Apa? Gue potong langsung omongannya, "Saya ayahnya, Om. Sampe akhirat nanti, yang dipanggil sebagai ayahnya tetap saya!"
"Akhirat? Kamu ngomongin akhirat?" tiba-tiba Om Hendro ngegas. "Bukannya kamu ga percaya kalo ada yang namanya akhirat?"
Sialan! Salah ngomong gue.
"Kalo kamu percaya sama hari akhir, saya ngga perlu carikan ayah baru buat cucu saya."
Hah? "Maksudnya apa, Om?"
"Tiap anak butuh seorang ayah. Saya ngga mau cucu saya kenapa-kenapa karena dia ngga punya ayah." Om Hendro diam sejenak, menghela napas dalam baru lanjutin ngomong dengan suara rendah, "Saya kira, Bulan jadi belok dulu, juga mungkin karena saya yang kurang memperhatikan dia. Kesalahan ini ngga boleh terulang. Cucu saya harus punya ayah."
Grrr! Pengen nonjok rasanya. "Dia udah punya ayah. Setelah dilahirkan dan disusui sampai dua tahun oleh ibunya, serahkan anak saya pada saya ...."
"Ngga akan!" seru Om Hendro sampe semua orang di lobby noleh. "Saya ngga akan membiarkan cucu saya diasuh sama orang yang ngga ber-Tuhan."
Huh! "Emangnya ada cowok yang mau sama janda beranak satu?" Sakit sebenernya ngomong kaya gini. Tapi Bulan terlalu keras kepala, ngga bisa fleksibel sedikit pun. Padahal kalo dia mau sedikit santai, gue ngga akan ikut campur urusan agamanya dan kita bisa tetep bersama meski punya ideologi yang berbeda.
"Yah," Om Hendro agak mendesah, "makanya saya coba jajaki dengan Ardan."
Apa? "Dokter Ardan?" Wat de ....
"Siapa lagi? Dia laki-laki baik, pemahaman agamanya juga bagus. Calon yang tepat untuk jadi ayah dari cucu saya."
Minta digampar, nih, kakek-kakek. Masih berusaha sabar gue, masih berusaha ngomong dengan suara rendah, "Om mau bikin Bulan jadi istri kedua? Atau Om mau bikin Dokter Ardan bercerai?" Langsung kebayang si kriwil, gimana nasibnya kalo orangtuanya cerai.
"Emang kenapa kalo jadi istri kedua? Apa kehormatannya di hadapan Allah jadi berkurang?"
Udah buka mulut, mau nyemprot Om Hendro pake kata-kata berentet. Tapi satu pemikiran tiba-tiba terlintas di kepala. Ini Si Om kenapa ngomong ginian ama gue? Mau nggertak? Mau ngancem?
Di hadapan ahli strategi macam Om Hendro, ga boleh gegabah sembarangan ngomong. Jadi ambil langkah elegan, "Urusan pernikahan Bulan, bukan lagi urusan saya. Satu-satunya yang saya urusin cuma anak dalam kandungannya. Kalo sampe anak itu kenapa-kenapa, saya akan ambil tindakan."
"Ngga usah pikirin lagi anak itu. Ikatan darah ngga sekental ikatan ukhuwah."
Sialan!
Di lobi drop off, Dokter Ardan sigap memberitahu Mang Salam untuk menjemput Om Hendro. Bulan udah nunggu, berdiri di tepi jalan dengan tangan bersedekap. Angin dari utara membuat rok gamisnya melambai-lambai. Dia bener-bener beda banget sekarang. Kalo dulu kaki jenjangnya masih jadi pemandangan publik. Sekarang bahkan di balik gamis itu masih ada celana panjang yang nutupin.
Gue? Cuma bisa memandang tanpa bisa menyentuh. Hhh! Dulu kaya gini karena yakin dia lesbian, tapi sekarang ....
"Ayah pulang duluan, ya? Masih ada meeting di kantor," kata Bulan setelah ayahnya masuk mobil.
"Loh? Mau ke kantor naik apa?" Om Hendro kayanya ga terima.
"Gampanglah, ojol banyak," jawab Bulan, mundur selangkah sambil melambaikan tangan.
"Eh, bentar. Dianter Ardan aja," kalimat Om Hendro kedengeran sebagai perintah.
Dokter Ardan yang mendengar langsung mengernyit. "Baiknya dianter Mas Kamal aja, Pak," usulnya, "Mbak Bulan sedang dalam masa iddah, ngga baik kalo pergi-pergi dengan laki-laki lain."

KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku, Bulan
RomanceWARNING 18+ Cerita ini pertama kali diterbitkan November 2019 dan tamat tahun 2020. Pada tahun 2021, Istriku, Bulan diplagiat dan saya menarik penerbitannya di wattpad. Cerita ini memang tidak diniatkan untuk dikomersilkan. Saya ingin agar maki...