I am, The Stupid One

4.3K 160 17
                                    


Aku menghela nafas melihat tumpukan hadiah di atas mejaku. Bukan karena aku tidak menyukainya melainkan karena aku terlalu bosan. Ini bukanlah musim dingin, jadi ulang tahunku masih bulan depan. Mereka tidak mengenal waktu memberikan hadiah-hadiah ini padaku. Bukan karena aku berulang tahun atau ini adalah hari valentine. Mereka selalu memiliki alasan untuk meletakkan tumpukan warna-warni itu di atas mejaku. Apakah karena ini adalah hari senin, atau karena menyambut akhir pekan, atau karena aku mewarnai rambutku. Mereka menciptakan alasan untuk meletakkan benda-benda ini.

Mereka yang kumaksudkan adalah para murid-murid. Beberapa kali aku memergoki lalu memarahi mereka karena selalu memenuhi mejaku dengan hadiah hingga aku tidak bisa bekerja. Bukan hanya murid laki-laki. Justru sebagian besar dari mereka adalah murid perempuan.

Sebenarnya mereka tidak pernah memberikanku sesuatu yang aneh. Hanya kukis, coklat, permen, kue, atau boneka. Ah! Pernah sekali aku mendapatkan cincin dengan surat kecil yang memintaku untuk menikah dengannya. Anak-anak ini memang konyol. Mereka membuatku selalu diledek tiap kali masuk ke ruang guru.

Aku terlalu lelah untuk membereskan mereka semua. Jadi, aku menawarkan hadiah-hadiah itu pada pak Choi yang berada di meja bagian depan. Dia penggila makanan manis, jadi dia pasti senang menerimanya. Guru-guru lain sedang mengajar di kelas. Hanya kami yang berada di ruang guru. Ku harap tidak ada gossip dikemudian hari karena aku memberikan semuanya pada pak Choi.

Setelah aku membereskan barang-barangku, aku melangkah keluar ruang guru menuju tempat parkir. Beruntung anak-anak disini terlalu beringas sehingga aku tidak diperbolehkan menjadi wali kelas. Dengan begitu aku bisa pulang lebih cepat dibandingkan yang lain. Kebetulan aku ada janji kumpul-kumpul dengan teman-teman SMA dulu. Walau terlalu cepat jika pergi sekarang, namun tubuhku terlalu lelah jika harus puluang ke rumah dulu untuk mandi dan berganti pakaian. Lebih baik aku langsung pergi saja. Disana aku bisa duduk santai sambil menunggu yang lainnya datang.

Itu adalah sebuah kafe yang sangat terkenal di Gangnam. Aku sering datang kesini bersama Tae Yeon. Tentu saja aku yang mengajaknya. Anak itu terlalu payah dan gila kerja. Ia harus diseret terlebih dahulu agar mau pergi keluar. Ia tidak tahu apa artinya bersenang-senang. Aku yakin ia juga tidak akan datang kali ini.

"Yu Ri-ah!" Sebuah suara yang familiar terdengar memanggil namaku. Itu bukan Tae Yeon. Suaranya lebih rendah namun nyaring. Walaupun itu adalah suara yang tak asing, sudah sangat lama aku tidak mendengarnya.

Ck, coba lihat siapa yang datang pertama kali. Ya, dia yang memanggilku tadi. Apa yang ia lakukan disini setelah kekacauan besar yang dibuatnya? Apa ia lelah bersembunyi?

"Yang lain belum datang?" Aku mencoba terlihat ramah didepannya. Meski aku tidak suka atas apa yang telah ia lakukan pada Tae Yeon, tetap saja kami adalah teman. Dulu dan sekarang. Aku tidak merasa hal itu akan pernah berubah. "Apa kau sudah lama?"

"Sepertinya begitu. Aku sengaja datang lebih cepat karena... yah.. bisa dikatakan aku punya banyak waktu luang." Jawabnya setelah aku duduk di salah satu kursi kosong di sebelahnya.

Aku tertawa melihat sikap santainya. Apa ia tidak merasa bersalah sedikitpun? Ia juga terlihat menjalani hidup dengan baik. Tidak seperti seseorang.

Dia adalah Hwang Tiffany, salah satu teman SMA-ku dulu. Yeah, aku tahu aku tidak seharusnya kesal padanya karena ia tidak memiliki masalah denganku. Namun apa aku tetap tidak boleh kesal padanya karena ia bermasalah dengan sahabat terbaikku, Kim Tae Yeon. Beberapa kali aku dan Tae Yeon bertengkar karena dia. Ia baik-baik saja sementara Tae Yeon tidak.

"Aku juga. Aku juga punya banyak waktu luang." Sindirku. Jika ia memang memiliku banyak waktu luang, bagaimana mungkin ia baru muncul sekarang?

"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya kemudian.

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang