Bulan 9 musim dingin di Xi-hu sangat dingin tapi Ruan-wei masih mengenakan baju putih tipis. Diam-diam dia membuka pintu pekarangan. Angin dingin meniup bajunya membuatnya gemetar karena dingin. Dalam udara dingin seperti ini dia tetap berjalan ke kuil Ling-feng.
Langit masih gelap, dia berjalan seorang diri di tanah yang penuh dengan salju. Di tanah kosong ini tampak hanya ada Ruan-wei saja.
Hanya dalam waktu singkat, Ruan-wei sudah berada di gunung kecil yang ada di utara kuil Ling-feng. 'Wang-hai-ting' seperti tertutup oleh salju.
Ruan-wei masuk ke pondok itu, dia duduk di kursi yang terbuat dari batu yang menghadap ke Xi-hu. Sebelumnya dia membersihkan salju yang bertumpuk di kursi itu, baru duduk bersila.
Dia duduk bersila sambil memejamkan mata. Begitu hari terang, dia baru membuka mata.
Dengan bersemangat dia meloncat turun dari kursi batu itu, dia merasa sangat bersemangat, dalam hati dia merasa ingin terbang juga berteriak, sepertinya dengan melakukan hal ini dia baru merasa nyaman.
Di tengah-tengah ada meja yang terbuat dari batu, salju yang masuk mulai mencair dan menetes.
Karena nakal dan iseng, Ruan-wei pun merabanya. Begitu tangannya mengenai meja bagian tengah, dia merasa aneh, dia menundukkan kepala untuk melihat, ternyata di tengah meja ada ukiran, ukiran ini sepertinya belum lama.
Dengan aneh Ruan-wei menggores setiap ukiran yang memakai rumput itu. Jarinya bisa masuk karena ada celah.
Ruan-wei diam-diam berpikir, 'Apakah ukiran rumput ini digores oleh jari orang dewasa?' Tanpa banyak berpikir dia pun menerus-kan perjalanan ke kuil Ling-feng. Pelajaran pagi hari sudah diselesaikannya.
Begitu tiba di kuil Ling-feng, dia berpapasan dengan Biksu Wu-yin yang baru datang dari luar. Dengan hormat Ruan-wei menyapa:
"Pagi Paman, apakah Paman baru pulang dari jalan-jalan?" Wu-yin tertawa sambil mengangguk dan dia juga bertanya: "Apakah pelajaran pagi sudah beres?"
"Sudah Paman. Beberapa hari ini Wei-er merasa aneh, setiap kali setelah berlatih ilmu tenaga dalam yang Paman ajarkan, aku selalu merasa ingin meraung, entah apa sebabnya?" "Apa? Kau sudah mencapai tahap ini?" kata Wu-yin terkejut
"Apakah ada yang salah, Paman?" tanya Ruan-wei bingung
Wu-yin tertawa terbahak-bahak: "Tidak, tidak! Itu sangat baik, aku tidak menyangka kau bisa maju pesat seperti itu, harus kau ketahui, aku sendiri pun belum bisa mencapai tahap 'singa mengaum'. Tapi kau baru 7 tahun berlatih silat hampir mencapai tahap ilmu 'singa meraung'. Benar-benar diluar dugaan-ku."
Meski Ruan-wei merasa senang dipuji tapi dia tetap dengan sopan berkata:
"Aku bisa mencapai tahap ini karena ajaran paman juga."
"Tenaga dalam harus mengandalkan kemampuan sendiri, bukan mengandalkan orang yang mengajarkannya. Pertama, harus rajin belajar. Kedua, mempunyai bakat, kalau tidak, tidak mungkin dalam waktu 7 tahun kau bisa mencapai tahap ini."
Ruan-wei sangat berbakat. Setiap pagi belajar di 'Wang-hai-ting', pemandangan dan suara-suara orang yang membaca kitab suci agama Budha membuatnya bisa cepat maju.
Setelah mendengar perkataan Paman Wu-yin, Ruan-wei pamit pulang dan berkata:
"Wei-er harus pulang, begitu ayah dan ibu bangun pasti banyak pekerjaan yang harus Wei-er kerjakan."
"Wei-er, aku lupa memberitahumu, kata ayahmu, dia akan membawa adikmu si 'kerbau' ke Song-shan, Shao-lin untuk belajar ilmu silat, maka kau harus membantu ayahmu mengurus ibu dan adik-adikmu. Sesudah ibumu minum obat dariku, biarkan dia tidur dan jangan bangunkan dia. Bila hari sudah siang dia akan bangun sendiri itu lebih baik untuk penyembuhan penyakitnya."
"Adik pergi belajar ilmu silat ke Shao-lin, menurut Paman apakah ini baik?"
"Shao-lin-si adalah tempat di mana ilmu silat kalangan lurus berasal. Adikmu bisa belajar ilmu silat di sana, kenapa tidak? Masa depannya pasti akan lebih cerah!"
Tiba-tiba Ruan-wei teringat hal yang dia temukan di meja batu itu, dia bertanya:
"Paman, tadi pagi Wei-er menemukan hal aneh. Kemarin pagi aku belum melihat ukiran itu, tadi setelah aku berlatih tenaga dalam di 'Wang-hai-ting,' aku melihat di meja bagian tengah seperti ada orang yang telah mengukir dengan rumput di tengah meja itu."
Wu-yin terkejut dan bertanya: „Apakah kau menghitung ada berapa batang rumputnya?
"13 batang."
Wajah Wu-yin segera berubah: "13 batang! 13 batang!" Dia berlari seperti sebuah panah ke Wang-hai-ting.
Ruan-wei masih tercenung berdiri di sana, belum sempat berpikir apa-apa, Wu-yin sudah berlari kembali. Dia menepuk pundak Wei-er dan dengan suara bergetar berkata: "Wei-er, ikuti aku!"
Tadinya kuil Ling-feng milik pemerintahan kota Hang-zhou, delapan tahun yang lalu dibeli oleh biksu beralis merah, maka kuil itu menjadi milik pribadinya. Pengurusnya pun dia sendiri, 5 biksu kecil pengikutinya bertanggung jawab membersihkan kuil. 3 biksu tua bertanggung jawab
membaca kitab suci. Biksu beralis merah tidak membaca kitab Budha juga tidak mengajar-kan pekerjaan apa saja yang harus dilakukan di kuil.
Wu-yin membawa Ruan-wei masuk ke kamarnya. Dengan sedih dia berkata:
"Wei-er, sebenarnya aku sudah tidak bisa hidup lebih lama."
Dengan terkejut Ruan-wei bertanya: "Paman begitu sehat, mengapa bicara seperti itu?" Dari baju bagian dalam, Wu-yin mengeluarkan sehelai kain putih sebesar telapak tangan. Dia memberikannya kepada Ruan-wei dan berkata: "Simpanlah kain ini baik-baik!"
Ruan-wei yang masih terkejut dengari teliti menyimpannya di balik dada. Wajah Wu-yin pucat tapi dia dengan tenang tetap berkata:
"Ingat, kain ini tidak boleh diperlihatkan kepada siapa pun, termasuk ayahmu sendiri."
Ruan-wei mengangguk. Dia meraba kain yang ada di balik dadanya, seperti takut akan hilang. Wu-yin dengan cemas berkata: "Jangan terus mengingat ada kain di balik dadamu, itu akan membuat orang menjadi curiga. Kau juga tidak boleh mengeluarkannya untuk dilihat. Kau hanya boleh menyimpannya di bagian dadamu dan tidak boleh hilang."
Ruan-wei benar-benar merasa aneh mengapa Paman Wu-yin mengatakan hal-hal aneh.
Melihat wajah Ruan-wei yang polos dan kedua matanya yang bersorot kebingungan, dia juga tidak terlihat ada niat jahat. Wu-yin merasa aman bila kain ini diberikan kepada Ruan-wei, tapi bagi Ruan-wei sendiri apakah hal ini adalah hal baik atau akan membawa bencana baginya? Diam-diam dia menarik nafas:
"Wei-er, bukannya aku tidak mengijinkanmu melihat kain itu karena di atas kain itu berisi tulisan dalam bahasa India, kau tidak akan mengerti. Jika terlihat oleh orang lain kau akan dibunuh."
Wu-yin berpesan lagi:
"Semua ini terlihat kalau kau berjodoh dengan kain ini. Setelah berhasil menguasai bahasa India kau baru boleh melihat isi kain ini, apakah kau mengerti?"
Ruan-wei mengangguk. Wu-yin melambaikan tangannya dan berkata:
"Baiklah, sekarang kau pulang dulu. Hari ini belum pukul satu, kau jangan keluar rumah dan jaga kedua adik perempuanmu. Jangan biarkan mereka keluar. Sebelum pukul satu apa yang terjadi disini, kau jangan ikut campur. Sesudah pukul satu kau bisa berlaku seperti biasa lagi."
"Paman, bagaimana dengan dirimu?"
Wu-yin sangat sedih melihat Ruan-wei dan berkata:
"Kau berlatih ilmu pedang dengan baik seperti yang tercantum dalam kain itu, bila aku mati, itu tidak apa-apa. Pergilah, jangan banyak tanya lagi!"
Ruan-wei tahu hidup atau mati Wu-yin pasti ada hubungannya dengan kain ini, maka tanpa ragu sedikit pun dia mengeluarkan kain itu dan meletakkannya di atas meja.
"Wei-er, ada apa denganmu?" tanya Wu-yin Dengan tenang Ruan-wei menjawab: "Sejak Wei-er kecil telah belajar ilmu silat kepada Paman, membuat tubuh Wei-er yang lemah menjadi sehat. Paman sudah memberikan kesehatan untuk Wei-er, budi ini belum Wei-er balas. Sekarang Paman ada kesulitan mana boleh Wei-er mengambil kain yang menyangkut nyawa Paman. Kain ini kecil manfaatnya sedangkan nyawa Paman sangat penting bagiku."
Wu-yin tergesa-gesa berkata: "Apakah kau tahu kalau kain ini berisi catatan tentang ilmu pedang tertinggi di dunia ini? Sisa nyawaku ditukar dengan kain ini apakah tidak pantas? Cepat ambil, kalau tidak aku akan marah."
Ruan-wei tetap menundukkan kepala dan menjawab:
"Walaupun ini adalah benda termahal di dunia ini tapi nyawa Paman bisa hilang karena benda ini. Wei-er tidak akan mau!"
Kata-katanya sangat tegas, hal ini mem-buat Wu-yin meneteskan air mata, katanya:
"Walaupun aku memberikankan ini kepada mereka, aku tetap akan dibunuh, untuk apa aku memberikannya kepada mereka?"
"Apakah musuh Paman adalah orang yang meninggalkan 13 tangkai rumput di Wang hai ting ?"
"Benar! Aku tidak mau menyalakannya kepadamu karena musuhku ini terlalu kuat jika kita melawan mereka sama seperti telur diadu dengan batu."
Dengan polos Ruan-wei berkata lagi: "Kita tidak bisa mengalahkan musuh itu, mengapa Paman tidak melarikan diri saja?" Wu-yin tertawa sedih:
"Shi-san-tai-bao (13 Tai-bao) melakukan kejahatan dan selalu meninggalkan 13 tangkai rumput yang selalu menjadi ciri khas mereka. Orang yang mereka cari kalau tidak melarikan diri, dia akan terbunuh. Jika kabur dia yuga akan mati, bentrok dengan 13 orang pasti mati."
"Siapakah Shi-san-tai-bao ini?" tanya Ruan wei.
"Aku akan memberitahumu tapi kau harus mengikuti kata-kataku, kalau tidak kau adalah orang yang tidak setia kawan. Apakah kau mau menjadi orang yang tidak setia kawan?"
Dengan serius Ruan-wei menjawab: "Aku masih kecil dan tidak berpengalaman tapi aku tidak akan menjadi orang yang tidak setia kawan!"
"Baik! Kau benar-benar anak baik! Duduklah, biar aku menceritakannya padamu "
Wu-yin duduk bersila di atas ranjang dan Ruan wei duduk di depannya. Pelan-pelan dia berkata:
"Shi-san-tai-bao adalah 13 saudara angkat yang baru mengangkat nama di dunia persilatan. Ilmu silat mereka di bawah ketua berbaju kuningTian-zheng-jiao dan 4 pesilat tangguh Zheng-yi-
bang "
"Siapa Tian-zheng-jiao dan Zheng-yi-bang itu?"
Wu-yin menggelengkan kepala: "Kau terlalu banyak bertanya! Aku hanya bisa memberitahumu kalau Tian-zheng-jiao dan Zheng-yi-bang dalam kurun waktu 10 tahun ini mempunyai kedudukan tinggi di dunia persilatan. Jika Zheng-yi-bang mau ikut campur dalam hal ini, aku tidak akan takut kepada Shi-san-tai-bao. Tapi aku tidak kenal dengan mereka, mana mungkin aku meminta bantuan kepada mereka?"
Wu-yin memejamkan mata seperti mengenang masa lalu.
Wu-yin membuka mata dan berkata lagi: "Puluhan tahun ini ada berita di dunia persilatan yang mengatakan bahwa selama ratusan tahun ini perkembangan di Zhong-yuan sangat pesat. Setiap perkumpulan masing-masing mempunyai ilmu andalan. Tapi dibandingkan dengan kuil Tian-long di India, Zhong-yuan masih ketinggalan jauh."
"Kuil Tian-long berada di India. Kuil ini didirikan khusus untuk menjaga negara ini. Semua biksu di kuil itu usianya hampir 100 tahun. Kecuali biksu-biksu tua yang paham dengan ilmu Budha, mereka juga pesilat tangguh. Biksu-bisku yang ada di kuil itu sejak kecil sudah terpilih dan diberi jabatan biksu penjaga negara. Karena itu hingga tua mereka berada di kuil untuk memperdalam ilmu Budha dan ilmu silat. Yang perlu diketahui negara India adalah negara dengan agama Budha nya sangat maju. Di negara itu buku Budha sangat banyak, buku-buku yang terbuat dari bambu menjadi benda paling berharga bagi negara India. Tempat penyimpanan buku berharga itu adalah di kuil Tian-long."
"Karena benda berharga ini sering dicuri oleh negara tetangga maka biksu yang tinggal di kuil Tian-long sejak kecil dipaksa untuk berlatih ilmu silat. Karena sering berdiskusi mengenai ilmu silat maka ilmu silat biksu-biksu di kuil Tian-long sangat tinggi. Apalagi jurus 'Tian-long-shi-san-jian' (13 jurus pedang naga langit). Jurus ini digunakan untuk menjaga kuil Tian-long, jurus-jurusnya sangat dalam, tidak ada pesilat-pesilat Zhong-yuan yang bisa menandingi mereka."
"Menurut orang-orang dunia persilatan, jurus pedang ini harus berlatih dengan 13 orang dan digunakan oleh 13 orang juga. Satu orang berlatih satu jurus pun sangat sulit, apalagi bila satu orang harus menguasai 13 jurus pedang, itu sangat tidak mungkin. Sekalipun bisa, orang ini pasti orang yang sangat-sangat berbakat. Jika ketiga belas orang ini bergabung, maka dunia ini akan menjadi milik 13 orang ini, karena tidak ada seorang pun yang bisa melawan mereka."
Wu-yin terus melihat Ruan-wei. Dia berharap setelah mendengar cerita ini, dia akan tertarik dengan jurus-jurus pedang yang tiada tandingannya tapi Ruan-wei hanya diam dan terus mendengar kelanjutan cerita.
Wu-yin benar-benar kecewa, selama 7 tahun mi mereka sering bertemu, dia tahu bagaimana sifat Ruan-wei. Dia ditakdirkan tidak mempedulikan nama dan keuntungan, jika bukan karena tubuh Ruan-wei dari kecil sangat lemah maka diajarkan ilmu silat agar badannya sehat, baru dia tertarik dengan ilmu silat. Kalau tidak, mungkin dia masih menolak belajar ilmu silat.
Wu-yin bertanya lagi:
"Apakah Wei-er tahu mengapa aku adalah biksu tapi tidak membaca kitab suci juga tidak berdoa serta bersembahyang?"
Ruan-wei menggelengkan kepala: "Memang aku merasa aneh karena begitu mendengar Paman harus membaca kitab suci, alis Paman langsung dikerutkan dan di atas kepala Paman tidak ada tanda biksu (di kepala biksu yang botak sering ada tanda) tapi aku tidak tahu apa alasannya."
Wu-yin diam-diam memuji ketelitian Ruan-wei. Dia merasa senang dan terhibur:
"Wei-er, aku bukan seorang biksu!"
Ruan-wei terkejut tapi dia tidak bertanya
"Kau mungkin merasa aneh aku mengenakan pakaian biksu dan belajar agama Budha, semua ini hanya untuk menutupi identitasku. Aku terpaksa berpura-pura menjadi seorang biksu suci tapi sejak kecil aku sangat membenci biksu maka walaupun aku menjadi biksu tapi aku tetap makan daging."
"Sebenarnya seumur hidupku, aku adalah orang yang paling dibenci agama Budha ..aku adalah seorang perampok."
Ruan-wei benar-benar terkejut dia ingin bicara tapi Wu-yin sudah menyambung
"Wei-er, jangan khawatirkan keadaanku. Memang aku adalah perampok tapi uang dan harta yang kurampok digunakan untuk menolong fakir miskin. Orang yang kurampok adalah pejabat yang korupsi, tuan tanah yang jahat, dan orang kaya yang jahat!"
Ruan-wei agak tenang.
"Sejak kecil aku sangat benci orang yang seperti itu. Sewaktu remaja aku masuk 'Ku-lun-pai', di sana aku belajar ilmu silat beraliran keras dan lembut. Di dunia persilatan aku termasuk lapisan kedua. Begitu berkelana di dunia persilatan terhadap perbedaan antara si miskin dan kaya begitu jauh, aku merasa semua ini tidak adil tapi perkumpulan Kun-lun mempunyai peraturan sangat ketat, tapi aku tidak peduli, aku rnenjadi perampok supaya menjadi kaya. Dengan ryang pantas melampiaskan kebencianku maka tidak lama kemudian aku pun mendapat julukan perampok 'Chi-mei-da-xian' (Dewa besar alis merah)."
Wu-yin beristirahat sebentar lalu melanjutkan lagi:
"Aku lupa memberitahu kepadamu, semenjak aku mendapat julukan Chi-mei-da-xian, gerak gerikku diketahui oleh ketua Kun lun pai. Sebenarnya dia ingin memusnahkan ilmu silatku tapi setelah tahu tujuan muliaku, maka dosa dosaku diampuni. Tapi aku diusir dari Kun-lun-pai. Selama 7 tahun ini aku hanya mengajarimu ilmu tenaga dalam dari Kun-lun-pai aku tidak berani mengajarimu ilmu silat Kun-lun-pai. Di satu pihak, aku takut akan mengganggumu. Di lain pihak, aku takut jika kau menguasai ilmu silat Kun-lun sedangkan kau bukan orang Kun-lun, mereka akan mencari masalah denganmu. Kau akan mempunyai banyak musuh!"
Ruan-wei meneteskan air mata dan berkata:
"Kelak Wei-er akan membantu Paman menjadi murid Kun-lun-pai kembali!"
Chi-mei-da-xian Zhuang Shi-yan tersenyum gembira. Dia seperti percaya kalau Ruan-wei bisa melakukan hal ini. Dia bercerita lagi:
"Sembilan tahun yang lalu di musim panas, supaya bisa merampok seorang pejabat kerajaan yang jahat, aku mengejarnya sampai Propinsi Xin-jiang."
"Waktu itu pertama kalinya aku pergi ke Xin-jiang. Aku tidak mengenali daerah sana. Begitu tiba di Di-hua, aku memasuki sebuah penginapan sepi dan mencari tahu jalan yang harus ditempuh selanjutnya."
"Begitu aku mendapatkan informasi tentang jalannya dengan jelas dan bersiap akan pergi, aku merasa aneh mengapa di sebelah kamarku selalu ada yang merintih. Aku bertanya kepada pelayan, ternyata di sebelah kamarku didiami oleh seorang biksu tua yang sedang sakit berat. Semenjak aku menjadi perampok, berbagai jenis orang miskin sudah pernah kutolong, hanya biksu yang belum pernah kutolong, karena aku benci biksu. Menurutku biksu itu hanya bisa membuka mulut untuk makan dan mereka adalah orang yang tidak berguna."
"Suara rintihan semakin lama semakin keras sehingga membuat perasaanku tidak enak juga sedih, maka aku menyuruh pelayan memberikan satu uang emas kepadanya."
"Ketika aku bersiap-siap akan meninggal kan penginapan, ada pelayan yang berlari dan mengembalikan uang emas itu kepadaku dan memberitahu bahwa biksu itu menolak pemberianku. Dalam hidupku ada pantangan yaitu aku takut bila ada orang yang tidak mau
menerima pemberian uangku karena orang itu curiga dengan asal usul uang ini. Mungkin karena aku tidak peraya diri."
"Ketika itu aku sangat marah, dan membawa uang itu masuk ke kamar biksu itu dan melemparkan uang itu ke atas ranjang. Aku berteriak, 'Apakah kau mengira uangku kotor!' Tadinya biksu itu tidur menghadap ke dinding, setelah mendengar teriakanku, dia berusaha duduk. Dengan suara gemetar dia berkata, "Tuan jangan salah paham, aku adalah seorang biksu, tidak boleh sembarangan menerima pemberian orang. Sekarang Tuan langsung memberikannya padaku maka aku tidak akan sungkan lagi menerimanya.' Begitu melihat tubuhnya hanya berselimut tulang dan wajahnya hitam, hatiku menjadi luluh tapi begitu mendengar kata-katanya, rasa curigaku malah muncul."
"Dia memakai bahasa Zhong-yuan tapi nadanya aneh. Setelah diteliti ternyata wajahnya tampan. Aku baru tahu dan berteriak, 'Kau adalah biksu dari India!' Tadinya dia menyelimuti tubuhnya sewaktu duduk, begitu mendengar teriakanku, selimutnya terjatuh dan tubuhnya terus gemetar."
"Tubuh yang tadinya tertutup selimut segera terlihat. Begitu aku melihatnya, yang tadi-nya benci kepada biksu berubah menjadi kasihan. Ternyata karena sakit, baju biksu yang dikenakannya disobek-sobek dan kulitnya merah."
"Begitu melihat luka itu, aku tahu kalau dia telah terkena pukulan telapak beracun. Dalam hati aku berpikir orang yang memukulnya benar-benar kejam maka aku pun memanggil tabib untuk mengobatinya dan aku selalu berada di sisi biksu India itu, mengurusnya selama 3 hari 3 malam."
"Pada hari keempat, dia mulai terlihat segar. Sambil berbaring dia menarik tanganku dan berkata, 'Seumur hidupku belum pernah melihat ada orang seperti kau begitu baik. Di tubuhku ada buku kecil yang berharga.'
"Tangannya gemetar mengeluarkan sebuah kain dari balik dada. Dia memberikannya kepada-ku dan berkata, 'Buku ilmu pedang ini ditulis dengan bahasa India kuno. Bawalah kuas dan tinta, aku akan membantumu menerjemahkan ke bahasa Han. Waktu itu aku tidak menanggapinya, aku mengira itu hanya buku ilmu pedang biasa. Tadinya aku tidak menginginkan buku itu tapi aku takut dia akan sedih maka terpaksa aku meminjam kuas dan tinta kepada pelayan penginapan."
"Tapi pelayan tidak mempunyai kuas maupun tinta, begitu pula dengan kasir, laci terkunci, tidak ada cara lain. Pelayan berlari ke penginapan lain untuk meminjam, tapi kuas sulit didapat, waktu itu waktu telah berlalu setengah jam dan waktu itu aku baru akan memberikan kuas dan tinta kepada biksu India itu. Ternyata dia sudah meninggal. Ada pepatah yang mengatakan: jika ingin menjadi orang baik harus berbuat sampai tuntas, mengantar Budha harus sampai ke langit. Aku mengurus upacara pemakamannya termasuk membelikannya peti mati, memanggil biksu untuk mendoakannya, setelah dua hari, baru di kubur-kan."
"Setelah itu kain buku pemberian biksu itu kusimpan di balik dada. Pejabat korupsi itu telah pergi jauh, pekerjaanku tidak jadi, terpaksa aku kembali ke Zhong-yuan untuk mengincar perjabat lainnya tapi aku tidak berhasil mendapatkannya aku malah mendapat berita yang menyakitkan."
"Ternyata buku kain yang ada di tubuhku adalah buku yang dicari-cari oleh orang Zhong-yuan, yang bernama Tian-long-shi-san-jian'."
0-0-0
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Harum Pedang Hujan (Piao Xiang Jian Yu) - Gu Long
Ficción GeneralDi dalam cerita THPH, ada tiga orang jago pedang yang mewarisi ilmu dari Chang Man-tian - salah satu tokoh dalam Pedang Sakti Langit Hijau, karya pertama Gu Long. Tapi isi kedua cinkeng itu tidak berkaitan satu sama lain, kecuali soal warisan ilmu t...