"Jadi kamu butuh panduan yang seperti apa?"
Bulan terdiam. "Entahlah." Lalu kembali menyandarkan punggung di samping gue, bergelung sambil ngerangkul tangan. "Mungkin sesuatu yang selalu tetap, tak pernah berubah. Di tengah perubahan yang sangat cepat di zaman serba instan ini, harus ada yang tetap supaya kita ngga kehilangan arah."
Ha ha ha! Permintaan konyol. "Mana ada yang kaya gitu."
"Harusnya ada. Kalo ngga ada, kita ngga akan punya panduan. Dan kita semua pasti akan tersesat," bantah Bulan.
"Sayang, kekekalan itu ilusi. Perubahan itu nyata."
"Kalo gitu, kita ngga mungkin punya panduan," ucapnya masygul.
Dia makin rapat bergelung di tangan. Kamar makin gelap, dengan lampu baca menjadi satu-satunya cahaya. Di luar, langit indigo dihiasi bintang-bintang. Gemerlap seperti manik-manik di gaun sang malam.
"Seperti yang kamu bilang, kita perlu punya panduan. Tapi ngga bisa yang kaku, dia juga harus fleksibel hingga bisa sesuai zaman apa pun."
"Tapi, kalo dia ikut berubah, namanya bukan lagi panduan. Bagaimana mungkin panduan malah dipandu oleh perubahan zaman?"
Hmm, masuk akal.
"Harusnya panduan itulah yang memandu perubahan zaman."
"Memandu perubahan ...." Dua kata yang agak sulit dicerna.
Tak ada kata-kata lain. Mungkin kita sama-sama tenggelam dengan pemikiran masing-masing. Ngga nyangka pembicaraan kemaren ternyata beneran dipikirin sama Bulan. Lumayan, sekarang ngga perlu lagi mikir sendiri.
Keheningan itu tiba-tiba berantakan oleh suara perut yang bernyanyi. Bulan terkejut dan bangun dengan tertawa. "Sorry," katanya, "lupa tadi makan malammu udah dianterin sama petugas dapur."
Dia berdiri lalu menarik meja yang terlipat di kaki tempat tidur. Kemudian dengan cekatan menata makan malam di atasnya. Setelah tutup plastik piring dan mangkuk dibuka, aroma daging sapi menguar, membangkitkan selera.
"Kamu ngga makan?"
Bulan menyalakan lampu kamar sebelum menjawab, "Udah tadi." Kemudian beranjak ke jendela dan menutup tirainya.
"Kenapa ditutup?"
Tangan Bulan terhenti. "Apa mau dibuka? Kan udah malem."
"Kalo ditutup, kita ngga bisa liat bintang-bintang."
Dibukanya lagi tirai yang hampir tertutup kemudian beranjak duduk ke samping gue lagi.
"Enak?" pertanyaannya lebih mirip basa-basi.
"Kamu belom makan," nebak doang, tapi dia membalas dengan senyum jail.
"Iya, aku pesen sekarang," ujarnya meraih ponsel dari dalam tas.
"Nih, sambil nunggu." Gue suapin rolade saus asam manis ke mulutnya. "Mau pesen apa?"
Bulan menggeser-geser layar nyari makanan.
"Kamu bener," katanya setelah menyelesaikan order makanan melalui aplikasi ojol, "bintang-bintangnya cantik."
"Yeah." Gue abisin air di gelas sebagai penutup makan malam.
"Menurut kamu, bintang-bintang itu sebenernya diciptakan untuk apa?"
"Diciptakan?"
"Bener, kan, diciptakan?"
"Siapa yang menciptakan?"
Bulan mengangkat bahu tapi tetap menjawab, "Tuhan?"
"Yakin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku, Bulan
RomanceWARNING 18+ Cerita ini pertama kali diterbitkan November 2019 dan tamat tahun 2020. Pada tahun 2021, Istriku, Bulan diplagiat dan saya menarik penerbitannya di wattpad. Cerita ini memang tidak diniatkan untuk dikomersilkan. Saya ingin agar maki...