57. Buah Kesulitan

3K 264 79
                                    

Sekarang terlibat pertarungan pedang plastik lagi dengan Hamzah. Bedanya kali ini dia melawan mati-matian dengan tangan kosong. Gue bikin anak kecil bercita-cita besar itu ngos-ngosan. Kemudian baru pura-pura kena pukulan telak.

Dia ketawa ngeliat gue jatoh. Padahal cuma pura-pura biar bisa rebahan. Capek juga maen ama anak kicik.

Dengan berkacak pinggang dia nginjek paha gue. "Abang Kamal, Si Orang Gagal, dikalahkan oleh Hamzah, Si Pedang Allah, hahaha!"

Jiah! Orang gagal katanya. Mentang-mentang ngga berhasil mewujudkan cita-cita.

"Yeah!" Gue bangkit, dengan bertongkat lutut, nyerahin pedang sama yang menang. Dia terkekeh, mamerin gigi depannya yang nyaris habis. Bagaimanapun, dia hebat, bisa punya cita-cita sendiri. Ngga perlu mewujudkan cita-cita orang lain. Berusaha keras untuk mewujudkan mimpi orang lain itu melelahkan.

Abinya datang ngga lama kemudian. Si Hamzah pun heboh bercerita tentang kemenangannya pada sang ayah. Ustadz menyimak dengan saksama. Matanya menatap fokus tanpa berkedip seolah seluruh pori-pori tubuhnya mendengarkan anak kecil itu.

Setelah cerita Hamzah berakhir barulah abinya mengajukan permintaan, "Tolong ambilin minum buat Bang Kamal. Kasian udah gembrobyos dikalahin sama Pedang Allah."

Anak itu mengangguk bangga, lalu masuk ke dalam dengan langkah-langkah segagah Tigger.

Ustadz Abdurrahman mengembus napas, lalu berkata, "Gimana rasanya maen sama anak kecil? Kayanya ente udah pantes, nih."

Senyum aja. Nasib jadi penganten baru. Waktu belom nikah ditanya kapan nikah. Giliran udah nikah, disindir mulu soal punya anak. Ga ada puasnya rang-orang.

Kemudian berbasa-basi seputar aktivitas terkini. Ustadz Abdurrahman bercerita tentang pesantren yang beliau dirikan. Katanya terinspirasi dari kasus gue yang bikin remuk tulang-tulangnya. 

Jelas bikin ketawa. "Yang bener aja, Ustadz."

"Eh bener," ujarnya serius.

Dia pun mulai bercerita tentang diskusi panjang yang beliau lakukan dengan Ummi. "Ini pasti bukan tentang apa yang kita pelajari di pondok, tapi ada yang salah di sini. Mungkin di sistemnya, mungkin di kesiapan mental anak-anaknya, mungkin di pergaulan anak-anaknya."

Gue manggut-manggut. Bisa jadi emang gitu. Kalo ditanya sekarang yang diinget cuma tonjokan dan pukulan serta tendangan yang diterima tiap hari. Lalu para senior akan bilang, "Jiah, segitu doang. Jaman gue dulu lebih parah!"

Pernah ada yang berani lapor sama emaknya. Abis itu, dia dapat pukulan dan tendangan lebih banyak. Namanya buruk dan tercela di antero pondok. "Gituan doang ngadu! Banci lo!"

Gue ga berani ngomong sama Mama. Khawatir malah bikin beliau cemas dan sesak napas lagi. Untungnya ngga ada memar di bagian badan yang terbuka. Cuma ada di paha dan tangan aja, itu pun bisa disembunyiin pake lengan baju sama celana.

"Kita mulai sejak proses pertama pedaftaran," cerita Ustadz lagi. "Jadi, yang daftar pondok itu bukan anaknya, tapi orangtuanya," jelasnya santai.

Wow! Menarik. "Jadi yang dites orangtuanya?"

"Bukan, bukan dites. Cuma diwawancara. Prinsipnya ngga ada seleksi selama proses pendaftaran. Bener-bener siapa cepat dia dapat. Begitu kuota terpenuhi, pendaftaran tutup," ujar Ustadz lagi.

Kepo gue, "Wawancara gimana?"

"Ya, cuma ditanya kesiapannya mengikuti seluruh proses. Karena kita bikin kelas persiapan selama satu tahun. Jadi yang berminat masuk pondok itu akan mulai kelasnya satu tahun sebelum lulus SD atau lulus SMP."

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang