11. Next Step

4.5K 280 23
                                    

Penandatanganan buku nikah adalah acara selanjutnya. Kemudian tanpa disangka, ternyata juga ada acara pembacaan sighat ta'lik. Ini semacam janji dari suami untuk mengabulkan permohonan cerai dari istri jika terjadi hal-hal tertentu.

Buat gue, ini ngga adil. Kenapa ngga ada satu pun janji yang harus diucapkan istri?

Tapi sighat ta'lik ini bakal bikin perceraian jadi lebih mudah dan murah. Jelas, gue ngga bakal menafkahi Bulan lahir batin selama setahun, lalu dia tinggal menggugat cerai. Kemudian bayar sebelas ribu rupiah, perceraian pun sah. Ngebayanginnya sambil ketawa jahat dalam hati.

Selanjutnya acara foto-foto. Pose standar kaya yang diposting orang-orang di IG. Senyum lebar sambil pegang buku nikah dan cincin kawin.

Done!

Tersenyum saat sedang tidak bahagia itu menyakitkan. Tapi akting Bulan keliatan cukup meyakinkan, meski masih ada sisa muram di sinar matanya.

Kemudian MC nyerahin mikrofon ke Om Hendro. Dengan suara serak, beliau mulai pidato, "Alhamdulillah!" sebuah dehaman menjadi jeda, "selesai sudah tugas saya sebagai seorang ayah."

Segumpal napas gue lepasin pelan dari mulut. Buat dia selesai, padahal di sini perjalanan baru aja dimulai. Ngga tahu gimana cara ngejalanin setahun ke depan.

Om Hendro melanjutkan, "Sebagai ungkapan rasa bahagia, saya menghadiahkan dua puluh lima persen saham Purwaka Grup yang menjadi bagian saya kepada menantu saya, Kamal Putra Ardinata."

Hadirin bertepuk tangan. Bisik-bisik terdengar riuh di latar belakang. Semua tampak terperangah.

Bulan tampak sebagai yang paling terkejut. Namun, dia sangat pandai berpura-pura. Sedetik kemudian bibirnya sudah tersenyum sembari merangkul pundak gue. Sebagai penutup, sebuah kecupan ringan juga didaratkan di pipi.

Panitia membawa masuk karton besar bertuliskan 25% Purwaka Grup dan menyerahkannya pada Om Hendro. Gue berdiri, masih dengan bingung, berusaha mencerna tujuan beliau dengan hadiah ini.

"Kok, sekarang, Om?" gue berbisik sambil merangkul Om Hendro. Dia sendiri yang bilang mau dijadiin warisan. Berarti harusnya diberikan setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Kalau dikasih sekarang, kan, jadi ngga enak kalo langsung diserahin ke anak kandungnya.

"Sekarang waktu yang tepat," balasnya juga dalam bisikan.

Sekarang giliran gue ngasih sepatah dua patah kata menyambut hadiah dari Om Hendro. Sumpah, sama sekali ngga ahli urusan beginian. Mendingan disuruh ngejogrok di depan laptop nyelesein gambar satu komik daripada ngomong barang dua menit di depan orang banyak gini.

"Ehem." Jidat gue gatel, keringet ngucur kaya air terjun. "Saya tidak tahu harus bilang apa." Serius! Beneran ngga tahu musti ngomong apa. 

"Saya tahu, ini bukan hadiah. Ini adalah amanah. Dan semoga, saya dapat mengemban amanah ini dengan baik." Udah, gitu aja. Cukup sampe sini dan terima gajih.

Hadirin bertepuk tangan penuh semangat. Ngga ada lagi bisik-bisik. Mata mereka memandang takjub penuh kekaguman.

Sebelum dilanjutin acara makan siang bersama, seluruh hadirin dipersilakan shalat zhuhur berjama'ah. Jelas, sebagai penganten, gue wajib ikut sholat. Biar ngga dibilang kafir trus dimusuhin netijen se-endonesah. Soalnya acara ini juga diliput oleh wartawan infotainment. Sungguh usaha keras demi pencitraan.

Sementara Bulan dengan entengnya bisa menjawab, "Lagi ngga sholat."

Cih! Kaya yang pernah lagi sholat.

Saat makan siang, Bulan udah duluan ditanggap sama keluarga besar gue. Dia duduk semeja sama Mama, Papa, Om, Tante, dan dua sepupu yang sengaja meliburkan diri  demi bisa ikut liburan di kapal pesiar.

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang