89. Petaka

2.7K 266 116
                                    

"Petaka?" Alis Bulan nyaris bertaut.

Yah, petaka. Kelebat ekspresi Salman di saat-saat terakhirnya bermain lagi di benak, di antara rona merah senja yang makin menghapus jingga. Seolah kolam darah telah mengubah warna cakrawala.

Remaja-remaja lelaki berjalan berkelompok-kelompok dari arah asrama. Mereka mengenakan gamis rapi atau pun baju koko yang dipadankan dengan sarung. Gue pernah jadi salah satu dari mereka. Menjelang maghrib gini, jantung akan mulai berdegup. Kadang tangan ikut gemetar dan kaki seakan lemas. Inginnya tenggelam dalam kolam merah di langit senja. Karena setelah isya nanti, bukannya belajar bersama buku pelajaran, gue bakal dipaksa belajar bersama buku tangan.

Suara adzan menyentakkan dari lamunan, gue ajak Bulan berdiri untuk shalat maghrib.

"Kamu masih utang penjelasan sama aku," rajuk Bulan seraya merangkul tangan.

"Ngga bisa diganti pake ciuman aja?" bisik gue di telinganya.

"Ngga!" balasnya cepat, "tapi kalo sebagai DP, boleh, deh."

Halah!

***

Abis shalat maghrib, dicegat sama Ustadz Arifin, "Kasih motivasi buat adek-adek kelas, ya?"

Haduh! Motivasi apa? Cara cepat melupakan Tuhan? Tiba-tiba badan jadi panas dingin.

Ustadz Arifin langsung pegang mikrofon, memerintahkan para santri untuk duduk melingkar. "Hari ini kita kedatangan tamu istimewa," katanya memulai pembicaraan.

Jantung udah kaya mau copot rasanya. 

"Yang di samping ana ini," Ustadz Arifin mulai memperkenalkan gue, "alumni sini juga. Kalo ngga salah, sepuluh tahun yang lalu?" 

"Duabelas, Ustadz," sedikit meralat perhitungan beliau. Sementara jantung di dalam dada udah ngga keruan kecepatan detaknya.

"Nah, itu. Sekarang udah jadi orang sukses. Kemaren ketemu sama Ustadz Abdurrahman, beliau cerita kalo kakak kelas kalian ini, orang yang sangat baik hati." Kemudian ngalir ceritanya tentang Pak Ahmad dan masjid di Jombang.

Hadeh! Pengen kabur pake banget, jadinya. Inhale-exhale.

Akhirnya pengeras suara dikasihin juga. Setelah narik napas dan berdeham sedikit, lalu ngucap salam. Kali ini, lidah udah lebih ringan ngucapin salam lengkap dengan menyebut nama Allah. Ngga disangka, ternyata gue emang udah berubah.  Mungkin efek latian berkali-kali dalam sehari waktu shalat wajib.

Ga tahu musti ngomong apa di depan para santri yang masih suci ini. Bukannya memotivasi, gue takut malah menodai. Apalagi Ustadz Arifin minta ngasih pesan-pesan sama mereka. "Pesan ana cuma satu untuk adek-adek di sini," sampe ngomong kaya gini, sebenernya masih belom pasti mau ngasih pesan apa.

Ujung-ujungnya malah curhat, "Dunia di luar sana, ngga sama dengan di sini. Ada banyak hal yang terjadi di luar sana, dan kita benar-benar harus pandai memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Terlebih lagi mana yang benar dan mana yang salah. Kadang kebenaran keliatan seperti kesalahan, dan kesalahan keliatan seperti kebenaran."

Kepala tiba-tiba dipenuhi imaji orang-orang yang merasa benar namun tak bisa disebut benar. Papa, Mama, Bulan, Riana, Ayah, Bapaknya Riana, Salman. Jantung berdetak makin keras ketika lagi-lagi bayangan Salman muncul dengan mata membulat dan mulut ternganga.

"Untuk dapat memilih dengan benar, panduan kalian juga harus benar. Dengan begitu, ngga akan ada kata menyesal."

Iya, ngga nyesel kaya gue.

Para remaja lelaki yang melingkar di hadapan gue manggut-manggut. Di bagian paling belakang, tepat di antara dua pintu masuk, keliatan Bulan duduk bersimpuh dengan bibir yang gue yakin menyungging senyum. 

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang