82. Demi Dia

2.8K 263 75
                                    

Dikeluarkannya ponsel dari saku jaket bagian dalam. Sebuah notif dari Om Hendro. Dia ngirim gambar kertas lecek bertuliskan, Jaga kesehatan, ya Sayang. Di bawahnya tertulis, "Peringatan terakhir: jangan dekati Bulan lagi."

Gue bales, "Peringatan terakhir: Jangan ganggu hidup saya lagi!"

Done! Capek gue.

"Siapa?" Hana nanya sambil berusaha ngintip layar hape.

"Om Hendro."

"Om?" tanyanya lagi dalam tawa, "sama mertua sendiri manggil Om."

"Udah cerai."

Tawa Hana makin keras ngeledek. "Di mulut bercerai, di hati terikat."

Ha ha! Ketawa aja terus! "Yeah! Tadi dia ngeflek." Tiba-tiba pengen curhat.

"Eh? Trus?"

Kekhawatiran tergambar jelas di wajah Hana. "Hasil USG ga ada masalah. Mungkin kecapekan atau stress. Dokter nyaranin bedrest tiga hari buat observasi."

"Alhamdulillah," ujarnya nyembunyiin mulut yang mulai nguap-nguap.

Kesian banget, anak baik-baik malah begadang di pantai. "Sini," gue kasih pundak biar dia nyender kalo mau tidur.

Dia geleng-geleng dan ngulet. "Aku ngga ngantuk."

Elah! Keliatan banget di mukanya kalo ga biasa begadang, pake pura-pura.

"Trus, kamu gimana?" tanyanya sambil nguap lagi.

Ombak menghantam dinding pembatas yang kami duduki. Hanya sampai beberapa senti di bawah sneakers lalu berbalik ke laut bersama desisan panjang.

"Heh, ditanyain malah ngelamun?" desaknya dengan bertopang dagu.

"Yah, gimana?" Ngelempar pandang ke langit penuh bintang. Rame kelap-kelip di sana, tapi tetep aja, pemandangan kerasa kosong, ngga ada bulan. "Pengennya ada sama dia sekarang ini. Nemenin dia bergelung di tempat tidur. Tapi ngga bisa."

Ga ada jawaban dari Hana selain gumaman.

"Syaratnya terlalu berat."

"Apa beratnya, sih Mas? Tinggal ngakuin ngga ada ilah selain Allah. Beres!" Hana meluruskan punggung dan bersedekap. 

Angin malam menampar kening, ngga keras, cuma cukup buat bikin melek. "Hhh! Itu kaya merevisi semua yang aku yakini sebagai kebenaran."

"Ah! Lebay!" Hana akhirnya bersandar di pundak gue, ga tahu sadar apa ngga. "Kamu ngga perlu merevisi apa pun. Kamu cuma perlu melanjutkan perjalanan. Semua emang bermula dari ngga ada, lalu bergerak menuju ada. Ya kan?" 

Gue mau jawab, ngga jadi. Dia udah merem dengan tenang.

***

Paginya kebangun karena perut bergolak kaya ada tornado muncul, melesak ke kerongkongan. Gue muntah di pasir, kayanya masuk angin gara-gara begadang di tepi pantai, atau Cauvade Syndrome yang sekarang makin hebat.

Matahari udah agak tinggi, pagi ini cerah sekali. Tapi kerongkongan gue pait. Untung Hana bawa botol minum di ranselnya, lumayan buat netralisir rasa.

"Aku udah telat, mo langsung ngantor aja," kata Hana setelah botol minumnya gue balikin.

Baru sadar, jaket udah tersampir lagi di pundak. Kayanya Hana udah bangun dari tadi dan balikin jaketnya ke gue.

Gue pasang lengan jaket buat nahan angin pantai yang sekarang bikin sakit kepala. "Aku ngga bisa nganter kamu, pusing banget." Lipet kaki deket ke perut. Kolaborasi pusing sama mual hari ini bener-bener cakep, bikin ga berkutik.

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang