5. Transaksi

4.8K 337 35
                                    

"Orang-orang nyuruh kita jujur, tampil apa adanya. Tapi begitu dia tahu kaya gimana kita sebenernya, dia malah ngancurin kita. Apanya yang I don't have a gun?"

Glek! Ni, anak ngomong apaan, dah? "Jadi kamu lebih seneng hidup dalam kebohongan?"

Tiba-tiba ingatan melayang ke ulet bulu. Waktu mergokin dia making out sama cowoknya di pojokan taman. Ngga tahu musti nyesel apa beruntung nyasar jalan-jalan ke situ. Padahal niatnya cuma nyari toilet umum yang biasa ada di taman, malah jadi nonton prolog bokep.

Selanjutnya, Bulan bicara menggebu-gebu, "Bukan soal bagaimana menjalani hidup. Tapi kalo kita nuntut orang untuk tampil sebagaimana dirinya sendiri, maka kita juga harus mau menerima konsekuensinya. Tiap orang punya sisi gelap dalam dirinya. Kalau kita menerima seseorang seutuhnya, harusnya kita juga menerima sisi gelapnya, segelap apa pun itu."

"Segelap apa pun..." Damned! Ni, anak nyindir ato gimana? Gimana kalo kegelapannya itu menelan kita?

Gue banting setir ke kiri. Mobil-mobil di belakang langsung riuh berebut bunyiin klakson. Di bahu jalan, segera injak rem seketika.

"Kenapa, sih?" Bulan berseru kesal karena nyaris kepentok dashboard.

Keluar, banting pintu.

Cari angin.

Udara di pinggir jalan tol aslinya penuh polusi menyesakkan, tapi di dalam mobil terasa lebih sesak.

Di pinggir jalan, sekeping kerikil kena tendang. Kesalahannya cuma satu, nangkring di ujung kaki gue. Sorry, hidup kadang emang gitu, kawan. Udah mlipir seminggir-minggirnya, tetep aja ditendang tanpa salah apa-apa.

Bulan ikut keluar setelah gue berhasil menghirup-embuskan napas beberapa kali. Angin nerbangin rambut sebahunya hingga sembarangan menampar pipi mulus itu. Dia merapikan semua dengan sabar, mengembalikan tiap helai ke belakang telinga.

Bersedekap, gadis itu memandang semak tempat kerikil tadi ditendang. "Kira-kira ke mana perginya kerikil itu, ya?"

"Bomat!"

"Hmm. Mungkin dia akan berterimakasih sama kamu nanti."

"Ck!" Ngomong apa lagi nih anak?

"Kalo di sini, bisa jadi dia bakal hanyut kena banjir. Kamu tendang ke situ, siapa tahu dia malah jadi kunci penyelamat banjir."

Wadehek! Ini cewek yang tadi marah-marah soal kejujuran? Makan apa barusan? Tiba-tiba jadi sok bijak gini.

"Sebenernya aku kesel banget disuruh kawin sama kamu," katanya masih ngeliatin semak rendah di sisi jalan tol. "Tapi setelah ngobrol-ngobrol semalem...." dia berhenti ngeliatin gue yang juga nunggu lanjutan kata-katanya. Bulan ngebanting udara lewat mulut. "Yah, mungkin ini bisa jadi jalan buatku terbebas dari ayah."

Gue ngga ngerti maksudnya. Tapi sekarang jadi jelas, dia manfaatin perjodohan ini buat kepentingan pribadi. Huh! Dasar cewek! No Love No Sex? Itu akal-akalan dia aja.

"Kalo gitu aku juga mau manfaatin kamu."

"Apa?" dia beralih lebih serius.

"Aku manfaatin kamu buat balas dendam sama ulet bulu."

Dia ketawa geli. "Ulet bulu?"

"Kamu harus bikin pencitraan kalo kita mesra banget. Biar dia tahu kalo cewek di dunia ini ngga cuma dia."

"Hahaha! Ulet bulu itu mantanmu?"

Gue ga ikut ketawa. Ini serius. Ga ada yang lagi becanda di sini.

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang