Sorry for typo:'')
—Jihoon point of view—
Hari ini Dafera terus menelepon beberapa, dari pagi sampai sore hari, belum ada telepon yang gue tanggapi. Selain gue memang ada jadwal di kampus, hal membosankan lain adalah Dafera yang menelepon karena meminta bantuan gue untuk mengantarkan nya ke restoran Guanlin.
Mau apa dia? Gue pikir kalau bukan untuk bertemu Guanlin siapa lagi? Oh, Om-om berjas tampan yang Dafera sukai.
Gue yang merasa ga enak akhirnya menelepon Dafera, pesan-pesan yang sudah spam di hp gue segera dihapus. Itu hanya pengharapan nya pada saat makan malam bersama om Minhyun.
"Halo?" Gue menyapa, gue mengulum senyum sejenak, sebelum menelepon Dafera gue mengirimi dia pesan kalau ya gue akan membantu.
"Dimana?" Tanya gue setelah mendengar sapaan manis Dafera untuk gue.
Gue sendiri sibuk berjalan ke arah parkiran, jam hitam yang melingkar ditangan gue sudah menunjukkan pukul lima."Yaudah, Jihoon nunggu di halte nya aja ya," Sahut gue membuka pintu mobil. Dibalik sana Dafera mengiyakan, lalu sambungan telepon terputus begitu saja.
Gue mendengus. Gue segera melajukan mobil gue menuju rumah pak Sungwoon. Selama diperjalanan, pikiran gue terbang kemana-mana, ada rasa tidak enak yang hinggap. Gue berharap ini semua ga ada sangkut paut nya sama Dafera.
Sampai di halte, gue menepikan mobil gue di depan kedai es krim. Gue memgambil ponsel dan mengirimi Dafera pesan kalau gue udab ada di halte, sekarang Dafera hanya perlu berjalan keluar gang. Tadinya gue mau kerumah pak Sungwoon, namun kalau di ingat bagaimana Freon yang mencakar pergelangan tangan gue, nyali gue menyusut.
Selama lima menit gue menunggu Dafera, sosok nya keluar dari gapura perumahan tersebut. Dia memasuki mobil gue, menyapa gue dengan sapaan hangat seperti biasanya. Kemudian tak lama, ia mencurahkan semua isi hatinya.
"Jihoon, gimana dong ini. Malam ini gue kerumah om Minhyun tau,"
"Gue ga tau harus gimana, deg-degan."
"Ayah nya om Minhyun serem, Dafera takut."
"Kalau terjadi yang kaya di tv-tv itu gimana hoon? Ih Jihoon mah ditanyain diem mulu!"
Gue terkekeh pelan ketika dia mengguncang siku kiri gue, dia kenapa sih ga peka banget kalau gue sebenernya ga suka sama topik pembahasan yang dia obrolkan sore ini.
"Jihoon kasih doa yang terbaik buat Dafera," Sahut gue sedikit tersenyum. Bahkan untuk saat ini— berat sekali untuk menyunggingkan senyum manis gue.
"Makasih ya hoon, pokoknya Daf makasih banyak sama Jihoon dan mas Woojin yang udah selalu ada buat Daf."
Gue melirik Dafera sejenak, gadis itu menyatukan kedua tangan nya, memejamkan mata dan juga tersenyum simpul. Tidak ada alasan lain yang membuat gue bahagia, selain ketika melihat dia bahagia.
***
Hampir dua jam gue disini, menemani Dafera dan mas Woojin yang sedang memoles wajah Dafera. Gue melihat Dafera dari pantulan cermin, malam ini dia terlihat lebih cantik. Gue sedikit kecewa karena malam ini di berdandan cantik untuk orang lain, biasanya Dafera akan seperti ini jika gue sedang marah.
Gue memuji dia, Dafera hanya berterima kasih seperti biasanya. Gue memang sering melontarkan kalimat 'cantik', dan itu hanya untuk Dafera. Kemarin-kemarin sih Fira, namun gue pikir ketika gue mengatakan Fira cantik, mata gue ketutupan sendok.
Gue dan Dafera akhirnya pergi ke restoran Guanlin, om-om itu meminta Dafera agar ke sana. Katanya sih dia habis pulang kerja, ah asal kalian tahu, gue agak ga rela malam ini. Mengingat saingan gue adalah om Minhyun yang notabene nya udah mapan, gue minggir, soalnya kalau mundur bisa nabrak dinding —udah mentok banget gue memperjuangkan Dafera.
Setelah basa-basi sedikit dengan om Minhyun gue Akhir pergi dari hadapan mereka berdua. Sialnya, ketika melihat om Minhyun Dafera malah terus tersenyum, mata nya juga terlihat menunjukkan sisi senang.
Gue duduk di mobil gue, memperhatikan Dafera yang di gandeng mesra oleh om Minhyun. Andai gue yang berada di samping Dafera.
Soal perasaan ga enak gue, itu masih menghantui pikiran gue sampai saat ini. Gue menarik sabuk pengaman dan melajukan mobil gue meninggalkan parkiran restoran Guanlin yang cukup ramai itu. Gue mendesah frustasi, ketika gue sadari ternyata keluarga mereka benar-benar keluarga berada yang bergelimangan harta.
Jalanan yang macet membuat gue berdecak, double sial. Gue bosen kalau kejebak macet gini, kalau sama Dafera sih rasanya mau. Itu ga mungkin, berhenti berharap!
Selama hampir satu jam lebih menempuh perjalanan, sekarang gue berada di perumahan yang gue yakini itu adalah rumah milik om Minhyun. Tadinya gue mau pulang, tapi hati gue berbisik agar gue kesini.
Apa yang terjadi?
Gue melihat Dafera yang berlari tak tentu arah, dengan segera gue turun dari mobil. Gue menghentikan langkah kaki Dafera, dia sedikit kaget dan hampir memukul gue dengan tangan nya.
"Jihoon..." Lirih nya sambil terisak, gue diam ditempat. Melihat dia menangis kesakitan seperti ini, membuat dada gue ikit sesak.
Gue menarik Dafera kedalam pelukan gue, berharap dia berhenti menangis. Tapi gue adalah tipe-tipe orang yang tidak bisa menghentikan orang menangis, gue hanya bicara seadanya, dan bilang kalau lebih baik Dafera menceritakan semua ini ke mas Woojin.
Dalam hati gue berjanji, kalau om Minhyun ga bisa bahagiain dia, biar gue aja.
***
Jihoon suka Dafera ga sih?
atau Jihoon nganggep
Dafera kaya adik sendiri?
Makanya ga tega kalau
liat Dafera sedih...Voment yaa ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar ⊹ Minhyun ft. Jihoon
Fiksi Penggemar[ Hiatus ] When 27th fall in love with 18th © loosesage