"Ih, bo'ong!" bantah Bulan manja dengan pipi merona merah.
"Kapan aku bo'ong sama kamu?"
"Sekarang!" sergahnya cepat. Ditegakkannya badan hingga kita berhadapan. "Aku liat sendiri tadi kamu juga terpesona ngeliatin dia."
"Ha? Terpesona dari mana? Heran, mungkin. Kalo terpesona, ngga masuk akal."
Dia siap melontarkan argumen tambahan tapi cepet-cepet gue cegat, "Mana mungkin terpesona sama cewek biasa selagi punya istri yang cantiknya melebihi bidadari."
Dan pipi itu makin merona ngegemesin. "Bo'ong lagi," katanya, nyubit pinggang gue gemes, "orang yang ga percaya Tuhan, mana mungkin percaya sama bidadari," ujarnya lugas.
Eh, bener juga.
Tanpa diminta, direbahkannya kepala di dada. "Apa kata Ummi sama Ustadz kalo mereka tahu kamu sekarang jadi musuh Tuhan?" tanyanya hampir ngga kedengeran.
Gue ga bisa jawab. Makanya tadi tetep ikut shalat Ashar di masjid, biar mereka ngga perlu tahu. "Aku ngga memusuhi Tuhan."
Bulan mendengkus halus.
"Sesuatu yang ngga ada, ngga bisa dimusuhi."
Sekarang dia tergelak. "Yeah!" Bulan menegakkan punggung untuk melepas kerudung.
Akhirnya gue bisa bebas mengelus halus rambutnya. "Gimana rasanya pake jilbab seharian?"
Bulan mengibaskan rambut, menerbangkan partikel aromatik ke udara. Keharumannya menguar, menguasai indera penciuman. Gue tarik dia dalam dekapan, ngga rela kehilangan satu pun molekul penenang otak ini.
"Waktu dilepas gini, rasanya jadi kaya ada yang hilang," jawabnya jail, "mulai kebiasaan, nih." Dia tertawa. Suaranya menggelitik kuping sampe ke perut.
"Apa mending aku pake buat seterusnya, ya?" selesai bicara begini, dia ketawa lagi.
"Terserah kamu. Yang penting nyaman dan ngga nyusahin." Fokus gue saat ini lebih ke menikmati helai rambut yang menutupi jalur masuk udara ke hidung. Aromanya jauh lebih tegas dari biasa. Mungkin karena seharian tertutup, jadi keharumannya pun seolah ikut terkunci.
"Tapi kalo kamu mau pake jilbab, tekanan sosialnya berat. Ntar begitu kamu bosen dengan model baju kaya gini, kamu bakal susah ganti model."
Dia manggut-manggut. "Tapi kamu lebih suka yang mana?" tanyanya lagi, kali ini agak serius.
"Hmm, rambut kamu ditutupin jilbab, jadi lebih harum."
Dia menoleh, sedikit menengadah sambil merajuk, "Ih, kan aku lagi nanya, kamu lebih suka...."
Udah. Kebanyakan ngomong, kunci aja mulutnya biarkan napas dan lidah yang bicara.
Kayanya tangan gue mulai lepas kendali kali ini. Dia mencengkeram pergelangan tangan sampe jari-jari nyaris kebas ngga bisa gerak. Di antara desah, sebuah tanya terlontar, "Kalo kamu udah dapet segalanya, kamu ngga akan ninggalin aku, kan?"
"Segalanya?" Gue puter tangan untuk melepaskan kuncian. Wajah Bulan terlihat tegang. Pipinya yang tadi merona merah ngegemesin, sekarang keliatan pucat kekurangan darah.
"Tubuhku. Itu yang kamu inginkan, kan?"
Pengen ngakak, ngga tega. Bulan ngomong udah serius banget. "Jadi buatmu, tubuhmu itu segalanya?"
Bulan menarik diri, merapikan dua kancing gamisnya yang sempet gue lepas tadi. "Ya ngga. Tapi, itu yang kamu incer, kan?"
"Apa yang aku incer? Tubuhmu?" Sekarang gue yang narik diri, melipat tangan, membuat jarak. Kata-kata Bulan terasa sangat merendahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku, Bulan
RomanceWARNING 18+ Cerita ini pertama kali diterbitkan November 2019 dan tamat tahun 2020. Pada tahun 2021, Istriku, Bulan diplagiat dan saya menarik penerbitannya di wattpad. Cerita ini memang tidak diniatkan untuk dikomersilkan. Saya ingin agar maki...