90. Terlambat

2.7K 257 78
                                    

Ngikutin saran Bulan, gue cari alamat Salman. "Kamu harus nyelesein urusan ini," katanya, "rasa bersalahmu ngga boleh membelenggu langkahmu."

Awalnya gue ga mau. Gimanapun, sebenernya gue udah minta maaf. Abi sama Uminya Salman juga udah maafin.

"Itu karena mereka ngga tahu cerita sebenernya," gigih Bulan mempertahankan pendapat, "dan karena mereka ga tahu itu makanya kamu tetep aja ngerasa bersalah."

Gue ga bisa bantah lagi. Apalagi waktu dia bilang, "Ini demi Sweety. Apa kamu mau membesarkan anak dalam bayang-bayang rasa bersalah?"

Sialan! Dia udah tahu semua kartu gue.

Berbekal alamat dari Ustadz Arifin, sore itu gue berangkat ke Bogor. Rumah Salman ngga jauh dari TPU tempat dia dikuburin.

"Kok, ada bendera kuning, ya?" tanya Bulan bernada was-was waktu mau belok masuk ke jalan rumahnya. Sebuah pot besar diletakkan di tengah jalan hingga mobil sama sekali ngga bisa lewat.

Terpaksa parkir di simpang jalan, lalu jalan kaki masuk ke dalam. Seorang lelaki berseragam hansip datang menghampiri. "Ke rumah Pak Hanafi?" tanyanya sopan.

"Iya," gue ngangguk, nyambut uluran tangannya buat salaman.

"Silakan, Pak," ujarnya lagi seraya mengangguk, menghormat.

Perasaan gue makin ga enak. Bulan gandeng tangan seolah dia butuh pegangan, padahal aslinya, gue yang lagi oleng.

Ada tenda di depan rumah yang ditunjukkan alamat dari Ustadz Arifin. Pintu gerbangnya kebuka, jadi kita langsung masuk ke dalam. Tangan gue kerasa basah dalam genggaman Bulan. Jantung pun berdetak makin cepat.

Mau ngucap salam, tapi tenggorokan tiba-tiba terasa kering. Untung Bulan segera ngambil alih, "Assalamu'alaikum," serunya sopan.

Seorang perempuan hampir seumur Mama keluar menjawab salam.

"Ini betul rumah Pak Hanafi?" tanya Bulan lagi dengan penuh percaya diri.

Perempuan itu keliatan agak bingung, namun tetap berusaha menjawab dengan tenang. "Iya, betul. Siapa, ya?"

"Oh, ini suami saya," kata Bulan mengusap lembut lengan gue, "dulu temen sekamarnya Salman."

Perempuan di depan gue terbelalak, kemudian matanya berkaca-kaca. "Ya Allah, temen deketnya Salman dulu, ya?" suaranya agak tertahan. "Udah lama banget, tapi masih ingat sama Salman. Makasih, ya, Mas," sekarang jadi kedengeran agak serak, "ayo, masuk, duduk dulu."

Kita masuk. Di ruang depan hanya ada karpet yang terbentang. Kotak air mineral yang tinggal separo terletak sembarangan di pojok ruangan. Perempuan itu memunguti beberapa gelas air mineral kosong dan plastik-plastik berisikan cabe rawit yang mungkin tadinya juga terisi gorengan.

"Maaf, ya, Mas. Masih berantakan ini," perempuan itu berbasa-basi sambil memasukkan semua sampah ke dalam kantong kresek besar di pojokan.

Gue pandang-pandangan sama Bulan. Bingung juga mau komentar apa.

Perempuan itu kemudian mengeluarkan dua gelas air mineral yang diletakkan di depan kami. "Abi sama Uminya Salman, baru aja selesai dikubur."

Jderr! Biarpun udah menerka sejak disapa hansip tadi, tapi ngedenger penjelasan si ibu ini, rasanya kaya kesamber gledek. Selanjutnya gue tusuk air mineral dan langsung mindahin isinya ke lambung. Bulan ambil alih urusan basa-basi dan nanya-nanya ini itu sama si ibu yang ternyata adalah adik dari uminya Salman.

Gue bener-bener jadi penyimak sejati di situ. Ngedenger si ibu cerita tentang proses kematian abi sama uminya Salman yang sangat cepat. "Mati di tempat, mudah-mudahan ngga ngalamin sakit sakratul maut, ya, Mbak," katanya.

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang