Ibu

4.7K 456 496
                                    

Murid-murid berisik ketika Akbar maju ke depan kelas membawa selembar kertas. Diedarkannya pandang menantang ke antero kelas. Mereka yang berisik tadi mulai merendahkan suara. Di baris paling belakang, menyembul di antara kumpulan ibu-ibu, ayahnya tersenyum geli.

Setelah mengucap salam dan memenuhi paru-paru dengan udara, Akbar mulai membacakan tulisannya.

"Saya masih ingat, waktu itu libur kenaikan kelas, Ayah pertama kali mengajak jalan-jalan ke Jakarta sekalian menghadiri resepsi pernikahan Ammah Hana. Hari pertama, kami ke kantor menemui Bunda Tania. Kata Ayah, dia adalah ibu yang menyusui saya."

Tak ada lagi yang  bicara. Kelas hening terasa. Hanya suara tonggeret terdengar samar dari luar. 

"Bayangkan, Teman-teman, Bunda Tania memberi saya susu selama dua tahun! Dua tahun itu mulai dari bayi kecil sampai saya bisa berlari-lari. Lama sekali, bukan?"

Anak-anak tampak tertegun. Entah karena sedang berhitung atau memang tak mengerti apa maksud kalimat Akbar.

"Kata Ayah, susu ibu adalah makanan yang sangat berharga. Nilainya lebih mahal dari emas karena hanya Allah yang bisa membuatnya. Memberi susu jadi seperti memberikan sebagian dari tubuh kepada orang lain. Saya benar-benar beruntung."

Akbar menghela napas. Kamal menahan napas.

"Bunda Tania tak hanya memberi saya susu. Ia juga memberikan nama anaknya pada saya. Saya pun menjadi anaknya, dan Bunda Tania menjadi ibu saya."

Mata Kamal menghangat. Dia tak berani bergerak, khawatir ada yang melihat genangan air di matanya.

"Sekarang, saya tahu. Badan saya bisa tumbuh tinggi begini, salah satunya karena susu dari Bunda Tania yang mengalir dalam tubuh saya. Terimakasih, Bunda Tania. Terimakasih telah memberikan sebagian dari tubuh Bunda."

Kamal mengucek matanya. Ada sedikit air merembes, hanya setetes.

"Hari kedua, Ayah mengajak saya ke kuburan. "Ziarah ke makam Ibu," katanya. Maksudnya ke kuburan ibu saya, ibu yang melahirkan saya."

Kamal menghela napas, menanti cerita apa yang akan dilontarkan anaknya.

"Saya tak pernah bertemu dengannya, tapi dari foto-foto yang ditunjukkan Ayah, dia memang cantik sekali. Senyumnya manis seperti gula, matanya berkilau seperti permata, tak bosan saya memandangnya."

Kali ini bukan setetes. Air mengalir deras dari mata Kamal.

"Kata Ayah, Ibu juga sempat memberi susu. Susu terbaik malah, yang kental mengandung nutrisi. Susu dari Ibu inilah yang mungkin berhasil membuat saya bertahan hidup."

Kamal mengepalkan tangan tepat di depan bibir, berusaha mengabaikan air yang terus meleleh.

"Dengan begini, saya punya dua ibu. Saya tahu, teman-teman hanya punya satu ibu. Jangan iri, ya!"

Ibu-ibu yang ikut hadir di sana mulai menyusut air di sudut mata. Beberapa juga menggunakan ujung baju untuk mengelap ingus yang ikut meleleh.

"Tapi tetap saja, di rumah hanya ada saya dan ayah. Tak ada ibu."

Air sudah membanjir di pipi Kamal. Buru-buru dihapusnya dengan dua tangan sembari berpura-pura menghela napas dalam.

"Lalu saya tanya teman-teman, apa yang dilakukan ibu mereka di rumah?

Ada yang bilang memasak.

Ah, itu yang dilakukan oleh Ayah. Masakannya malah lebih enak dibanding semua mama di kampung ini. Tak percaya? Coba saja!"

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang