80. Merapikan Pikiran

2.8K 270 102
                                    

Matahari makin turun ke arah barat, semburat cahaya merahnya tumpah di angkasa. Bulan memandang jauh ke luar jendela. Matanya mengawang entah kemana.

Suara adzan Maghrib menggema dari hape. "Mampir dulu ke masjid," titahnya lembut.

Dia udah balik ke mode Presdir sementara gue sopirnya. "Ok, Google. Masjid terdekat." Peta online kemudian beralih mengarahkan ke masjid terdekat, sekitar satu kilo dari sini.

Gue sendirian di parkiran, dengan pikiran kacau ngga jelas. Suara iqamah nyuruh buat segera berdiri menunaikan shalat.

Whatever! Gue butuh ngerapihin pikiran sekarang. Keluar mobil dan mulai hidroterapi dengan prosedur wudhu.

Shalat udah jadi meditasi paling asik buat gue. Kita ngga perlu duduk diam, malah disuruh untuk terus bergerak sementara pikiran hanya fokus di satu titik. Buat umat Islam mungkin fokus pada Allah adalah tujuannya Buat gue sekarang, fokus pada tiap bacaan shalat yang didenger dan dilafalkan jadi pilihan.

Fokus pada kata-kata bikin otak yang kacau jadi rapi. Ini kaya nyusun ulang berbagai pikiran sampe kembali pada tempatnya.

Beberapa waktu lalu, terpaksa ngulang-ngulang hafalan karena Bulan seneng banget dengerin gue murottal. Banyak surat yang akhirnya kembali ke dalam memori. Salah satunya yang dibacain imam ini, al-Mulk. Ayat pertamanya menohok, bikin nahan napas dan mikir. Ini yang dulu dibacain si Khalid waktu perang lawan gue. Ini yang dibacain Ustadz Abdurrahman waktu anaknya nangis. Ini yang gue dapet waktu pikiran kacau.

Di raka'at kedua, imam milih ayat yang lebih pendek, al-Insyirah. Ini yang dibahas khatib waktu gue akhirnya nyobain shalat Jum'at lagi. Gosh! Kenapa idup gue kaya muter-muter di dua ayat itu doang?

***

Gue masih ngiket tali sepatu, tiba-tiba Bulan udah muncul di hadapan. "Kamu abis sholat?" tanyanya takjub.

Rambut masih basah kena air gini, apa dia masih harus nanya? "Ngga usah terlalu berharap," gue kencengin tali sepatu dan berdiri, "ayo, pulang!"

Dia ngeduluin sambil ngasih perintah lagi, "Kita ke dokter."

What? "Kenapa?"

Dia senyum dan buka pintu mobil dengan anggun. Gue masuk dan nanya lagi, "Ada masalah?"

"Ada bercak darah di CD tadi."

Astaga! Bener feeling gue, pasti kenapa-kenapa tadi pas dia ngelus-elus perut. Ga pake nanya lagi, langsung tancap gas ke rumah sakit.

Untung, Bu Dokter Kandungan praktik hari itu. Jadi bisa ketemu dengan dokter yang sama.

Kali ini Si Sweety diem aja di layar USG. "Kok, ngga berenang-renang kaya kemaren, Dok?" Bikin khawatir.

"Hmm, lagi capek kali," jawab Bu Dokter disertai senyum, "tapi sehat, kok. Semua normal."

Fiuh, lega gue.

"Cuma kita belom tahu penyebab fleknya, jadi observasi dulu tiga hari. Buat jaga-jaga,  bedrest, ya."

Bulan keliatan shock denger kata bedrest.

"Emang apa penyebabnya, Dok?" Kesian juga kalo Bu Presdir disuruh bedrest.

Bu Dokter menjawab masih dalam mode senyum, "Mungkin karena rahimnya lemah, tapi bisa juga karena kecapekan, bisa karena stress. Makanya, Pak, dijaga biar ibunya ngga stress, ya."

Deg! Apa yang bikin dia stress? Apa karena menurutnya gue ga mau memperjuangkan cinta? Emangnya dia mau memperjuangkannya?

"Iya, Dok," Bulan narik napas, menegakkan punggung, "berarti harus manajemen emosi biar ga stress, ya Dok?"

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang