Daniel menekan tombol dispenser untuk beberapa puluh detik, Daniel berlanjut mengambil sendok kecil di pantri yang menempel kokoh diatas dinding.
"Pagi bang. Tumben udah bangun." Dafera berbicara dari balik punggung Daniel, gadis itu membuka pantri sambil berjinjit. Daniel mengabaikan presensi Dafera, ia sibuk menyesap kopi yang baru saja ia buat.
Daniel tidak marah, ia hanya sedang tak ingin berbicara panjang lebar kali ini. Semalam ia tak bisa tidur, dan sekarang kepalanya terasa begitu pening.
"Bang ambilin gelas dong," Pinta Dafera menyerah dari usaha nya mengambil gelas di pantri. Daniel melirik sejenak.
"Makanya dulu kalau di ajak jogging sama swimming tuh ikut, jangan malah main hp terus." Daniel mengambil beberapa piring, lalu menyerahkan nya pada Dafera.
Dafera tidak mengindahkan Daniel, ia menaruh piring kemeja makan. Kedua bola mata Daniel masih serius memperhatikan adiknya. Melihat adiknya setiap hari harus membuat sarapan dan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, membuat Daniel iba.
Daniel menyesap kopi yang masih tersisa di cangkir nya sampai habis, gelas kosong itu ia bawa ke bak pencucian piring. Tungkai nya kembali melangkah, dan mengerem otomatis ketika di depan pintu lemari pendingin.
"Abang mau ngapain?"
Sangat jarang kakak nya itu membuka lemari pendingin, terkhusus untuk mengambil sayuran dan juga sosis beku dalam freezer.
"Masak dek, kasian kamu kan ngerjain semua nya sendiri." Daniel menyunggingkan senyum nya yang paling manis. Kemudian jari nya yang memegang pisau, dengan lihai memotong sayur.
"Harusnya abang nunggu aja, ga usah bantuin Daf."
Dengan cepat pria itu menggeleng, ia tersenyum penuh arti kearah Dafera. Mengingat adiknya yang paling ia sayangi ini mungkin sebentar lagi akan pergi -- Daniel hanya ingin menghabiskan sisa waktunya melakukan hal seperti ini.
"Bang Daniel kok aneh, daritadi senyum terus tapi mata nya sedih," Cicit Dafera masih setia berdiri di samping Daniel.
"Abang bakal kangen sama kamu," Ungkap nya secara jelas diikuti dengan kekehan-kekehan kecil yang entahlah apa artinya.
"Demam ya bang? kok ngomong nya ngawur." Dafera menempelkan punggung tangan nya ke dahi Daniel yang mulus. Kakak nya ini sehat-sehat saja.
"Serius aku loh dek, kalau kamu nikah nanti kan—"
"Abang tuh ngomong apa? Kok bahas nikah-nikah. Kan janjinya abang dulu yang nikah." Dafera menuang sayur hasil potongan Daniel ke dalam panci kecil, kemudian membawa nya untuk di cuci terlebih dahulu.
"Mending kamu dulu yang nikah Daf, biar nanti abang tenang, kan udah ada yang jagain kamu." Kalimat itu keluar dari mulut Daniel dengan lancar tanpa suata hambatan apapun, Daniel sebegitu sayang nya pada Dafera.
"Iya-iya nanti Daf yang nikah duluan." Dafera mengakhiri kalimat nya dengan tertawa pelan, Daniel sedikit lega mendengar nya, semoga Tuhan mengabulkan keinginan Daniel yang satu ini.
Sepersekian detik kemudian, mereka larut dengan kesibukan masing-masing. Daniel berada di balik kompor, mencoba mencicipi masakan yang ia buat bersama adiknya.
"Udah pas kok," Ujar nya singkat.
"Ini Daf tinggal dulu ya, abang yang jaga." Dafera menyerahkan sendok berukuran agak besar dari sendok biasanya, Daniel menerima nya disusul dengan anggukan setuju.
Daf mengambil pakaian kotor yang menumpuk, kemudian langsung memasukkan nya ke mesin cuci. Alih-alih menunggu, Dafera menyiapkan pengepel lantai beserta air cucian nya.
"Bang, kita belum bikin nasi!" Teriak Dafera dari sudut ruang makan, kebetulan jarak nya lumayan jauh, mengharuskan Dafera berteriak agak Daniel dapat mendengarnya.
"Gampang! Serahin sama abang," Cicit Daniel dari dalam dapur. Dafera tersenyum sekilas.
***
"Yang bener aja Daf, masa gue dikasih kemeja warna merah," Protes Jihoon tidak terima, setelah membuka bingkisan yang Dafera berikan untuk nya, banyak pertanyaan yang tiba-tiba saja hinggap dikepala.
"Bagus hoon, ntar kulit lu kan makin bening keliatan nya." Dafera terkekeh pelan. Jihoon masih cemberut, ini sih lebih baik kalau dia pake kemeja warna pink.
"Aduh jangan ngambek dong." Dafera justru mencubit gemas pipi Jihoon, sejak kapan pipi Jihoon menjadi objek yang paling menyenanJihoon, ntuk di cubit.
Jihoon melayangkan tatapan tajam, ia masih memegangi kemeja yang diberikan Dafera.
"Wangi Daf, suka." Jihoon mencium kemeja nya sekilas, kemeja tersebut memang sengaja Daf cuci dan setrika terlebih dahulu. Dafera tahu sendiri kalau Jihoon bukan tipe orang yang suka mencuci baju baru dengan benar.
"Yaudah hoon, ini diterima ya."
Jihoon segera mengangangguk, siapa juga yang menolak. Jihoon kan hanya protes karena tidak terlalu menyukai warna nya.
"Iya Daf diterima kok, masa engga sih. Makasih." Jihoon menyimpan nya lagi ke dalam kotak.
"Yaudah ya, Daf pulang dulu." Dafera beranjak dari duduknya.
"Bentar banget, baru juga dua sepuluh menit." Jihoon melirikkan mata nya kearah jam besar yang menggantung rapi diatas tembok.
"Dua puluh menit itu lama, Daf bisa di gorok kalau telat pulang."
"Masih pukul tigaa Daf," Ungkap Jihoon dengan gemas. Dia bersiap untuk menarik pipi Dafera, namun hal tersebut segera di tepis oleh gadis tersebut.
"Janji nya pulang jam dua loh hoon." Dafera memanyunkan bibir nya. Kalau Daniel sudah ada dirumah, tentu Daf akan dimarahi habis-habisan.
"Gue anter ya?" Tawar Jihoon, Dafera cepat-cepat menggeleng kan kepala nya. Netra Jihoon menangkap adanya mobil terparkir di depan pintu pagar nya. Ah pantas saja Daf menolak.
"Yaudah pulang sana!" Jihoon berbalik dan meninggalkan Dafera.
"Yah kan ngambek," Gumam Daf menghembuskan napas nya.
"Jihoon kenapa sih!" Sungut Dafera menatap pintu yang tertutup rapat beberapa detik yang lalu. Kemudian Daf melangkah pergi meninggalkan pekarangan rumah Jihoon.
***
Waa makin absurd ya XD
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar ⊹ Minhyun ft. Jihoon
Fanfiction[ Hiatus ] When 27th fall in love with 18th © loosesage