25. Jangkar Masa Lalu

3K 266 47
                                    

Koridor ruang perawatan Om Hendro super lengang. Langkah kaki bergaung di tiap sudut ruangan. Dari jendela kecil di pintu, keliatn Bulan lagi ngobrol santai sama ayahnya. Wajah orang tua itu takzim menyimak perkataan putrinya. Syukurlah, mereka akhirnya bisa berada di jalur yang sama. Tak lagi berseberangan seperti tadi pagi.

Mending beranjak dari muka pintu, ngga enak kalo sampe mengganggu ayah dan anak yang lagu reunian. Hidup emang ngga bisa ditebak. Musuh hari ini bisa aja jadi sahabat esok pagi. 

Di ujung koridor, sebuah jendela besar menggantikan padatnya dinding. Pemandangan dari sana mengingatkan bahwa kita berada di lantai lima. Lampu-lampu keliatan kaya kunang-kunang bertengger di dedaunan. Di langit, purnama menggantung sendirian.

Ingatan melayang pada kenangan yang sengaja dilupakan. Satu episode panjang kehidupan yang memuakkan. Sialnya, satu persatu muncul lagi tak tertahankan. Bikin lemes dan gue harus duduk bersila supaya ngga jatoh terjengkang.

Malam ini, mirip banget sama malam-malam itu yang dinanti setiap bulan. Purnama di langit dan pemandangan kota di bawah. Bedanya, waktu itu, cahaya lampu-lampu kecil yang ada di depan mata berasal dari ceruk Kota Bogor. Gue duduk di lantai dua masjid, sendiri, sengaja kabur dari hiruk suara hafalan dan muroja'ah

Bulan purnama akan terbit sedikit demi sedikit. Warnanya berangsur mulai dari merah, merah muda, sampe jadi putih. Duduk bersila di situ, menanti tiap fase perubahan yang ngga jelas batasnya. Di tangan, sebuah mushaf untuk menghafal, tapi sekarang, tangan gue kosong. Semua hafalan hilang. 

Bukan, bukan hilang. Emang sengaja dihilangkan. Mengingatnya kaya membuka luka. Gue menolak untuk terluka lagi.

"Hai," suara Bulan tiba-tiba ngagetin. Tau-tau dia udah duduk aja di samping. Kulit putihnya bercahaya kena pantulan sinar bulan. Warna merah menghiasi pucuk hidung yang mungkin terlalu banyak dikepit untuk menghentikan aliran lendir.

"Ngapain?" tanyanya, "kok ngga masuk? Cuma ngintip aja?"

Ternyata ketahuan. Cengengesan aja gue.

"Dicariin Ayah, tuh."

Gue berdiri, ninggalin Bulan menghadap jendela, tapi tangan halusnya sigap nahan lengan. "Kamu nangis?" dia menyelidik langsung ke dalam mata.

"Ngga!" Gue lepasin tangannya sekali hentak. 

Sialan! Kenapa dia bisa liat? Gue usap muka dengan kedua tangan. Jangan sampe Om Hendro juga liat.

***

"Apa kabar, Om?" Gue duduk di bangku yang tadi diduduki Bulan.

Om Hendro diam sejenak. "Kamu masih panggil saya, Om?" ujarnya parau.

Males jawab. Sorry, dia masih jauh dari citra seorang ayah buat gue. 

"Terima kasih," katanya lagi, "saya belum pernah melihat Bulan sebahagia hari ini."

Senyumin aja. Orang tua ini kayanya masih belom bener-bener sadar apa yang sebenernya terjadi. "Saya ngga melakukan apa-apa, Om."

Om Hendro tersenyum tipis. "Saya bisa lihat, Bulan lebih bahagia setelah nikah sama kamu."

Ini bikin ngakak. "Yang bikin dia bahagia bukan saya, Om."

"Siapa lagi?" Om Hendro menjawab cepat. Ada kecemasan dalam suaranya.

"Ayahnya."

Dahi Om Hendro makin mengerut.

"Dia baru sadar, ternyata ayahnya ngga pernah ninggalin dia, ngga pernah lupain dia, ngga pernah berhenti sayang sama dia."

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang