"Kenapa?" Bulan bertanya dalam nada khawatir sambil ngelus dahi gue.
Mengembus napas, mengeluarkan kesah. "Sekali lagi, nuraniku berkhianat."
Dia tercenung. Hanya sebentar, lalu mengajukan usul, "Mau aku yang nyetir?"
Yah, pikiran udah terlalu kacau buat konsentrasi sama jalanan yang ngga kalah ruwet. Mending mlipir daripada bikin sakit kepala. Gue keluar untuk pindah ke bangku navigator.
Malam merangkak, menyebarkan kegelapan. Meski lampu-lampu jalanan berjuang memberi penerangan, kelam tetap tak terhindarkan.
"Kamu pernah nanya apa kita butuh sesuatu yang lebih besar dari nurani sebagai panduan dalam memutuskan pilihan moral."
Bulan menggumam sebagai jawaban. Pandangannya fokus menelisik jalanan yang ramai oleh seliweran kendaraan.
"Sekarang aku yakin jawabannya adalah iya."
"Oya?"
"Ya."
"Kenapa?"
Berat mengakui kesalahan, tapi seorang lelaki sejati tak akan ragu berdiri demi kebenaran. "Karena berkali-kali nuraniku salah menilai. Padahal udah hati-hati banget, tapi tetap aja kemampuanku terbatas. Cuma sebatas yang aku tahu dan aku pahami. Banyak hal ternyata ngga bisa dipahami bahkan oleh nurani sekali pun."
Bulan manggut-manggut. Meski masih tetap mengawasi yang terpampang di depan, dia merespon dengan satu kata, "Kesimpulannya?"
"Aku butuh sesuatu yang udah pasti benar untuk jadi pemandu utama."
Bulan tak langsung merespon. Dia menarik rem tangan karena mobil di depan pun berhenti akibat kemacetan total di ruas jalan ini. "Dan apakah yang udah pasti benar?"
Ini adalah ujung dari pertanyaan. Gue cuma bisa angkat bahu karena ngga tahu.
"Kalo kita ngga tahu apa yang pasti benar, gimana kita bisa punya panduan?"
Bener pake banget. "Berarti kita hidup tanpa panduan."
"Mungkinkah?" tanyanya lagi.
Pertanyaan menarik. "Mungkinkah kita hidup tanpa panduan?"
Dari kejauhan, sesosok polisi berdiri dengan tongkat berkelip-kelip di tangan. Cahayanya berayun-ayun mengatur lalu lintas demi mengurai kemacetan yang makin mengesalkan. Dengan sabar dia memandu tiap mobil agar perjalanan kembali lancar.
"Mungkin kaya gini hidup kita kalo ngga ada panduan."
"Kaya gimana?" tanya Bulan melepaskan rem tangan karena jalanan di depan sudah mulai terbuka.
"Macet, ngeselin, lama-lama bikin sakit jiwa."
Bulan tertawa. "Sebenernya aku ngga yakin kalo ada orang yang sepenuhnya hidup tanpa panduan."
"Oya?"
Dia memperbaiki posisi punggung yang mungkin mulai pegal. "Kamu, deh, contohnya. Panduanmu adalah nurani, yang sekarang ternyata berkhianat sama kamu, ya, kan?"
Oke, giliran gue manggut-manggut.
"Panduanku ...." Dia memiringkan kepala sedikit. "Kayanya adalah kebahagiaan pribadi."
Spontan gue ketawa. Hedonis banget emang, nih, anak.
"Loh? Beneran! Buatku tuh, yang penting hepi, deh. Karena kebahagiaan itu, kita yang bikin. Kamu tahu sendiri, aku ditimpa kesedihan itu, udah berkali-kali. Depresi, nyaris bunuh diri juga udah pernah. Kalo aku terus-terusan mikirin kesedihan, kapan bahagianya? Aku harus mikirin kebahagiaan dan jadiin kebahagiaanku sebagai prioritas utama. Cuma itu caranya supaya bisa tetap bertahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku, Bulan
RomanceWARNING 18+ Cerita ini pertama kali diterbitkan November 2019 dan tamat tahun 2020. Pada tahun 2021, Istriku, Bulan diplagiat dan saya menarik penerbitannya di wattpad. Cerita ini memang tidak diniatkan untuk dikomersilkan. Saya ingin agar maki...