Bulan bergeming di depan pintu, menyungging senyum canggung ngajakin sarapan.
Ngga mungkin datang ke sini cuma buat ngajak makan. Udah dibilang tadi, cukup telepon, pasti dateng. "Mau masuk?" Gue buka pintu lebih lebar, memberi ruang buat dia masuk.
Ragu-ragu Bulan ngelangkahin kaki ke dalam kamar, cuma selangkah. Om Hendro juga cuma ngeliatin aja, nungguin langkah kedua.
Gue gandeng tangannya ngga sabar. Anak ini ngga jelas. Ngomong ama bapak sendiri aja ribet amat.
Di tepi tempat tidur, badannya agak gue dorong biar duduk. Dia duduk dengan kedua kaki rapat dan tangan saling menggenggam di atas paha.
Apa-apaan, nih, anak. Berhadapan sama bapak sendiri segitu formalnya.
"Ayah sakit?" suaranya nyaris ngga kedengeran.
"Kamu liat sendiri," jawab Om Hendro dalam suara datar.
Hening.
Pegel ngeliat interaksi bapak sama anak ini, jadi ikutan duduk di pinggir ranjang, tepat di belakang punggung Bulan. Gue masukin jari ke dalam genggaman tangannya. Embusan napasnya kedengeran pelan barengan sama genggaman jarinya yang kebuka.
"Kenapa Ayah ngga cerita," Bulan ngomong lagi, lebih lirih.
"Apa ada bedanya buatmu?" ketus banget Om Hendro.
Hadeh! Padahal gue tahu dia sayang banget sama Bulan, tapi kenapa yang keluar malah sikap kaya gini. Apa maunya si bapak?
Genggaman tangan Bulan kerasa makin kuat di jari-jari. "Ngga, ngga ada bedanya. Sejak dulu jua ngga ada bedanya."
Hah? Apa-apaan dua orang ini? "Oya, Bulan kemarin cerita kalo dia pernah ngalahin Om Hendro main catur," gue coba ngalihin fokus. Daripada memusatkan diri di emosi negatif yang ngerusak, mending mengenang kebahagiaan yang pernah dirasain bersama.
Tapi Om Hendro bukan orang yang gampang disetir. Dia balih lagi ngomongin hal yang ngeselin, "Gimana kabarnya perempuan itu?"
Bulan mempererat genggaman tangannya. Jari gue rasanya mau patah. "Aku berantem sama dia. Puas?"
Om Hendro menyeringai. Ya, dia puas. Keliatan banget di sinar matanya.
"Tapi aku ngga akan ninggalin dia!"
Sekarang waktu buat ngebales remasan tangan. Lebar telapaknya ngga seberapa dibanding telapak tangan gue. Dia ngelawan, tapi sia-sia, kekuatannya ngga seberapa. Hati-hati bicara makanya.
"Kamu mau masuk neraka? Kamu mau dapat murka Allah? Sudah seberapa tebal kulitmu sampai sanggup melawan-Nya?" Om Hendro melanjutkan berapi-api.
Mulut Bulan sudah membuka hendak membantah, tapi gue rangkul perutnya supaya berhenti ngomong.
"Manusia diciptakan berpasang-pasangan, Bulan. Dan yang namanya berpasangan, pasti berbeda, ngga mungkin sama. Begitu caranya kita hidup, saling menyempurnakan."
Bulan menghempaskan tangan gue dari perut dan genggamannya. "Hidupku sempurna ketika bersamanya. Aku ngga butuh apa-apa lagi ketika bersamanya."
Om Hendro ketawa sinis. "Bagus! Pergi saja bersamanya dan tinggalkan semua yang berhubungan dengan Ayah!"
Bulan mendengkus trus balik keluar kamar.
Jadi nyesel bawa dia masuk. Gue liat mata Om Hendro berkilat nahan marah. "Saya tahu, Om sayang banget sama Bulan. Tapi kenapa di depan dia, yang Om tunjukin cuma kemarahan?"
Gue tinggalin Om Hendro sendiri di kamar. Bulan udah berdiri di depan lift, nungguin kotak besi itu naik dari dek sepuluh. "Kenapa kamu suruh aku masuk tadi?" katanya gusar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku, Bulan
RomanceWARNING 18+ Cerita ini pertama kali diterbitkan November 2019 dan tamat tahun 2020. Pada tahun 2021, Istriku, Bulan diplagiat dan saya menarik penerbitannya di wattpad. Cerita ini memang tidak diniatkan untuk dikomersilkan. Saya ingin agar maki...