Bulan tiba-tiba nelepon waktu gue baru masuk lift. Suaranya kedengeran keburu-buru sekaligus excited, "Cepetan sini!"
"Kenapa?"
"Pokoknya cepetan!" Lalu telepon ditutup gitu aja.
Hadeh! Apa yang musti buru-buru tapi bukan situasi darurat? Kalo situasi darurat dia pasti telepon rumah sakit dan yang nelepon gue pasti Hana.
Gue telepon balik. "Bentar lagi adzan, kita ketemuan di musholla aja, kaya biasa." Langsung tekan tombol merah, lift udah nyampe di lantai atap.
Ayah menyulap atap menara ini menjadi area rekreasi bagi seluruh karyawan. Hamparan rumput hijau, tanaman perdu, juga gazebo untuk tempat duduk-duduk ada di sini. Di salah satu pojoknya, dibuatkan area kecil tanpa dinding untuk shalat.
Gue baru tahu soal lantai atap ini setelah mulai bolak-balik jemput Bulan. Area ini jadi tempat favorit karyawan, ngga peduli mereka shalat atau ngga. Malah ada yang ngaku tadinya males shalat, tapi berhubung tiap hari naik ke sini buat refreshing, jadinya tergoda juga buat shalat. Denger ini, gue ngerasa harus ngacungin jempol sama cara Ayah bikin semua karyawannya rajin sholat. Bukan dengan bikin aturan yang memaksa mereka buat shalat, tapi dengan menawarkan kesenangan yang berhubungan dengan shalat. Amazing!
Ada sedikit kekurangan di musholla ini. Karena area yang terbuka, pemisahan antara tempat laki-laki dan perempuan jadi kurang jelas. Kesannya nyampur aja semua.
Gue jadi bisa liat Bulan duduk di bangku panjang, lagi susah payah masang kaos kaki. Perut yang makin besar mulai ngalangin pandangan ke bawah dan menjangkau kaki pun jadi aktivitas yang menyulitkan. Padahal ini masih belom segede perutnya Tania.
Dengan bertongkat lutut, gue ambil alih proses pemasangan kaos kaki. "Tau ngga," ujarnya dengan nada penuh semangat, "tadi Sweety nendang, loh."
"Hah?" Gue sampe brenti masangin kaos kaki. "O, ya?"
"Iya!" Suaranya ditahan supaya ngga teriak, tapi matanya berbinar tak tertahankan. "Kamu sih, tadi disuruh dateng, ngga mau."
"Trus sekarang?" Gue pegang perutnya. "Ayo, Sweety, tendang lagi." Ngga ada pergerakan. Yah, nyesel gue.
"Tapi ...." Bulan megang pipi gue dengan dua tangannya, maksa mata untuk bertatapan lekat. "Kamu mengabaikan panggilanku demi mendatangi panggilan Allah, aku terharu," lanjutnya lirih penuh perasaan.
Gue terpana. Sebenernya ngga gitu juga, ketemuan langsung di musholla jelas lebih efisien daripada ke kantor presdir dulu baru ke musholla. Tapi, keputusan itu ternyata malah lebih disukai sama Bulan. Terserahlah, yang penting dia seneng. "It's worthed a kiss, I guess."
Bulan ketawa. "Ntarlah, di kantor," ujarnya mengedipkan mata.
Gue lanjut masangin kaos kaki dan sepatu.
"Sebenernya aku agak khawatir soal perubahanmu," katanya lagi, "aku seneng kamu berubah, tapi juga sadar, kamu berubah karena demi aku sama Sweety. Gimana kalo aku ngga ada lagi? Atau akhirnya Sweety ditakdirkan ngga jadi lahir?"
Astaga! Dia balik lagi ke topik itu!
"Apa kamu akan tetap rajin shalat dan ngaji?"
Kedua sepatu Bulan udah terpasang sempurna. Seorang karyawati melempar senyum dan ikut duduk untuk masang sepatu. Gue bales senyumnya dan segera ngulurin tangan ke Bulan. "Ayo, balik." Pembicaraan kaya gini ga seharusnya diteruskan di area publik.
Bulan nurut, langkah kakinya keliatan ringan. Bibirnya mengulas senyum bahagia. "Kurasa aku ngga perlu khawatir lagi, kan?" tanyanya sedikit mendongak nyari perhatian, "kamu udah meletakkan panggilan Allah lebih penting dari aku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku, Bulan
RomanceWARNING 18+ Cerita ini pertama kali diterbitkan November 2019 dan tamat tahun 2020. Pada tahun 2021, Istriku, Bulan diplagiat dan saya menarik penerbitannya di wattpad. Cerita ini memang tidak diniatkan untuk dikomersilkan. Saya ingin agar maki...