xuan-xuan dan berpihak pada Xuan-xuan, artinya Kakak sayang Xuan-xuan dan Xuan-xuan akan berhenti menangis."
Remaja itu tidak mempunyai cara lain, terpaksa dia berkata: "Kerbau air, berikan pedang kayu itu pada kakak kedua."
Di antara keempat anak itu hanya kerbau yang terjelek. Dia tidak mirip kedua kakaknya. Gadis kecil berbaju merah dan hijau itu seperti anak kembar, mereka sangat mirip dan sangat cantik. Tapi mereka juga tidak mirip dengan pemuda berbaju putih itu.
Kerbau air dengan marah berkata:
"Kakak kedua selalu merebut pedangku. Ayah baru membelikan pedang kayu ini untukku. Setelah selesai bermain Kakak harus mengembalikannya padaku."
Tapi Xuan-xuan ingin bermain licik: "Aku tidak akan mengembalikan kepadamu, orang hitam! Ayah menyayangimu, apa pun akan dibelikan untukmu. Kami tidak akan kebagian, ayah hanya sayang kepadamu, tidak menyayangi kami, mainan ini tidak akan kukembalikan."
Kerbau air siap akan menangis lagi. Gadis kecil berbaju hijau kelibatan lebih tenang, umurnya baru 10 tahun lebih sedikit, dia sangat cantik. Dari balik bajunya dia mengeluarkan gundu berwarna-warni dan memberikannya pada kerbau air.
"Jangan menangis lagi, kakak ketiga akan memberikan gundu ini kepadamu."
Dengan senang kerbau air menerima gundu berwarna itu dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakak ketiga. Masalah pedang kayu sudah dilupakannya, dia berlari ke pekarangan untuk berrmain.
Xuan-xuan tampak cemberut, kemudian dia melempar pedang kayu itu ke dinding hingga patah menjadi 2 bagian. Dengan marah dia berkata: "Siapa yang butuh pedang jelek itu?" Dengan terkejut gadis berbaju hijau itu berkata:
"Kakak kedua, mengapa kau mematahkan pedang itu? Jika ayah pulang, dia pasti akan memarahimu!"
Dengan keras Xuan-xuan menjawab: "Siapa yang takut kepada ayah! Dia bukan ayahku, dia tidak mirip dengan kita, hanya kerbau ini yang mirip dengannya." Remaja berbaju putih itu marah:
"Adik kedua, jika kau sembarangan bicara lagi, kakak akan memukulmu!"
"Kakak juga tidak menyukai Xuan-xuan, ibu menyayangi Yun-yun, ayah menyayangi kerbau air, hanya Xuan-xuan tidak ada yang menyayangi." Remaja berbaju putih itu marah: "Siapa yang tidak sayang kepadamu? Lihat sendiri Yun-yun sangat penurut, dia memberikan kelereng yang disukainya kepada kerbau, sedangkan kau? Seharian kau hanya membuat keributan, siapa yang akan menyayangi gadis liar sepertimu. Kau harus belajar seperti Yun-yun."
"Kakak sayang Yun-yun, tidak sayang kepada Xuan-xuan!"
Dia berlari kebawah gunung. Remaja berbaju putih itu memanggil-manggil terus:
"Xuan-xuan, kembalilah! Kembali!" Yun-yun juga berteriak:
"Kakak jangan lari terus, sebentar lagi ayah akan pulang!"
Dari bawah gunung tampak seorang laki-laki setengah baya berjalan ke arah mereka, dia bertubuh hitam, mukanya lebar dan alisnya tebal. Kulitnya yang hitam bertambah hitam karena cahaya gelap. Dia tidak tampan juga tidak jelek, hanya saja kedua telinganya habis ditebas, meninggalkan bekas luka berbentuk bulat.
Laki-laki setengah baya itu berjalan tepat mencengkram Xuan-xuan yang sedang lari turun gunnug. Begitu melihat yang mencengkramnya adalah ayahnya, dia memberontak.
Laki-laki setengah baya itu berkata:
"Gadis kecil, kau mulai nakal lagi, ayo ikut aku pulang!"
Xuan-xuan mencium bau arak yang menyengat. Dia tahu kalau ayahnya mabuk lagi. Setiap kali jika ayahnya mabuk, dia pasti akan memukul lebih keras lagi dia merasa sangat takut. Tapi tangannya sudah terpegang, terpaksa dia menendang laki-laki itu dan dengan nada takut berkata:
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Karena terus ditendang, laki-laki itu jadi marah dan dia pun menampar Xuan-xuan yang masih muda. Karena sakit, Xuan-xuan terus berteriak:
"Lepaskan aku, kau jahat, kau bukan ayahku, bukan ayahku!"
Laki-laki itu melepaskan Xuan-xuan, dalam hati dia berpikir, 'Aku bukan ayahnya, mana boleh aku memukulnya. Kalau begitu bukankah aku jadi tukang pukul anak?'
Fu-hu-jin-gang, Ruan Da-cheng yang tinggal di propinsi Si-chuan adalah pesilat yang sangat terkenal, sifatnya sangat terbuka, banyak yang suka kepadanya, meski istrinya tidak begitu waras. Dia sangat menyayangi istrinya maka dia pun membawa istrinya pergi jauh meninggalkan kampung halamannya, pindah ke tempat yang pemandangannya indah agar istrinya bisa beristirahat dan cepat sembuh.
Tapi sudah 10 tahun berlalu penyakit istrinya tidak membaik, kesedihan dalam hatinya sangat dalam. Kalau kesal, dia hanya bisa marah-marah atau memukuli 3 anak yang memang bukan anak kandungnya. Ini adalah hal yang sangat wajar, tapi dia sangat sayang kepada putra kandungnya.
Ternyata ketika dia menikahi istrinya ini, istrinya sudah mempunyai anak yang berusia 3 tahun lebih. Seorang anak yang baru berusia beberapa bulan, selain itu dia mengandung seorang anak lagi. Mungkin kalau orang lain tidak akan mau memperistri perempuan seperti itu. Tapi dia sangat mencintai istrinya, bukan karena dia jelek atau karena dia bukan perawan lagi lalu tidak mencintainya. Dia menikahinya dan memberikan marga kepada 3 orang anak yang entah siapa ayah mereka.
Sekarang dia sakit hati mendengar kata-kata Xuan-xuan yang polos. Dia tidak tahu dia tidak berhak memukul anak ini. Ruan Da-cheng mendorong Xuan-xuan, karena terkejut, dia berhenti menangis.
Melihat wajah Xuan-xuan ada bekas jarinya, dia merasa menyesal, karena itu dia menggendong Xuan-xuan dan membawanya kembali ke gunung.
Xuan-xuan mengira Ruan Da-cheng masih akan memukulinya lagi, maka dia pun berteriak:
"Aku tidak mau pulang! Tidak mau pulang!" Ruan Da-cheng menundukkan kepalanya yang tidak bertelinga. Dengan sabar dia berkata:
"Anak baik, jangan berteriak lagi. Ayah sudah berbuat tidak baik, ayah sudah memukulmu. Besok aku akan membelikan pedang kayu untukmu."
Xuan-xuan terkejut, mengapa hari ini ayahnya begitu baik kepadanya? Dengan bingung dia pun mengangguk. Sesampainya mereka di pekarangan, dia menurunkan Xuan-xuan dan bertanya kepada remaja berbaju putih:
"Wei-er, bagaimana kondisi ibumu?" Ruan-wei dan Ruan-yun dengan hormat memanggil ayahnya.
"Menurut Adik Yun, ibu sudah tertidur. Tadi aku ke kuil Ling-feng untuk meminta obat kepada Paman Wu-yin. Obatnya di sana." jawab Ruan-wei Dengan senang Ruan Da-cheng berkata:
"Berikan obat itu kepadaku. Jika bukan karena obat pemberian Paman Wu-yin, mungkin penyakit ibumu akan bertambah parah." Gadis berbaju hijau itu berkata:
"Ayah, sebelum tidur ibu berpesan jika ayah pulang, ayah jangan ke kamar ibu dulu." Ruan Da-cheng menarik nafas. Obat yang baru diambil dari Ruan-wei dikembalikannya lagi. "Berikan saja kepada ibumu, aku akan tidur di kamar baca."
Dia masuk ke pekarangan lalu berteriak: "Kerbau, kerbau, ikut ayah ke kamar." Ruan-wei menuntun Xuan-xuan dan berkata:
"Adik kedua, jangan membuat kakak marah, ayo ikut kakak ke kamar ibu." Ruan-xuan melepaskan pegangan Ruan-wei dan berkata:
"Siapa yang mau menengok ibu, sebentar gila, sebentar melotot, sepertinya Xuan-xuan musuh besarnya."
Ruan-yun melangkah ke depan memegangi tangan Ruan-wei dan berkata: "Kakak, Yun-yun
ikut."
Tapi Xuan-xuan melepaskan pegangan Yun-yun yang memegangi kakaknya dan berkata: "Kakak, Xuan-xuan ikut." dia pun memegang erat tangan Ruan-wei. Ruan-wei mengedipkan bola matanya yang hitam. Dengan nakal dia berkata: "Bukankah kau takut ke kamar ibu?"
"Ada kakak, Xuan-xuan tidak takut kepada apa pun." jawab Xuan-xuan Polos
Ruan-wei tertawa dan menuntun Ruan-xuan masuk ke pekarangan.
Malam menutupi bumi. Orang-orang yang sedang membaca kitab suci di kuil Ling-feng sudah bubar.
Di ruangan ada 2 kamar. Kamar paling kanan di dalamnya dihiasi sangat mewah juga indah. Keempat dinding kamar tergantung lukisan dan tulisan kaligrafi. Semua kaligrafi itu memuji kebaikan dan keadilan Ruan Da-cheng. Di bawahnya ada tanda tangan dan tempat pembuatan.
Kamar itu sangat luas, di dalamnya berisi perabot rumah yang terbuat dari kayu murah masih ada barang-barang antik. Di sudut kamar ada sebuah ranjang terbuat dari kayu merah dan dihiasi kain sutra.
Hari sudah malam. Lampu yang terletak di atas rak tinggi masih menyala dan mengeluarkan cahaya lembut, cahaya lembut itu menyinari wajah seorang perempuan yang tertidur di ranjang. Jika dilihat sekilas perempuan ini sangat cantik tapi...
Begitu dekat, wajah perempuan ini penuh dengan bekas luka. Memang lukanya sudah lama dan setelah sembuh terlihat agak mulus tapi tetap saja membuat siapa pun takut melihatnya.
Perempuan berwajah bopeng ini sedang tertidur pulas, wajahnya terlihat sangat tenang. Tirai disibakkan, Ruan-wei dan adik-adiknya masuk ke kamar.
Karena ibunya sedang tertidur pulas, Ruan-wei tidak tega membangunkannya tapi jika ibunya tidak meminum obat pemberian Paman Wu-yin maka penyakit ibunya akan kambuh.
Pelan-pelan Ruan-wei memasukkan obat itu ke dalam cawan dan setelah sedikit hangat dia memapah ibunya duduk dan sedikit demi sedikit memasukkan obat ke mulut perempuan itu. Tidak lama kemudian secawan obat itu sudah habis diminum.
Ruan-wei membaringkan kembali perempuan itu, sepertinya perempuan itu tidak terganggu. Dia masih tertidur pulas.
Ruan-yun masih kecil tapi dia sangat menyayangi ibunya. Ketika Ruan-wei menyimpan cawan, dia segera menyelimuti ibunya. Ruan-xuan berdiri agak jauh, dia tidak memperhatikan ibunya.
Setelah Ruan-wei merapikan kamar, dia melambaikan tangan kepada Ruan-yun dengan pelan berkata:
"Adik ketiga, ayo kita keluar, biar ibu tidur."
Baru saja Ruan-yun membalikan tubuh, belum ada 3 langkah, perempuan bopeng itu terbangun dan berteriak: "Siapa?"
Ruan-wei cepat mendekat ibunya: "Ibu, ini Wei-er dan Xuan-xuan juga ada Yun-yun menjenguk
ibu."
Perempuan bopeng itu segera marah:
"Siapa suruh Xuan-xuan masuk? Suruh dia keluar, melihat dia, rasanya ibu ingin marah, suruh dia keluar, keluar!"
Ruan-wei memberi tanda kepada Xuan-xuan supaya dia keluar kamar. Karena kesal Xuan-xuan menangis. Dia membuka tirai dan pergi.
Mungkin karena perempuan bopeng itu sudah meminum obat pemberian Biksu Wu-yin, dia agak sadar.
Ruan-wei berkata pelan:
"Bu, Xuan-xuan sudah keluar."
Perempuan bopeng itu mengangguk. Yun-yun segera mendekatinya. Perempuan bopeng itu melihat wajah Yun-yun yang mirip Xuan-xuan, alisnya dikerutkan lagi. Dalam hati dia ingin marah tapi dia berusaha menahannya. Akhirnya dia menyuruh Yun-yun mendekatinya, dia mengelus-elus rambut Yun-yun, terpancar kasih sayang seorang ibu.
Mulut Ruan-wei beberapa kali bergerak tapi apa yang ingin diucapkan tidak keluar-keluar. Sekarang melihat ibunya agak sadar, dia memberanikan diri bertanya:
"Bu, siapakah Nan-ren?"
Dengan bingung perempuan itu menjawab:
"Kau menanyakan apa kepada ibu? Nan-ren seperti nama seseorang, siapakah dia, ibu juga tidak tahu."
"Coba ibu pikirkan siapa orang ini? Dia tinggal di mana? Kata Paman Wu-yin di kuil Ling-feng, asalkan ibu tahu siapa dia dan bertemu dengannya, mungkin penyakit ibu akan sembuh."
Perempuan bopeng itu dengan tidak sabar berkata:
"Jangan cerewet! Ibu tidak mau berpikir, jika berpikir kepala ibu sakit. Keluarlah, biarkan aku beristirahat."
Baru saja Ruan-wei akan keluar kamar, perempuan itu bertanya lagi: "Wei-er, mana ayahmu?"
"Ayah sudah pulang, dia dan kerbau berada di kamar baca, kata ayah malam ini dia akan tidur disana "
Perempuan bopeng itu berkata sendiri: "Udara begitu dingin mengapa dia tidur di kamar baca?"
Dia tampak ragu sebentar akhirnya berkata:
"Wei-er, suruh ayahmu kemari."
Tidak lama Ruan Da-cheng membuka tirai dan berkata:
"Aku datang, istriku, ada apa?"
Perempuan bopeng itu tertawa: "Sudah tua, masih saja suka bercanda!" Ruan Ba-cheng mendekatinya dan duduk di sisinya:
"Tadi pagi kau begitu galak kepadaku, hampir-hampir kau mau membunuhku." "Siapa yang galak kepadamu, bukankah aku baru bangun?"
Ruan Da-cheng tahu istrinya tidak begitu waras maka dia tidak berniat untuk menjelaskan. Ruan Da-cheng hanya berkata:
"Mengapa jika malam-malam saat kau tidur, kau selalu berteriak 'Nan-ren, Nan-ren... ' Aku kira Nan-ren sudah mati!"
Karena tidak diberi tahu, perempuan bopeng itu juga tidak bertanya lagi.
Malam semakin larut, udara semakin dingin, Ruan Da-cheng masih duduk di sisi ranjang dan gemetar. Perempuan bopeng itu tertawa juga marah:
"Orang bodoh, mengapa tidak naik ke ranjang untuk tidur? Aku tidak pernah tidak mengijinkanmu tidur di sini bukan?"
Pikir Ruan Da-cheng, 'Bukankah tadi sore kau menyuruh Yun-yun memberitahuku kalau aku tidak boleh masuk kamar ini? Aku juga bukan orang bodoh, ada ranjang tapi tidak tidur malah terus duduk di sini.'
Sebenarnya perempuan ini tidak tahu kata-kata apa saja yang dia ucapkan sebelum tidur. Perempuan ini sudah lupa sama sekali.
Ruan Da-cheng masuk ke dalam selimut untuk menghangatkan tubuh kemudian berkata:
"Besok aku akan pergi mengantar kerbau untuk belajar ilmu silat. Kerbau sudah besar sudah waktunya untuk belajar ilmu silat. Aku akan mengantarkan dia ke kuil Shao-lin, mungkin harus I bulan baru bisa kembali."
Perpisahan sementara membuat sepasang suami istri ini menjadi penuh cinta dan kasih sayang.
o-o-o
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Harum Pedang Hujan (Piao Xiang Jian Yu) - Gu Long
Ficción GeneralDi dalam cerita THPH, ada tiga orang jago pedang yang mewarisi ilmu dari Chang Man-tian - salah satu tokoh dalam Pedang Sakti Langit Hijau, karya pertama Gu Long. Tapi isi kedua cinkeng itu tidak berkaitan satu sama lain, kecuali soal warisan ilmu t...