Asli, semua ini bikin gamang. Mau nanya ama siapa? Mau curhat ama siapa? Menggenggam rahasia itu menyesakkan dada, memberatkan kepala.
Di depan pintu kamar Om Hendro gue berhenti. Ga kuat rasanya untuk masuk.
Hangat kuah bakso dalam mangkuk kertas yang ditenteng, menjalar di kaki. Ini sudah jam makan siang dan Bulan belum makan apa pun selain roti bakar penuh mentega tadi pagi. Gue buka pintu. Bulan duduk di samping ranjang ayahnya.
Kedenegran suaranya ngingsut lendir di hidung. "Aku ceritain aja, ya Yah," katanya, "aku udah nyari e-book-nya, ternyata ngga ada. Tapi aku apal banget ceritanya." Dia narik lendir di hidung sekali lagi.
Dia noleh. Gue kasih senyum termanis sambil nunjukin bakso dalam mangkuk kertas. Bulan nyeka airmata di pipi dan ngebalas dengan anggukan plus senyum super manis. Hidungnya merah, pipinya merah, matanya juga merah, tapi kalo semua disatuin dalam sebuah gambaran utuh, kecantikannya tetap dapat nilai sempurna.
Bulan mendeham, ngebersihin tenggorokan dari lendir-lendir yang ngganggu. "Aku ngga inget bahasa Inggrisnya," katanya lagi masih menggenggam tangan ayahnya, "padahal ini aslinya in English, ya Yah?" Dia ketawa kecil. "Tapi aku baru tahu setelah bisa baca," lanjutnya ditingkahi tawa.
Gue taro di atas nakas, mangkuk kertas dalam tas kresek yang tadi dipesen di kedai bakso urat. Bulan menggenggam tangan Om Hendro lekat ke kening. Kemudian mengecup punggung tangan itu dan memeluk lengannya penuh sayang.
Mungkin dia emang pecinta lengan. Tadi pagi gue yang digituin. Apa jangan-jangan salah pegang, dikiranya punya ayahnya gitu?
"Pada suatu malam yang temaram di dalam Hutan Kelam."
Wow! Ternyata dia mau mendongeng. Gue ambil bangku dan duduk di sampingnya. Bulan tersipu ngeliat gue menyimak serius, tapi dia tetap melanjutkan cerita.
Tupai kecil terpesona melihat benda bundar bercahaya di angkasa. 'Ibu,' serunya semringah, 'apa itu?'
Dia menyeka hidung dengan punggung jari.
Ibu Tupai melihat pada benda yang ditunjuk anaknya. 'Oh, itu purnama.'
'Purnama?'
'Bulan yang terlihat bulat sempurna disebut purnama,' jelas Ibu Tupai.
Bulan tertawa kecil, dan berhenti bercerita. "Aku suka banget bagian ini." Matanya menerawang. "Pas bagian ini, ayah pasti bilang. 'Bulan Purnama? Siapa, ya?'"
Jadi ikut ketawa gue. "Bulan Purnama? Kek kenal?"
Dia tergelak. "Kamu tahu?" tanyanya.
"Aku cuma tahu satu Cahya Bulan Purnama. Apa ada yang lain?"
Tawanya terdengar berat.
"Ayo lanjut. Trus gimana Tupai Kecil?"
Bulan mendeham sedikit lalu mulai melanjutkan cerita.
Tupai Kecil bertanya, 'Apa dia yang bikin hutan terlihat terang malam ini?'
Ibu Tupai tersenyum. 'Iya,' jawabnya, 'cahayanya memancar sampai ke bumi lalu terpantul dan kembali lagi ke bulan. Terpantul, lalu kembali lagi ke bumi. Terpantul, lalu kembali lagi ke bulan. Terpantul, lalu kembali lagi ke bumi.'
Kami tertawa. Cara dia mengucapkan kata terpantul lucu sekali.
"Bagian ini suka diulang-ulang sampe mulut ayah pegel," katanya. Rona sedih kemudian mengambang di wajah cantiknya.
"Kenapa?"
Dia menekuk bibir ke dalam lalu melanjutkan cerita.
'Cahaya bulan, seperti sayangnya ibu padamu, tak pernah habis dan selalu ada untukmu.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku, Bulan
RomanceWARNING 18+ Cerita ini pertama kali diterbitkan November 2019 dan tamat tahun 2020. Pada tahun 2021, Istriku, Bulan diplagiat dan saya menarik penerbitannya di wattpad. Cerita ini memang tidak diniatkan untuk dikomersilkan. Saya ingin agar maki...