87. Akhir

3K 278 120
                                    

Udah ashar waktu nyampe rumah sakit. Gue parkir mobil di masjid ga jauh dari rumah sakit. Bulan semringah banget keluar dari mobil. "Pertama kali ke masjid bareng kamu," katanya dengan senyum lebar dan mata berbinar.

Halah! "Bukannya dulu udah pernah?"

Dia ngerangkul lengan gue dan bilang, "Dulu kamu cuma nganter aku. Sekarang kamu juga mau ikutan sholat, kan?"

Yeah, gitulah.

"Semoga sekarang kamu bisa merasakan kehadiran-Nya," kata Bulan disertai kerlingan mata, sesaat sebelum berpisah karena pintu masuk yang berbeda.

Daripada di mobil, gue suruh Bulan nunggu di masjid aja. Bisa sambil selonjoran atau rebahan. Sementara gue jalan kaki ke rumah sakit yang jaraknya ga nyampe seratus meter.

Cemilan sore lagi ditata di atas nakas waktu gue nyampe di ruang perawatan Om Hendro. Nuansa biru yang menenangkan jadi tema utama kamar itu. Cahaya mentari sore masuk melalui jendela kaca yang tirainya dibuka lebar.

Om Hendro menyambut dengan tatapan yang susah banget diterjemahkan. Antara seneng dan kesel, atau mungkin juga nyesel. Suara ventilator sambung-menyambung dengan monitor detak jantung. Sekarang ditingkahi bunyi gesekan karet sneakers dengan lantai akibat langkah kaki gue.

"Assalamu'alaikum, Om."

"Wa'alaikumsalam," suaranya serak. Kondisinya keliatan drop jauh dibanding waktu ngalangin gue kencan bareng Bulan kemaren.

Gue ambil kursi, mendekat ke tempat tidur supaya bisa dipake buat duduk. Bubur sumsum yang tertata rapi di atas nakas, mengingatkan waktu gue nemuin Om Hendro sebelum nikah dulu. Rasanya sama kaya waktu itu. Yang beda cuma kondisi Om Hendro, kali ini keliatan jauh lebih lemah.

"Dimakan, Om, buburnya?"

Om Hendro menggeleng lemah.

Gue ambil mangkuk bubur sumsum dan ngebuka plastik penutupnya. "Bulan nunggu di masjid sebelah."

Mata Om Hendro agak kebuka mendengar nama anaknya.

Gue tuang gula merah cair ke atas bubur. "Dia pengen ke sini, tapi ibu hamil ga boleh masuk area ICU."

Meja makan gue tarik supaya bisa pas di depan Om Hendro. "Kalian rujuk?" suaranya kaya diseret keluar dari tenggorokan.

"Iya." Gue taro bubur sumsum di atas meja. "Bulan minta video call sama ayahnya. Tapi baiknya, Om Hendro makan dulu biar ngga terlalu pucet. Kita ngga mau dia tambah khawatir, kan?"

Dari balik masker transparan, seringainya terlihat samar. "Kamu berhasil ngebo'ongin Bulan?" cetusnya tetap sinis meski kata-kata seolah diseret paksa.

Itu tuduhan yang sangat merendahkan anaknya sendiri. "Dia bukan perempuan bodoh."

Om Hendro menghentikan suapannya dan mengenakan kembali masker agar dapat bernapas lebih leluasa. "Lalu kenapa?" katanya lagi.

Angkat bahu. Gue sendiri ngga paham. "Mungkin karena dia sadar ngga ada yang lebih baik dari saya." Halah! Kepedean.

"Omong kosong!" sentak Om Hendro yang mirip suara orang tercekik.

Males jawab kalo udah mulai kaya gini. Gue berhenti ngomong, sampe akhirnya bubur sumsum di mangkok sama sekali ngga ada sisanya. Saat itu baru gue kasih hape buat vicall-an sama Bulan.

"Assalamu'alaikum, Ayah!" suara Bulan kedengeran ceria begitu panggilan video diterima. "Ayah baik?"

Om Hendro mengulas senyum dan mengangguk pelan. Matanya agak berembun waktu berusaha bicara, "Kamu sehat?"

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang